oleh Nor Laila

Setiap memperbincangkan literasi, peringkat miris Indonesia di dunia internasional selalu terngiang-ngiang. Ada dua survei yang sering diangkat. Pertama survei The World’s Most Literate Nation dari Central Connecticut State University (CCSU) bulan Maret 2016 yang meletakkan Indonesia di urutan 60 dari 61 negara. Survei kedua yang memengaruhi persepsi kita tentang kesejahteraan literasi Indonesia adalah survei Program for International Student Assessment (PISA) yang mendudukkan Indonesia di posisi 62 dari 70 negara.

Dalam World Economic Forum 2015, disepakati ada enam literasi dasar yaitu literasi baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial, budaya dan kewarganegaraan. Indonesia bukanlah negara papan atas dalam hal literasi, namun banyak fakta yang perlu membuka mata kita untuk berbangga dan optimis memperkuat budaya literasi.

Pada kenyataannya, kondisi minat dan kegemaran membaca masyarakat Indonesia meningkat dari 26,5% menjadi 36,48% pada 2017. Di tingkat akademik, Indonesia memimpin dalam jumlah jurnal ilmiah terbuka jauh di atas negara sekelas Inggris. Perpustakaan tertinggi kedua di dunia pun dimiliki Perpustakaan Nasional RI. Jika kita generasi optimis, seharusnya ini menjadi penyulut semangat menggencarkan gerakan literasi supaya jutaan ilmu di Perpusnas Jakarta sampai juga ke seluruh Nusantara. Bukan waktunya lagi menganggap ini salah pembangunan yang hanya terpusat.

Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri pula hasil kajian Center For Digital Society (CFDS) dari Fisipol UGM menyimpulkan rendahnya tingkat literasi Indonesia disebabkan oleh disparitas antara teknologi dan sumber daya manusia. Teknologi berkembang sangat cepat namun tidak diimbangi oleh kesiapan masyarakat merespon secara bijak.

Ketidak siapan tersebut sangat terlihat dengan munculnya fenomena anak yang melakukan tindak kekerasan terhadap orangtua ketika dilarang main game maupun tidak dibelikan gawai terbaru. Secara data, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan hasil survei 143.26 juta penduduk Indonesia adalah pengguna internet. 75% di antaranya berusia 13 hingga 18 tahun. Sayangnya, aktivitas digital yang paling sering diakses masih media sosial dan chatting yaitu sebanyak 87.13%-89.35% dari total waktu berselancar di internet.

Fakta di atas perlu dikhawatirkan orangtua. Gawai berpotensi menimbulkan efek adiktif. Akan menjadi kabar gembira apabila aktivitas digitalnya mendukung budaya literasi, namun bisa jadi pula bencana besar justru dimulai dari sini. Efek negatif baik secara waktu, biaya, fisik, maupun intelektual dapat meningkat tajam akibat kurang bijak berteknologi.

Idealnya, sejak sebelum membentuk keluarga, calon bunda dan calon ayah sudah harus memiliki gambaran program literasi macam apa yang akan dijalankan dalam keluarga. Dari pemerintah telah meluncurkan program 1820. Dimana sejak pukul 18.00 hingga 20.00 anak-anak di rumah akan didampingi orangtua untuk melakukan aktivitas literasi. Program ini sebenarnya bagus, namun bagi orangtua yang sibuk bekerja akan merasa bertambah bebannya jika setiap hari harus merutinkan kegiatan tersebut.

Mengajak anak berbelanja buku, datang ke bazar buku, membuat perpustakaan mini keluarga, menerapkan aturan pemakaian gawai, kesepakatan porsi waktu belajar dan membaca hanya berjalan efektif di keluarga yang orangtuanya memiliki cukup waktu serta modal baik finansial maupun intelektual. Sementara untuk dapat membudayakan literasi, keluarga menjadi sumber pertama dan utama yang dapat diharapkan.

