Mereka masih terbilang muda. Mereka berjuang dan melawan segala keterbatasan. Mengarungi banyak daerah, mengharumkan nama bangsa. Meninggalkan hiruk pikuk kota dengan segala gemerlapnya. Berjarak ratusan kilo jauh dari ayah bunda. Mereka perjuangkan mimpi-mimpi anak bangsa dalam kancah internasional. Bagi mereka membawa nama Indonesia adalah tanggung jawab besar yang patut di banggakan.
“Jangan bertanya apa yang negara berikan padamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan untuk negaramu” kalimat inspiratif dalam dialog film Tanah Surga… Katanya karya Deddy Mizwar. Kisah berikut menjadi sebuah bukti bahwa masih ada generasi penerus di negara ini yang sadar mengabdi, yang mencintai negeri ini lebih dari sebuah janji. Seperti itulah yang layaknya dilakoni oleh tiga mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Universitas Negeri Malang (UM), Mutiara Ayuningtias, Siti Aminah, dan Bunga Arbela.
“Demi sebuah prestasi untuk saya dan Indonesia tentunya,” hal itu yang melatarbelakangi Mutiara Ayuningtias, yang biasa disapa dengan Mutia terjun ke dunia olahraga cabang gulat. Menjadi perempuan tidak mengurungkan niatnya untuk terus berusaha meraih mimpinya menjadi atlet gulat professional. Banyak berteman dengan laki-laki membawa keuntungan tersendiri bagi Mutia. Ia dapat mengambil banyak pengalaman dan pelajaran dari teman-teman yang sudah profesional. Sejak 2013 gulat telah menjadi hobi yang dilakoni oleh Mutia, berawal dari mengikuti kejuaraan Pekan Olahraga Kabupaten (Porkab) dan mendapat Juara I, lantas ia termotivasi untuk terus mendalami gulat. Sempat mendapat tentangan dari orang tua, Mutia memberi pengertian bahwa gulat adalah olahraga yang tidak berbahaya.
Lahir dari keluarga yang tidak memiliki latar belakang penyuka olahraga atau pun atlet, Mutia tidak kehabisan akal untuk mengasah skill gulatnya. Ia mengikuti pelatihan di KONI Kota Malang, hingga akhirnya menjadi perwakilan Jawa Timur di kejuaraan nasional (kejurnas) Jakarta 2017 dan mendapatkan Juara I. Tidak puas dengan kejurnas Jakarta, Mutia mengikuti seleksi untuk Asean Games 2018 di Indonesia. Keren bukan? Ia lolos dalam seleksi Asean Games dan berhasil mengikuti pelatihan nasional (platnas) untuk tim Indonesia dalam Asean Games 2018 di cabang olahraga gulat. Bersanding dengan banyak atlet gulat menjadi motivasi tersendiri untuk jadi yang terbaik. Bahkan ia menjadi satu tim dengan atlet gulat yang pernah mengalahkannya dalam Pekan Olahraga Nasional (PON). Hal itu menjadikan kebanggan tersendiri untuk Mutia. “Rasanya bangga sekali, Indonesia menaruh harapan di saya untuk meraih emas. Meskipun gagal, tapi saya tidak akan menyerah,” ungkap Mutia.
Setelah mendulang kesuksesan untuk Asean Games, perjuangan Mutia tidak berhenti disitu. Ia kembali mengikuti kejurnas di Grobokan Jawa Tengah dan meraih Juara I. Kejurnas di Grobokan adalah jembatan bagi Mutia untuk mewakili Indonesia di ranah Asia Tenggara. Ia berangkat ke Filiphina pada tahun 2018 untuk mengikuti kejuaraan, dan lagi-lagi ia meraih juara I di tingkat Asia Tenggara. Mengharumkan nama bangsa Indonesia adalah tujuannya, bahkan ia telah bertemu Ir. Joko Widodo selaku Presiden Indonesia untuk menerima penghargaan. Semua yang ia raih tak membuat ia sombong. Mutia tetaplah perempuan anggun dengan impian yang besar. Ia berharap dapat mengikuti Sea Games dan mendapat Juara I suatu saat nanti.
Matahari masih sepenggalah. Sinarnya yang terik sedikit tak terasa lantaran derap angin dari pepohonan di sekitar gazebo FIK, gedung lama yang menyimpan jutaan sejarah UM. Riuh mahasiswa di sekitar memecah perbincangan kru Komunikasi dengan tiga perempuan tangguh yang bisa disebut sebagai Kartini era mileneal.
