Oleh: Masbahur Roziqi

Pendidikan bertugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan akhirnya bangsa tersebut akan memiliki kemampuan untuk mandiri dan berdikari. Bila dibaca sepintas sangat indah pernyataan di awal tulisan ini karena menyiratkan harapan besar akan eksistensi sesuatu yang bernama pendidikan. Kesadaran tinggi untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya dalam wujud pendidikan sebenarnya menjadi mutlak diperlukan agar generasi penerus dapat melanjutkan kelangsungan atau denyut nadi kehidupan bangsa, khususnya bangsa Indonesia dan NKRI.
Kebutuhan mengenyam pendidikan tidak sepantasnyalah dijadikan kebutuhan sekunder apalagi tersier dalam tujuan untuk bersaing di era globalisasi. Mengapa dikatakan demikian? Hal ini dapat dilihat dari tingkat persaingan yang membutuhkan kemampuan profesional untuk terus bertahan melawan arus globalisasi. Sebuah kemunafikan jika ada person yang menyatakan bahwa pendidikan  adalah omong kosong yang tidak akan berguna banyak dalam mencari nafkah. Namun pernyataan tersebut memang memiliki legitimasi umum jika dikaitkan dengan keadaan masyarakat Indonesia saat ini. Beragam penderitaan sosial dialami sehingga sebagian besar hidup para kaum dhuafa tersebut dihabiskan untuk mempertahankan hidup, berjuang sekuat tenaga untuk mendapat sesuap nasi. Dalam hal ini hanya satu yang ada di benak mereka: bagaimana saya bisa hidup?.
Kemirisan hidup itulah yang mengakibatkan eksistensi pendidikan tergerus, dan akhirnya menciptakan ketidakpedulian terhadap proses pendidikan, khususnya pendidikan formal. Bayangkan, mencari makan untuk bertahan hidup susah, apalagi membiayai seluruh proses pendidikan formal yang penuh dengan beragam biaya yang telah diprogramkan sekolah. Memikirkannya saja susah, apalagi melaksanakannya dengan kemampuan sendiri, bisa dibayangkan bagaimana menderitanya mereka menanggung hak yang jelas-jelas tidak perlu mereka risaukan sedikit pun karena semua itu menjadi tanggungan negara, sesuai dengan UUD 1945. Sebuah keadaan yang menciptakan ironi di tengah gencarnya pemerintah meyakinkan masyarakat bahwa dana 20% pendidikan akan menjadi jawaban atas tantangan pemerataan pendidikan.
Sumber dari ketidakmerataan pendidikan memang terletak pada kemiskinan yang menjadi penyakit kronis bangsa Indonesia. Pendidikan yang sejatinya menjadi sarana untuk melakukan mobilitas kelas sosial kelak terancam mengalami degradasi pada proses awal karena tatanan partikel yang ada di dalamnya mengalami goncangan dan ketidakharmonisan.
Keluarga Pendidikan
Pendidikan dapat diasumsikan menjadi sebuah keluarga bila dilihat dari segi kesinambungan partikel yang ada didalamnya. Keterkaitan yang sangat erat antara partikel satu dengan yang lain menjadi suatu hal yang tidak dapat dinafikkan, sehingga guncangan atau ketidakharmonisan yang terjadi akan mengakibatkan pendidikan mengalami degradasi pelaksanaan. Mungkin bila dikaitkan dengan status dalam keluarga itu sendiri dapat dikatakan dalam sebuah pendidikan ada yang termasuk anak tiri dan anak kandung. Penulis berasumsi bahwa anak kandung itu adalah guru PNS, pegawai PNS, sekolah negeri elite, universitas negeri dan partikel pendidikan yang di bawah naungan pemerintah. Sedangkan untuk anak tiri dapat dilihat pada sekolah swasta yang terpinggirkan, sekolah pinggiran/pedalaman yang meskipun negeri tetapi terpinggirkan karena letak daerahnya yang terpencil, anak terlantar yang terpaksa mengemis, ngamen, mengumpulkan sampah untuk memenuhi biaya hidup, guru non-PNS/swasta yang setidaknya memiliki peran sebagai pejuang pendidikan di luar barisan resmi pemerintahan.
Ketidakharmonisan memang sering terjadi antara elemen anak tiri dan elemen anak kandung. Bila anak tiri menuntut sering dikatakan bahwa mereka bisanya hanya menuntut dan tidak bisa bersabar. Ungkapan ini mungkin bisa ditolerir bila para anak tiri menunggu hanya satu, dua, tiga tahun, tapi yang terjadi apa? Para anak tiri menunggu hampir bertahun-tahun dan itupun kadang kandas di tengah jalan. Entah itu karena kealpaan pihak birokrasi atau faktor teknis yang sudah banyak diklaim oleh berbagai pihak. Sebagai gambaran dapat dilihat pada salah satu elemen anak tiri yaitu guru non-PNS yang sering juga mengalami nasib dualisme perhatian. Perhatian pertama harus dia curahkan terhadap murid yang sangat diharapkannya untuk menjadi generasi penerus bangsa, sedangkan perhatian kedua harus dia curahkan pada nasib dirinya beserta keluarga. Jika kesejahteraan tidak terjamin, bagaimana guru tersebut dapat maksimal mengaplikasikan perannya mendidik dan mengajar muridnya. Sekali lagi dapat dilihat ketegaran hati dari segelintir mereka untuk tetap mengabdi dengan penuh senyuman meskipun balasan yang diterima tidak setimpal.
Pernah terlintas dalam benak penulis bahwa keluarga pendidikan Indonesia saat ini mengalami perpecahan yang sangat kronis. Mungkin hanya dalam beberapa tahun terakhir ini ada angin segar bernama sertifikasi pendidikan dan komitmen pemerintah menggelontorkan dana 20% APBN untuk pendidikan. Siasat ini diharapkan oleh pemerintah menjadi salah satu upaya untuk mendamaikan anak tiri yang sedang sekarat dan terkadang juga bisa meradang tanpa arti di hadapan sang orang tua, “pemerintah” Republik Indonesia”. Belaian tangan berupa kebijakan pencairan dana 20% dinilai banyak pihak untuk meredam gejolak penurunan minat memaksimalkan pendidikan oleh golongan anak tiri.