Anak-anak memulai mengenal dunia dari keluarga. Begitu pula ketika mereka masuk sekolah, anak-anak akan tetap lebih banyak menghabiskan jam di rumah daripada sekolah. Apalagi waktu efektif untuk belajar seperti sebelum tidur, bangun tidur, serta senja hari dilewati di luar jam sekolah. Maka, keluarga memiliki peran vital untuk menanamkan budaya literasi pada setiap jiwa yang tumbuh di tengah-tengahnya.

Di era digital ini strategi penanaman budaya literasi keluarga bisa dimulai sejak ibu mengandung. Budaya di negara-negara maju mendorong para perempuan hamil untuk menghabiskan lebih banyak buku dan ensiklopedia. Konten-konten yang dibaca sebaiknya ramah anak bahkan meskipun si bayi belum lahir. Ini juga dapat mengakomodir kebutuhan literasi dasar. Misalnya mengenalkan Tuhan dari memperdengarkan murottal Al Qur’an atau pujian Gereja, membaca kisah-kisah inspiratif, pengetahuan alam, hingga ensiklopedia binatang.

Aktivitas literasi bagi ibu mengandung perlu digalakkan lagi oleh para pegiat literasi maupun pemerintah. Terlebih hal ini sejalan dengan penelitian dari Pacific Lutheran University yang membuktikan bayi pada 10 minggu terakhir di kandungan sudah bisa mendengar suara ibu yang mengajaknya bicara dan ketika lahir ia merespon bahwa dia mengerti apa yang dibicarakan ibunya selama di kandungan.

Aktivitas literasi budaya bisa dikenalkan ketika bayi berusia 0 hingga 2 tahun. Dimana nyanyian pengantar tidur atau penenang ketika bayi rewel sebaiknya bermuatan budaya lokal. Beberapa ibu kekinian tampak pragmatis dengan menyodorkan gawai pada anak 3 tahunnya yang menangis.

Di samping itu, menonton sebenarnya bisa menjadi bagian literasi, sebagaimana Perpusnas sering menggelar nonton bareng. Mengulas setelah menonton film dapat memperkaya pengetahuan anak dan mempertajam daya kritisnya. Oleh karenanya, para orangtua perlu diedukasi lagi untuk membimbing anak saat menonton. Edukasi ini akan menentukan apakah tontonan si kecil hanya akan menghiburnya sesaat atau bisa mengasah literasinya.

Sehingga menurut saya, budaya literasi keluarga seharusnya dapat dimulai dari aktivitas sederhana yang dapat dilakukan oleh kalangan keluarga di strata mana saja. Mulai dengan bernyanyi dan berkisah. Dunia anak harus selalu dipenuhi semangat keceriaan. Lagu merupakan alternatif untuk menyampaikan pesan-pesan literasi daripada harus memaksa anak membaca dan menulis lebih dini dari usia milestonenya. Maka perbanyak menyanyi dan berkisah sebelum tidur atau saat menemani anak makan. Meja makan adalah tempat yang pas dalam mendampingi literasi anak untuk orangtua karir.

Literasi sains, digital, budaya, kewarganegaraan dapat diasah sejak pra natal. Sementara literasi lainnya akan mengikuti sesuai usia perkembangannya. Kegiatan literasi pra dan pasca mengandung ini akan sangat menentukan peringkat literasi Indonesia 5 sampai 10 tahun mendatang. Di mana pada tahun-tahun tersebut Indonesia sedang mengalami bonus demografi. Sehingga apabila sejak dini calon pemudanya terdidik berliterasi, maka ketika memasuki usia produktif mereka akan aktif berkontribusi.

Inilah saatnya membuktikan bahwa perempuan adalah rahim peradaban. Perempuan yang fitrahnya sebagai ruh dari keluarga benar-benar dinantikan kiprahnya. Literasi pra dan pasca mengandung akan memutuskan maju atau mundurnya peradaban Indonesia dalam perannya di dunia internasional.

Penulis adalah mahasiswa Jurusan

Pendidikan Luar Biasa dan Juara 3 Penulisan Opini majalah Komunikasi