Pulau Penyengat merupakan sebuah pulau kecil berukuran kurang lebih 2.500×750 meter yang berjarak kurang lebih sekitar 3 km dari Kota Tanjungpinang sebagai pusat pemerintahan dari Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Pulau wisata ini berjarak kurang lebih 35 km dari Pulau Batam dapat dicapai dengan menggunakan perahu bot atau lebih dikenal bot pompong, selama 15 menit dari Kota Tanjungpinang.
Pulau Penyengat merupakan salah satu tujuan wisata yang ada di Kepulauan Riau. Banyak objek-objek wisatanya tersebar di kepulauan kecil ini. Beberapa objek wisata terkenal bisa kita lihat sebagai sejarah peninggalan kejayaan agama Islam di Pulau Penyengat seperti Masjid Raya Sultan Riau atau Masjid Penyengat yang bangunannya terbuat dari campuran putih telur. Ya! Masjid Putih Telur ini sebagai peninggalan Sultan Mahmud yang dibangun pada tahun 1803 Masehi dan rampung pada tahun 1844 Masehi. Hampir dua abad lamanya setelah pembangunan, masjid tersebut masih terus berdiri kokoh. Konon karena putih telur yang digunakan sebagai perekat material bangunanlah yang telah membuat masjid ini tetap kokoh berdiri hingga saat ini. Dengan kekayaan objek wisata khususnya wisata istana di Pulau Penyengat tersebut telah diajukan ke UNESCO sebagai salah satu situs warisan dunia.


Saat ini, warna bangunan dicat dengan menggunakan warna kuning sebagai warna kebesaran dari bangsa Melayu. Warna tersebut menutupi hampir seluruh bagian luar hingga ke bagian dalam bangunan masjid. Diselingi dengan warna hijau di beberapa ornamen untuk keindahan. Pada sisi kiri gerbang masjid berdiri sebuah perpustakaan sebagai tempat menyimpan Kitab Suci Alquran dari mulai abad ke-17 dan beberapa buah kitab kuno. Pada empat bagian sisi masjid juga terdapat menara tinggi menjulang yang berwarna kuning. Salah satu keistimewaan masjid berwarna kuning ini adalah dipajangnya mushaf Alquran tulisan tangan oleh Abdurrahman Stambul, putra Riau asli Pulau Penyengat yang diutus oleh Sultan untuk belajar di Turki pada tahun 1867 Masehi. Selain itu ada juga mushaf Alquran tulisan tangan yang disimpan karena usianya lebih tua dari yang terpajang dan ditulis oleh Abdullah Al Bugisi pada tahun 1752 Masehi. Mushaf ini dilengkapi dengan tafsiran-tafsiran dari ayat Alquran yang tidak diketahui siapa penulisnya. Mushaf ini tersimpan bersama sekitar 300 kitab lain yang tidak dipertunjukkan kepada pengunjung.
Keistimewaan lain adalah mimbar di dalam masjid di pulau para raja ini yang terbuat dari kayu jati yang dipesan khusus dahulunya dari Jepara, Jawa Tengah. Mimbar ini lebih besar dari pada mimbar yang berada di Masjid Sultan Lingga di Daik yang dipesan secara bersamaan. Di samping mimbar terdapat piring berisi pasir yang konon dibawa dari pasir tanah Makkah al-Mukarramah bersama benda-benda lain dari tanah Arab. Pasir Makkah ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, yakni bangsawan Riau-Lingga pertama yang menunaikan ibadah haji ke tanah Makkah pada tahun 1820 Masehi.
Lampu kristal masjid putih telur (ada beberapa masyarakat menyebut hal demikian untuk Masjid yang terletak di Pulau Penyengat ini) berasal dari hadiah dari Kerajaan Prusia (Jerman) pada tahun 1860-an. Hal ini menambah keindahan di dalam masjid.
Masjid pertama yang tercatat memakai kubah di Indonesia ini berada dalam kompleks masjid dengan luas areal 54,4×32,2 meter. Bangunan masjid memiliki 6 jendela besar, dilengkapi 7 pintu berkusen besar, 13 kubah, dan 4 menara beratap hijau berdinding kuning setinggi 18,9 meter. Terdapat beberapa bangunan penunjang di bagian depan dan kuburan di bagian belakangnya serta tempat wudu di bagian kiri dan kanannya. Bangunan penunjang ini berupa 2 buah bangunan rumah Sotoh dan 2 buah balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri halaman depan masjid.
Balai-balai digunakan untuk menunggu waktu salat dan kadang digunakan untuk tempat istirahat atau berkesenian. Rumah Sotoh dahulunya digunakan untuk belajar menimba segala ilmu pengetahuan khususnya ilmu agama. Tercatat 4 ulama terkenal di Riau-Lingga pernah mengajar di masjid ini seperti Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Ismail, Syekh Arsyad Banjar, dan Haji Shahabuddin.
Penulis adalah Dosen Pendidikan Luar Sekolah dan Anggota Penyunting Majalah Komunikasi