DSCN0389Awal bulan Agustus 2014 saya mengadakan penelitian di Lombok dengan menggarap sebuah studi kasus modernisasi budaya yang ada di komunitas desa adat lereng Gunung Rinjani. Ketika penelitian di sana, sayangnya sedang tidak ada ritual gunung. Di daerah tersebut, ritual gunung hanya akan dilakukan ketika ada bagian yang terbakar, menandakan penguasa gunung sedang marah. Saya lebih memilih bulan Agustus untuk datang ke Lombok karena punya agenda tambahan, yaitu mendaki puncak gunung Rinjani.
Satu hal yang paling saya takutkan saat mendaki adalah tersesat keluar jalur yang dapat membawa celaka. Sebelumnya saya pernah mendaki beberapa gunung, yaitu Ijen, Batur, Merapi, Semeru, dan beberapa gunung lain.
DSCN0395
Ekologi Gunung Rinjani
Selama seminggu saya meneliti di Desa Senaru. Terdapat jalur pendakian dari Desa Senaru menuju puncak Rinjani lewat Danau Segara Anak. Tapi jalur itu terlalu panjang dan curam. Saya disarankan banyak orang untuk naik lewat jalur Desa Sembalun, dan turun lewat Danau Segara Anak, Pos Plawangan I dan sampai Desa Senaru kembali. Dengan naik ojek saya menuju Desa Sembalun lewat jalan berbukit. Walaupun Senaru dan Sembalun ini dua desa bersebelahan, tetapi berbeda kabupaten, Senaru termasuk wilayah kabupaten Lombok Utara, sedangkan Sembalun kabupaten Lombok Timur. Hampir satu jam perjalanan menuju Desa Sembalun dengan ongkos Rp80.000,- Jalanan agak menakutkan karena melewati tanjakan dan tikungan tajam serta di tepi jurang, tapi pemandangan yang mengiri tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Saya sampai di Desa Sembalun pada sore hari dan sempat menginap semalam di Desa Sembalun, karena perjalanan menuju base camp Plawangan II lebih tepat ditempuh pada pagi hari, dengan harapan sore hari sampai Plawangan II untuk beristirahat. Banyak hotel atau penginapan di Desa Sembalun, baik hotel berkelas maupun biasa. Ada juga potter yang menawarkan jasa, termasuk penyewaan tenda untuk tidur dalam perjalanan. Selama perjalanan terlalu banyak kesan yang melekat. Terdapat beberapa bentang alam yang sangat menawan, seperti padang savana. Kebetulan, pagi hari jam 08.00 WITA ketika memulai perjalanan dari jalur pendakian Sembalun Lawang, terdapat puluhan ekor sapi yang sedang digembalakan, dengan puncak Rinjani sebagai latar belakangnya. Di perjalanan bertemu dengan berbagai rombongan pendaki. Turis mancanegara amat dominan, banyak di antara mereka berjalan bersama dengan membawa tongkat. Perjalanan sangat jauh dan melelahkan, tetapi pemandangan yang indah di lereng Rinjani cukup menjadi pelipur. Terdapat dua tanjakan terberat yang harus dilalui sebelum pos Plawangan II, yang dikenal sebagai “Tanjakan Penyiksaan” dan “Tanjakan Penyesalan”.
Sekitar pukul 16.00 baru sampai Plawangan II dalam keadaan sangat lelah, kaki saya sempat kram. Hawa terasa sangat dingin, puncak Rinjani terlihat masih jauh. Sambil mempersiapkan tenda untuk istirahat, para potter mulai memasak. Ada beberapa orang, termasuk saya yang menggunakan jasa mereka. Saya sempatkan untuk mengabadikan saat-saat matahari tenggelam di balik perbukitan. Di pos Plawangan II pada sore ini, Danau Segara Anak terlihat samar-samar di kejauhan. Barang-barang ringan yang dibutuhkan menuju puncak Rinjani saya siapkan, karena sebentar lagi akan gelap gulita.

