Oleh Syifaul Fuada

Tingkat konsumsi barang elektronik di Indonesia tidak bisa dianggap remeh jumlahnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Telepon Seluler Indonesia, disebutkan bahwa pengguna ponsel Indonesia mencapai 180 juta pengguna pada akhir tahun 2010 (Astuti et al, 2012).

Selain itu, untuk jenis limbah elektronik yang lain, seperti peralatan elektronik rumah tangga dan IT, jumlahnya juga tidak lebih sedikit. Disebutkan pula bahwa pada tahun 2007 Indonesia memproduksi lebih dari 3 milyar unit peralatan elektronik rumah tangga dan perlengkapan IT, konsumsi tahunan televisi mencapai 4,3 juta unit, kulkas mencapai 2,1 juta unit, dan AC serta mesin cuci masing-masing mencapai 900.000 unit (Hanafi et al dalam Astuti et al, 2012).
Fakta mengatakan bahwa limbah elektronik sebenarnya turut mampu berkontribusi dalam penyediaan peluang usaha, terutama bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Dalam limbah elektronik terdapat lebih dari 60% kandungan bahan berharga, seperti besi, tembaga, aluminium, emas, dan logam lainnya (Astuti et al, 2012), dan 2,70% lainnya adalah polutan (Widmer et al, 2005). Namun, fakta tentang kandungan berharga di dalam limbah elektronik tersebut tidak terolah dengan baik, sehingga tidak membawa dampak yang maksimal di Indonesia.
Tentu saja akan susah untuk mengurus limbah jika masyarakat kurang menyadari akan potensi dan dampak limbah. Di Indonesia, untuk menangani permasalahan limbah, masyarakat memilih untuk memperpanjang usia masa pakai dari barang-barang elektronik mereka yang sudah rusak, yakni dengan memperbaikinya. Hal ini mengakibatkan tidak ditemukannya limbah elektronik di tempat pembuangan sampah, karena dalam masyarakat ada peran jasa perbaikan dan perdagangan barang elektronik bekas yang memperpanjang aliran limbah (Astuti et al, 2012).
Limbah elektronik di Indonesia menjadi sebuah masalah yang tengah dihadapi dewasa ini. Untuk menanganinya, kebanyakan masyarakat melakukan reparasi, daur ulang, ekspor, hingga penguburan. Namun, semua model penanganan tersebut sangat disayangkan karena seharusnya kehadiran limbah elektronik mampu memberikan nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan reparasi, pendaurulangan, atau ekspor. Terlebih lagi untuk komponen-komponen kecil yang dikubur begitu saja. Sebuah penanganan baru dan cerdas harus diterapkan, misalnya E-art. E-art adalah pengubahan limbah menjadi barang kesenian dan kerajinan. Ide pemanfaatan limbah elektronik menjadi barang bernilai seni yang kreatif dan inovatif pernah dilakukan oleh seorang insinyur, Jake Ham, dengan mengubah PC-nya yang sudah rusak untuk menjadi aquarium.
Dengan model penanganan E-art, komponen-komponen yang biasanya dikubur, dileburkan, atau diekspor, akan dipilah kembali menjadi bagian yang tidak terlalu rusak fisiknya sehingga akan mempermudah dalam proses pembuatan karya seni. Lalu, bagaimana kesenian yang bernilai tinggi itu dapat diimplementasikan secara makro di Indonesia?
Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan program ini, yakni sebagai berikut:
1. Infrastruktur
Dukungan infrastruktur penting dibutuhkan karena biaya transaksi menjadi rendah. Dukungan infrastruktur meliputi akses dari pengepul sampah elektronik ke industri pengembangan dan pasar. Dengan demikian dukungan infrastruktur mendorong berkurangnya kesenjangan pola pertumbuhan ekonomi antara sektor jasa (non-tradable) dan sektor penghasil barang (tradable) di Indonesia.

2. Ekonomi
Indonesia perlu memberlakukan kebijakan yang bertumpu pada permintaan dan penawaran dengan prioritas utama adalah penciptaan pasar domestik. Potensi Indonesia dalam pengembangan E-art dapat dioptimalkan melalui penciptaan kerajinan yang unik, yaitu sebagai media pembelajaran di sekolah. Hal ini mengingat limbah elektronik di Indonesia yang melimpah dan tidak termanfaatkan. E-art di Indonesia yang sudah mencapai skala komersial sebaiknya diterapkan di sekolah untuk replika sebagai model pembelajaran.

3. Sosial
Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat adalah komponen penting agar masyarakat mengetahui E-art sebagai kerajinan yang sangat unik dan dapat dijadikan model pembelajran di sekolah. Salah satu prinsip pembangunan berkelanjutan yang dituangkan dalam Deklarasi Rio 1992 saat United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) adalah penanganan terbaik isu-isu lingkungan dengan partisipasi seluruh masyarakat yang tanggap terhadap lingkungan dari berbagai tingkatan. Untuk tetap menjamin kelestarian lingkungan, maka diperlukan dukungan sektor swasta, lembaga riset, perguruan tinggi setempat, termasuk konsumen yang berpartisipasi penuh dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan lingkungan.
Penulis adalah mahasiswa
Teknik Elektro.