oleh Margo Teguh Sampurno

Perguruan tinggi tiap tahunnya meluluskan ribuan sarjana dan mendapat invasi puluhan ribu mahasiswa baru yang datang dari berbagai wilayah di nusantara. Padatnya kota-kota metropolitan dipenuhi oleh sebagian besar mahasiswa yang melingkupi tiap perguruan tinggi di tiap kota tersebut. Adanya kecenderungan mahasiswa baru dalam berinteraksi sosial yang didasari oleh berbagai kesamaan, terkadang muncul benih primordialisme dan etnosentrisme dalam diri seorang mahasiswa baru yang buta dalam melihat perbedaan. Perguruan tinggi yang diibaratkan sebagai miniatur negara, dapat dijadikan wadah dalam memahami Indonesia sebagai kesatuan bangsa. Perbedaan paradigma mahasiswa yang berasal dari kota dan desa, tentu menjadi sebuah persoalan penting apabila tidak dimaknai secara menyeluruh dan adanya sikap saling menerima perbedaan tersebut. Yang lebih memprihatinkan adalah munculnya sikap stereotip terhadap mahasiswa yang berasal dari pulau terluar dan memiliki keragaman yang khas baik dari bahasa, budaya atau pun perilaku.


Pemahaman budaya dan analisis psikologi tentunya menjadi bekal utama bagi mahasiswa baru dalam menempuh pendidikannya di perguruan tinggi, dibanding hanya berbekal disiplin keilmuan yang ia kedepankan. Jelas, mahasiswa yang telah masuk perguruan tinggi adalah seorang warga negara dan telah dianggap dewasa bagi masyarakat umum. Sehingga, sebagai seorang warga negara yang berada dalam sebuah miniatur bangsa dan negara atau yang disebut sebagai kampus, harus saling menerima perbedaan tanpa mengedepankan semangat kesukuan ataupun kedaerahan. Persinggungan sedikit saja yang melibatkan unsur SARA, tentu akan mengakibatkan konflik fisik atau tekanan psikis. Kecenderungan ini terlihat ketika kelompok mayoritas sebagai faktor dominan menindas kelompok minoritas, baik secara relasi sosial ataupun diskriminasi perseorangan. Dengan demikian, keanekaragaman dalam lingkungan kampus harus dilihat sebagai sebuah potensi bagi pengembangan diri dan sarana dalam melihat realitas kehidupan yang sesungguhnya.
Mahasiswa baru tentu mendapat tugas dan tanggung jawab yang besar apabila ditelaah secara konsep dan aktualisasinya dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Paradigma berpikir menjadi landasan utama bagi seorang mahasiswa baru sebagai tahap awal dalam mengarungi ilmu pengetahuan secara terkhusus sesuai dengan disiplin ilmu yang dikajinya. Modernisme yang mengakar di kota-kota besar sebagai tempat bagi mahasiswa baru dalam menempuh pendidikannya, tentu akan menjadi tantangan besar bagi proses adaptasi pola hidup dan kecenderungan dalam membangun relasi sosial. Adanya sistem nilai baru, ideologi kelompok, dan merebaknya organisasi kemahasiswaan, baik lingkup intrakampus dan ekstrakampus, harus dipahami secara historis dan kritis untuk menjadi bagian dalam keikutsertaan organisasi tersebut.
Independensi mahasiswa hari ini yang cenderung mudah terombang-ambing oleh wacana publik dan media, justru menjadi persoalan dalam pembentukan karakter sebagai agen-agen penerus bangsa. Ambiguitas dalam menetapkan tujuan, terkadang masih menghantui pikiran mahasiswa baru untuk melakukan perubahan bagi dirinya sendiri. Soe Hok Gie (dalam Catatan Seorang Demonstran) pernah berkata, “Saat ini pilihannya cuma ada dua yaitu menjadi apatis atau mengikuti arus, tapi aku memilih untuk menjadi manusia merdeka”. Sehingga, konteks kutipan kalimat tersebut, jika dinarasikan dalam lingkup mahasiswa berdasar pada mahasiswa yang apatis atau mahasiswa yang mengikuti arus. Dua hal tersebut merupakan konsekuensi besar dalam menetapkan tujuan selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Independensi mahasiswa terletak pada kata “merdeka” yang secara harfiah, ditekankan pada sikap untuk mengetengahkan pemikiran yang dilandasi oleh cara berpikir kritis-reflektif. Ia menjadi merdeka secara pemikiran untuk mengikuti arus atau menjadi apatis. Namun, bukan berarti dua sikap tersebut sebagai sesuatu yang buruk (mengikuti arus atau menjadi apatis), tetapi sebagai asumsi dasar dalam bersikap. Mahasiswa yang merdeka secara pemikiran, akan menelaah secara mendalam untuk tidak terombang-ambing dengan kondisi ataupun opini publik yang hadir dalam dirinya.


Merebaknya post-truth sebagai strategi dalam mengemas berita bohong (hoaks) untuk dijadikan sebuah kebenaran publik, tentu berpengaruh besar terhadap asumsi mahasiswa bahkan masyarakat dalam melihat sebuah kebenaran. Istilah post-truth yang menggambarkan sebagai suatu keadaan dimana fakta kurang dapat berperan dalam menggerakkan kepercayaan umum dibanding dengan kondisi emosi dan kebanggaan tertentu (agama, kelompok, dan kepentingan publik). Sehingga dalam hal ini, media sosial sebagai faktor utama dalam menggiring opini publik sesuai kebutuhan dan kepentingannya. Postingan media di Instagram, Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya, menjadi sarana utama untuk melancarkan kepentingan individu dan kelompok untuk saling melemahkan dan menyajikan kebohongan yang dipoles sebagai sebuah pembenaran publik. Kondisi semacam ini tentu sangat berpotensi dalam menciptakan perpecahan dan perilaku saling curiga karena didasari oleh emosi dan kepentingan tertentu dibanding dengan fakta yang sebenarnya. Tentu, sebagai mahasiswa baru dengan bekal intelektualnya, harus memahami kondisi-kondisi yang memungkinkan bagi dirinya untuk bersikap, baik berupa pemberitaan/postingan media sosial ataupun pola komunikasi dengan mahasiswa baru lain atau mahasiswa senior lainnya. Karena di sinilah letak independensi bagi seorang mahasiswa untuk bersikap. Sebagai penutup tentunya hakikat bagi mahasiswa untuk melihat keanekaragaman/heterogenitas dalam lingkungan atau sekitar kampus tempat ia menempuh pendidikannya, harus meningkatkan budaya literasi (membaca) dan selalu memperbaiki diri untuk terus mengembangkan potensi hard skill dan soft skill sebagai bekal ketika lulus nantinya.


Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Juara Harapan 1
Penulisan Opini Majalah Komunikasi