Tuhan selalu punya kejutan istimewa bagi umat-Nya, begitulah tutur Sinan Tirmidzi. Baginya, dunia tetaplah terang dan indah meskipun Tuhan telah mengambil penglihatannya. Lelaki yang pernah tergabung dalam Paskibraka di daerahnya ini harus menelan kenyataan pahit ketika dokter mengatakan bahwa dia dinyatakan sebagai penyandang tunanetra. Pelik memang, tapi kenyataannya dia masih seperti remaja pada umumnya. Perlahan, dia mencoba bangkit dan menata kembali hidupnya dengan jalan yang sudah ditentukan.

Memulai perjalanan hidup sebagai penyandang tuna netra sejak 2014 bukanlah hal yang mudah. “Penglihatan aku mulai menurun ketika pelaksanaan Ujian Nasional, aku merasa mata aku buram dan tidak jelas ketika melihat lembar jawab ujian,” kenang Sinan. Menghadapi kenyataan tersebut, dia dan keluarga berniat memeriksakan matanya ke rumah sakit. Sayangnya, ketika menjalani perawatan di rumah sakit mata kirinya justru semakin parah dan tidak dapat melihat. Sementara itu, mata kanannya masih normal. Bahkan ditengah penglihatan yang semakin berkurang, dia masih bisa mengendarai motor sendiri bersama orang tua atau kakanya. Semakin lama, penglihatan kedua matanya semakin menurun dan dia dinyatakan tidak dapat melihat lagi dikarenakan radang saraf mata (neuritis).

Sejak hari itu, Sinan yang aktif dan ceria berubah menjadi lebih tertutup. Dia yang dikenal sebagai siswa yang aktif dalam berbagai organisasi di sekolah mendadak seperti kehilangan semangatnya. Tidak mudah baginya untuk menerima kenyataan bahwa dia tidak dapat melihat indahnya dunia. Semangat yang dimiliki Sinan ini mulai menurun drastis setelah dia benar-benar dinyatakan tidak mampu melihat oleh dokter di salah satu rumah sakit di Bandung. Sosoknya yang tegar akhirnya harus menitikkan air mata. ”Ya ketika divonis nggak bisa lihat jelas emosi labil, kenapa Allah menguji aku seberat ini gitu,” jelas Sinan. Baginya Tuhan tidak adil, dengan kondisinya saat itu tentu saja dia harus mengubur dalam-dalam semua cita-citanya.

Setitik harapannya saat itu hanya dia dapatkan dari keluarga dan temanteman sekolahnya. Dukungan luar biasa datang dari orang tuanya yang ingin anaknya tetap tegar di tengah ujian yang cukup berat. “Orang tua dukung banget apa pun keadaanku, mereka nyari cara supaya aku bisa ketawa lagi, ceria seperti dulu lagi, bahkan mereka melayani aku dengan baik,” ceritanya kepada kru Komunikasi. Awalnya, teman-temannya kaget dengan kondisi Sinan yang tiba-tiba tidak dapat melihat padahal dia tidak memiliki riwayat mata minus. “Teman-temanku semuanya support aku banget, bahkan hampir semua teman SMA aku datang dan jenguk aku.”

Berdiri setelah badai, tak akan terusik oleh gerimis, peribahasa inilah yang menggambarkan diri Sinan Tirmidzi Aulia. Di tengah keterbatasan yang dia miliki, akhirnya dia membuka hatinya untuk bangkit lagi. Dia menyadari bahwa hidupnya harus terus berjalan. “Motivasi terbesar karena tidak ingin menyusahkan orang lain, sih. Aku nggak mau nyusahin orang tua dan orang-orang

sekitarku,” Dia mengaku sempat direhabilitasi di Panti Wyataguna, Bandung untuk dimotivasi bahwa tunanetra mampu melakukan segala aktivitas seperti orang normal. “Setelah berada di panti itu, aku akhirnya penasaran gimana tuna netra bisa survive, bahkan kuliah di universitas ternama.” Motivasi yang dia dapat di panti itu akhirnya membawa dampak yang luar biasa dalam diri Sinan. Dia mencari Sekolah Luar Biasa (SLB) agar bisa belajar mengembangkan diri dengan keterbatasan yang dia miliki. “Di SLB aku belajar caranya nerima diri, konsep diri, belajar pakai tongkat, komputer dan HP,” kenang Sinan. Kemandirian dan prinsip yang dimilikinya adalah bukti bahwa remaja ini adalah sosok yang tangguh. Ketangguhan dan kemandiriannya dia buktikan dengan keberadaannya di UM sebagai salah satu mahasiswa Pendidikan Luar Biasa (PLB) pada tahun 2017. Setelah gagal tes di UM pada tahun 2016 dia memutuskan untuk tetap berada di Malang dan menimba ilmu di Pondok Tahfiz Baitul Manshurin. Di pondok Sinan belajar Qur’an braile, komputer, mengoperasikan HP melalui suara, dan belajar mengenali suara-suara. Sekitar empat bulan Sinan belajar Qur’an braile untuk proses menghafal Al-Qur’an.