Selain Muita, ada sosok Siti Aminah, perempuan berparas cantik dengan tubuh kecil namun terlihat kuat. Sempat mendapat cibiran dari banyak orang mengenai ketekunannya dalam cabang olahraga gulat tak mematahkan asanya untuk meraih mimpi. “Gulat membuat saya nyaman dan saya jatuh cinta, hingga saya sekolah di SMA berbasis olahraga untuk meraih cita-cita saya, sampai sekarang saya berada di FIK UM.” Diawali dengan tentangan orang tua, perempuan yang biasa di panggil Aminah ini berusaha membuktikan bahwa gulat adalah passionnya. Bermula dari ketekunan dalam latihan, ia berhasil mendapat kesempatan mengikuti kejuaraan di Thailand pada tahun 2017 tingkat Asia Tenggara.
Mahasiswa jurusan Ilmu Keolahragaan FIK UM ini sempat mengalami down ketika mendapat kekalahan melawan tim Kalimantan Barat dalam kejuaraan provinsi di Tuban tahun 2018. “Mental saya sudah tidak kuat saat itu, jadi saya kalah. Kurang tenang dan persiapan mental saja, dan itu membuat saya sangat menyesal,” tambah Aminah.
Kekalahan tidak membuat ia berhenti berjuang, hingga akhirnya ia mewakili Jawa Timur untuk kejurnas di Grobokan, Jawa Tengah dan mendapat juara I. Kesuksesan yang ia raih tak semudah yang dibayangkan. Ia sering mengalami cedera dan itu membuat keluarga Aminah khawatir sehingga meminta Aminah untuk berhenti sebagai atlet gulat. Tak jarang, ia menyembunyikan kabar cedera yang ia alami demi bisa tetap diizinkan menggeluti passionnya. Hal yang masih menjadi harapan untuk Aminah adalah masuk dalam Pusat Latihan Daerah Jawa Timur dan menjadi Tim Kejurnas PON. Menurut Aminah, sebagai perempuan mileneal kita tidak boleh hanya berdiam diri di rumah ataupun sekadar hedonisme. Kita harus berani menggebrak dunia dengan prestasi agar kesetaraan gender terwujud di Indonesia. Semoga terwujud!
Beralih ke sosok manis berhijab rapi yang biasa disapa Bunga, nama yang indah. Perempuan bernama lengkap Bunga Arbela menjadi atlet Panahan kancah nasional. Berawal dari keinginan ayah untuk menjadikannya atlet, hingga sekarang sudah terwujud dan menjadi kebanggaan keluarga hingga bangsa. “Panahan kan sunah rasul, dari keisengan diajak ayah sekarang menjadi olahraga favorit saya untuk meraih prestasi dan membanggakan keluarga beserta Indonesia,” tutur Bunga.
Sempat merasa bosan kareka kekalahn dalam banyak pertandingan, ia mendapat motivasi dari sang ayah untuk tetap melanjutkan perjuangan. Pertandingan pertama yang ia lakoni adalah kejuaraan tingkat provinsi di Ponorogo tahun 2012 dan mendapat satu emas. Melihat lawan memiliki tembakan-tembakan yang bagus membuat ia terus berlatih untuk menjadi yang terbaik. Latihan setiap hari hingga menyita banyak waktu belajar di kampus, Bunga berhasil masuk dalam tim nasional PON pada tahun 2016 dan berhasil membawa pulang satu emas serta tiga perak. Bunga mengorbakan pendidikan selama satu tahun untuk mempersiapkan hari bersejarah di PON kala itu. Namun di sisi laina, kemenangan dalam PON membawa beban tersendiri bagi Bunga dalam mengikuti kejuaraan selanjutnya. “Ketika saya menjadi Juara di PON, saya bertekat akan terus menjadi juara tetap di setiap kejuaraan panahan yang ada”, tambah Bunga. Menjadi yang terkecil di antara atlet lainnya, ia sempat mendapat bullying dari atlet senior.
Satu tahun kemudian, pada tahun 2017 ia mengikuti Kejurnas di Aceh dan mengalahkan banyak pesaing dari berbagai provinsi, ia mendapat lima emas. Tak puas di situ ia mengikuti kejurnas di Jakarta pada tahun 2018 dan mendapat tiga emas serta dua perunggu. Berkat berbagai prestasi tersebut Bunga mendapat penghargaan dari Khofifah Indar Parawansa selaku Gubernur Jawa Timur dalam bentuk beasiswa kuliah selama empat tahun di UM.
Keinginan Bunga tidak hanya sampai di sini. Ia masih bercita-cita lebih tinggi dengan mengikuti olimpiade panahan tingkat dunia, dan lolos seleksi masuk tim PON tahun 2020 di Papua. “Jangan lupa giat berolahraga, kalau mereka bisa kenapa kita tidak,” tutup Bunga dalam perbincangan pagi ini.
Begitulaah cerita ketiga Kartini era milenial ini. Di balik ejekan orang lain yang merendahkan perempuan, ketiga perempuan ini hadir untuk menampiknya. Dari ketiga tokoh ini dapat membuktikan bahwa perempuan dapat menjadi kuat layaknya laki-laki dalam dunia olahraga. Muliakan dirimu dengan prestasimu! Amey.