Kenangan di Puncak Rinjani
Pukul 02.00 dini hari tepatnya Minggu tanggal 17 Agustus saya terbangun, siap berkemas melanjutkan perjalanan menuju puncak. Walau tidur terasa tidak nyenyak karena terasa kram sekujur tubuh, rasa penat tampaknya sedikit berkurang. Perjalanan siap dilanjutkan. Alat utama yang tidak boleh tertinggal adalah senter, sarung tangan, jaket, dan sepatu. Makanan ringan dan minuman harus tersedia cukup. Semua rombongan berangkat beriringan dengan lampu senter yang dipegang ataupun diletakkan di kening, dan tas ransel di punggung. Di kejauhan terlihat lampu berkelap kelip dari senter para pendaki yang sudah mendahului saya, membentuk untaian cahaya yang berkelok-kelok dan bergoyang seperti ular. Kira-kira separuh perjalanan dari Pos Plawangan II ditempuh dengan lancar karena jalur yang ditempuh berupa pasir yang mengeras, tetapi berbeda dengan separuh jalur yang tersisa. Semakin lama hari semakin terang, lambat laun Danau Segara Anak mulai terlihat di bawah. Tidak lama lagi sunrise akan muncul, saya selalu tak bisa meninggalkan saat-saat yang indah itu.
Perjalanan menuju puncak jaraknya masih jauh dengan jalur pendakian berupa pasir dan bebatuan kecil yang kasar. Pendakian pada jalur ini terasa yang paling berat. Terlihat pendaki lain di depan saya berjalan seperti robot, nyaris tidak bisa melangkahkan kaki karena selalu amblas. Banyak pendaki yang putus asa di jalur ini. Beberapa orang berpapasan dengan saya, tampaknya mereka sudah mencapai puncak dan kembali turun. Sekitar pukul 09.00 saya sampai di Puncak Rinjani. Perasaan campur aduk antara senang, bangga, dan haru. Menurut beberapa sumber, hambatan yang paling sering dikeluhkan ketika mencoba menaklukkan Rinjani adalah munculnya badai. Tapi ucap syukur kepada Tuhan, saya tidak dihadang oleh badai. Secara bergantian kita mencium bendera merah putih yang sudah dipasang secara permanen di puncak Rinjani. Gunung Rinjani adalah gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia setelah Gunung Kerinci. Tinggi puncak Rinjani adalah 3726 M.DPL. Danau Segara Anak dalam bentuknya yang paling utuh dapat dilihat dari sini. Keadaannya sungguh sangat menakjubkan, seperti lukisan raksasa yang indah tiada tara.
Setelah puas melihat berbagai sudut panorama dari puncak gunung, saya turun kembali menuju Pos II Plawangan. Perjalanan turun jauh lebih mudah dari pada naik. Namun, saat itu tenaga rasanya sudah habis, air minum juga sudah tinggal sedikit. Separuh berlari perjalanan saya lanjutkan sampai Plawangan II. Beberapa perlengkapan yang saya tinggal dalam tenda, saya bawa. Tanpa beristirahat perjalanan segera saya lanjutkan menuju Desa Sembalun agar tidak kemalaman sampai di desa. Sebenarnya ada pilihan untuk bermalam kembali di Plawangan II, dan keesokan harinya menuju base camp Danau Segara Anak, menginap, dan melanjutkan pagi berikutnya ke Plawangan I menuju Desa Senaru. Namun, waktu yang dibutuhkan terlalu lama. Saya putuskan hari itu harus sampai Desa Sembalun. Persis, saya sampai di Desa Sembalun saat suara adzan maghrib berkumandang. Dalam keadaan yang sangat lelah, malam itu saya menginap kembali. Senin pagi saya bersiap pulang dari Desa Sembalun menuju Mataram dengan naik angkutan lokal dua kali. Selanjutnya, menuju Bandara Internasional Lombok. Senin malam saya sampai kembali di Malang dengan sekujur tubuh yang terasa remuk, tetapi hati sangat puas. Mudah-mudahan di waktu yang akan datang Tuhan memperkenankan saya dapat mendaki gunung yang lebih tinggi.
Penulis adalah dosen Sejarah FIS