Di pondok Sinan juga belajar mandiri. “Awalnya sih orang tua nggak ngizinin aku mondok, tapi aku meyakinkan mereka kalau aku akan baik-baik saja,” jelasnya. Dia melakukan semua pekerjaan seperti mencuci dan menyetrika sendiri. Terkadang ada teman-teman yang membantu dan tentunya pihak pondok memberikan perhatian lebih kepada santri yang mengalami keterbatasan.

Perjalanan Sinan untuk menggapai cita-cita akhirnya terwujud ketika dia diterima di UM pada tahun 2017. “Menurut aku, PLB adalah satu-satunya jurusan yang bisa bantu aku menjadi orang yang lebih mandiri dan aku perlu ilmu yang banyak untuk menjadi tunanetra yang berkulitas,” tutur Sinan. Remaja yang saat ini menjadi wakil ketua di UKM Gempita ini juga menuturkan bahwa orang tunanetra juga berhak untuk bermimpi dan mendapat pekerjaan yang layak.

Bagi Sinan statusnya sebagai mahasiswa dan santri tentu saja sangat menyenangkan dan memiliki kesan tersendiri. Dia memutuskan untuk tinggal di koskosan pada tahun 2017. Di sinilah perjalanan Sinan sebagai mahasiswa tunanetra semakin berwarna dan menantang. Perjalanan dari kos ke kampus dia tempuh dengan berjalan kaki. Keputusannya tinggal di kos tentu membuat Sinan harus mencari cara untuk sampai di kampus dan belajar beradaptasi dengan baik di lingkungan kos. Dia mengaku, awalnya cukup deg-degan dan belum terbiasa. Namun, dia tetap yakin akan sampai di kampus dan kembali ke kos dengan selamat. “Pernah sih hampir diserempet mobil pas mau nyebrang,” kenang Sinan sambil tertawa.

Di dunia perkuliahan, Sinan yang aktif dan ceria kembali lagi. Dia mengikuti beberapa kegiatan seperti UKM Gempita, English Difa Club (EDC), dan pengajian. Dia juga pernah dipercayai sebagai ketua pelaksana dan wakil ketua UKM Gempita. Sedangkan kegiatannya di EDC dia pilih agar bisa belajar bahasa Inggris untuk menunjang cita-citanya melanjutkan studi ke luar negeri.

Sinan dalam kunjungan mahasiswa PLM UM di Lab. PLB Universitas Sebelas Maret

“Mas Sinan itu orangnya selalu tersenyum dan pantang menyerah sih,” jelas Ines, salah satu teman Sinan ketika ditanya tentang kesannya terhadap Sinan. Harapan terbesar Sinan saat ini ialah dapat menyelesaikan studi S-1 di UM, melanjutkan S-2 di Australia, dan S-3 di Inggris. “Bukan hal yang tidak mungkin bagi tunanetra untuk kuliah di luar negeri, terlebih di luar negeri kepedulian terhadap inklusi cukup tinggi,” jelas Sinan. Cita-cita Sinan yang tinggi seharusnya mampu membuka mata mahasiswa yang memiliki penglihatan normal untuk lebih gigih dalam mewujudkan cita-cita.

Sebelum mengakhiri perbincangan, Sinan berpesan kepada siapa saja yang memiliki pengelihatan normal, jangan pernah melihat orang dari fisiknya, tetapi lihatlah kemampuannya. Tak lupa, dia juga berpesan kepada teman-teman tunanetra lainnya untuk tidak mengeluh dan berusaha seoptimal mungkin untuk mencari solusi bagi keterbatasannya. Safira

“Tentang menerima dan menjadi manusia Menerima adalah mencintai tanpa meminta Menjadi manusia adalah menerima kebahagiaan bukan hanya dari orang lain, tapi juga dari dirinya. Menjadi bahagia dengan memaafkan kekurangan Menjadi bahagia dengan menerima cinta lebih banyak setiap harinya “