Tawaran Solutif
Anak tiri pendidikan menjadi pihak yang boleh dikatakan termarjinalkan dalam percaturan pendidikan di Indonesia. Berbagai elit politik menggunakan isu penyejahteraan anak tiri pendidikan untuk mendapatkan simpati terutama menjelang pesta demokrasi rakyat. Namun penyejahteraan yang konstruktif dan menyentuh permasalahan pendidikan anak tiri dirasakan masih belum maksimal. Beberapa tawaran solusi dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengupayaan keharmonisan keluarga pendidikan.
Pertama, pendistribusian dana 20% pendidikan harus tepat sasaran, dalam artian dana harus disalurkan untuk menyejahterakan guru baik PNS maupun non-PNS, pengentasan buta aksara, pemenuhan fasilitas untuk sekolah pedalaman/daerah terpencil dan sekolah negeri serta swasta yang keadaanya hampir rusak, anak-anak terlantar yang memiliki keinginan kuat untuk meneruskan sekolah tapi tidak mampu membayar. Pemenuhan anggaran negara untuk meningkatkan kebutuhan pendidikan bagi para anak tiri menjadi keniscayaan yang tidak boleh dinafikkan.
Kedua, menguatkan komitmen pemerintah sebagai orang tua yang adil terhadap anaknya, sehingga anak kandung yang sudah cukup gemuk, gemuk, atau pun gemuk dan mandiri sudah harus diminimalkan subsidinya, dan beralih pada anak tiri yang lebih membutuhkannya. Disinilah peran anak kandung untuk berempati terhadap saudara tirinya, sehingga bersama-sama dapat menyampaikan tujuan pendidikan nasional secara komprehensif.
Mendamaikan anak tiri pendidikan memang menjadi tujuan akhir pemerintah, agar keharmonisan keluarga pendidikan dapat terjaga dan mampu meraih tujuan pendidikan nasional dengan baik. Dua tawaran tersebut memang sangat sederhana, namun konsep yang sedemikian sederhana dapat menjadi hal yang menunjang pemerataan pendidikan jika pengimplementasian memperhatikan aspek akuntabilitas, kapabilitas, dan transparansi berbasis kejujuran. Produk yang dihasilkanpun akan mencerminkan kepedulian orang tua terhadap anaknya, dan rasa sayang saudara kandung terhadap saudara tirinya.

? Penulis adalah mahasiswa S1 Bimbingan Konseling Universitas Negeri Malang.