krkonoKarkono Supadi Putra

Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Karya sastra lahir
dari perenungan panjang penulisnya. Melalui kata-kata, pada
dasarnya karya sastra dihasilkan dari apa yang dilihat, dibaca,
dirasakan, ataupun digelisahkan penulisnya. Sumber inspirasi
utama karya sastra sebenarnya adalah apa yang terjadi di sekitar
kita.

Tidak heran, jika ada pernyataan bahwa jika ingin mengetahui
kondisi yang tengah terjadi pada masyarakat, bacalah karya sastra.
Wajar, jika isi karya sastra tiap masa akan berbeda-beda, tergantung
apa yang sedang berkembang di masyarakat pada saat karya sastra
tersebut dihasilkan.
Tidak sedikit seorang penulis cerpen yang begitu berkonsentrasi
pada teknik penulisan, pemilihan bahasa, dan estetika lain, tetapi
kurang memerhatikan apa dampak yang akan diterima pembaca
tulisannya. Sebenarnya ini pilihan masing-masing. Di kalangan
penulis tertentu ada yang abai terhadap hal ini, tetapi tidak sedikit
pula yang justru lebih berkonsentrasi pada dampak yang diterima
pembaca dibanding kualitas teknik penulisan. Maksudnya, ada
yang beranggapan bahwa persoalan respon pembaca itu urusan
pembaca dan resepsi pembaca tentu tidaklah sama. Persoalan
mau berdampak positif atau negatif, itu urusan pembaca sendiri.
Namun, banyak penulis yang cukup berhati-hati terhadap dampak
yang diterima pembaca usai membaca karyanya. Hal tersebut
menjadikan penulis pada akhirnya tidak semata mengejar estetika
tetapi juga muatan nilai yang terkandung di dalam karyanya.
Faktanya, ada salah satu pembaca setia Majalah Komunikasi, Ibu
Muslihati, yang ternyata ‘mempermasalahkan’ muatan cerpencerpen
yang dimuat di Komunikasi. Beliau menulis bahwa tiga judul
cerpen yang dimuat secara berurutan di majalah ini edisi Februari,
Mei, dan Juni 2014 cukup beralasan untuk diulas lebih jauh tentang
dampak yang diterima pembaca seperti yang saya utarakan di
atas. Bu Muslihati mempersoalkan pengaruh yang hendak diterima
pembaca usai membaca ketiga cerpen tersebut. Menurut saya ini
menarik untuk diulas. Satu sisi, saya secara tidak langsung ‘ikut
bertanggung jawab’ karena ketiga cerpen tersebut sudah melalui
validasi saya sebagai juri lomba cerpen yang digelar Komunikasi
dan merekomendasikan cerpen-cerpen tersebut layak dimuat di
majalah ini.
Saya merasa berterima kasih atas perhatian Ibu Muslihati yang
sudah peduli terhadap sajian di Komunikasi dan membuat tulisan
yang juga dimuat di edisi ini. Ada hal yang saya sepakati bahwa
meskipun respon pembaca cerpen tidaklah sama, barangkali ada
sebagian pembaca lain yang tidak mempermasalahkan, tetapi
respon Bu Muslihati ini mengingatkan saya dan juga ketiga penulis
cerpen tersebut bahwa berhati-hati terhadap apa yang kita tulis
adalah hal yang sangat perlu.
Fenomena kecenderungan tema yang diangkat oleh penulispenulis
muda sekarang jika diamati memang mengarah pada
hal ‘gelap’, misalnya pembunuhan, ketidakadilan, emansipasi
perempuan, dan isu-isu lain yang sebenarnya cukup riskan jika
tidak hati-hati. Pilihan tema itu tentu hak masing-masing penulis.
Menurut saya, hal tersebut bukan semata kebetulan. Bisa dilihat
tren bacaan yang berkembang sekarang ini, fenomena masyarakat,
isu-isu yang berkembang, dan lain sebagainya. Jika saya dan Tim
Redaksi Komunikasi sepakat memutuskan
cerpen-cerpen tersebut layak muat
di Komunikasi karena dari segi teknik
penulisan, kekayaaan bahasa, dan
ramuan konfliknya memang memikat.
Jika ternyata ada hal yang perlu
dievaluasi, saya pribadi sangat menerima
hal tersebut dan berterima kasih pada
Ibu Muslihati. Sekali lagi, ini catatan
penting bagi setiap penulis untuk tidak
mengesampingkan muatan nilai dan
hanya semata mengejar estetika.
Sebelum saya tahu ada ulasan dari
Ibu Muslihati, saya pribadi sudah
menyampaikan pada salah satu
penulis cerpen tersebut, yaitu Dwi
Ratih Ramadhany. Ratih menjadi Juara I
seleksi cerpen untuk mewakili UM dalam
ajang Pekan Seni Mahasiswa Regional
(Peksiminal) Jawa Timur tahun 2014 ini.
Beberapa kali saya membimbing Ratih
untuk persiapan lomba di Surabaya. Yang
sering saya tekankan adalah selera juri dan
muatan nilai. Dari segi teknik penulisan dan
jam terbang, Ratih sudah tidak diragukan
lagi. Maka saya hanya menekankan pada
pilihan tema dan bermain ‘aman’ pada
muatan. Alhamdulillah, Ratih akhirnya
menjadi Juara I Peksiminal Jawa Timur
dan menjadi wakil Jawa Timur di ajang
Peksiminas di Palangkaraya.
Setelahnya, misalnya
Ratih atau penulispenulis
lain
akan bertahan/
kembali pada
pilihan masingmasing
dalam
berkarya, tentu
hak masing-masing.
Namun, saya percaya penulispenulis
berbakat tersebut tentu
mempunyai pertimbangan tersendiri yang
layak dipertanggungjawabkan.
Sebagai penutup, sebagai penulis tentu seyogianya
dapat beradaptasi dengan media yang hendak memuat
karya-karya kita. Namun, mempertimbangkan apa yang
hendak diterima pembaca karya kita dan sekaligus tanpa
mengesampingkan kualitas tentulah pilihan bijak. Mari
menciptakan karya yang bertanggung jawab, karya sastra
yang tidak mengabaikan pengaruh apa yang hendak
diterima pembaca.
Penulis adalah Dosen Jurusan Sastra Indonesia