Oleh Chantika Dhiah Prameswari

Sistem pemerintahan dan sistem demokrasi suatu negara hendaknya merupakan cerminan dari ideologi dan jati diri bangsa itu sendiri. Namun, nampaknya akan sulit terjadi jika ada pihak-pihak tertentu mempunyai kepentingan sendiri yang  terkait dengan dunia politik serta pemerintahan. Hal ini sedang terjadi di Indonesia. Indonesia telah 69 tahun bebas dari penjajahan. Negara ini sudah melalui beberapa era pemerintahan lengkap dengan berbagai permasalahannya. Namun kini, karena adanya pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan dan ego masing-masing, mengakibatkan sistem demokrasi di Indonesia seakan memasuki masa senja.
Masih jelas akan pemerintahan di era orde baru, yang sama sekali tidak memperkenankan adanya demokrasi langsung oleh rakyat dalam memilih presiden atau bahkan wakil rakyat. Kebebasan menyuarakan pendapat dibatasi dan dibayangi oleh ketakutan akan kekuasaan pemimpin. Memang semua itu hanya masa lalu bangsa ini. Setelah memasuki era reformasi, demokrasi Indonesia mengalami pertumbuhan dan kemajuan yang sangat baik, terutama dalam hal kebebasan menentukan pilihan sendiri bagi rakyat untuk ikut andil memilih pemimpin dan wakil rakyat. Sayangnya, kemajuan demokrasi ini  hanya akan berjalan selama satu dekade setelah era reformasi. Ini dikarenakan adanya kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri. Motif lain juga ditengarai karena sakit hati para elit politik yang kalah dalam pemilu Presiden RI pada Juli 2014 lalu. Berbagai cara dan upaya dilakukan agar tercapai maksud dan keinginan pribadi dan kelompok dari elit politik tersebut. Salah satunya dengan memenangkan banyak suara di kursi DPR. Dampaknya adalah berita yang masih hangat bagi rakyat Indonesia, koalisi ini berhasil menang dan berbahagia atas keputusan hasil rapat DPR. Hasil rapat DPR itu adalah pemilihan umum kepala daerah dipilih oleh DPRD, bukan lagi dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada. Hal ini menjadi semacam de javu bagi bangsa Indonesia. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD ini tentu saja menjadi sorotan media dan rakyat lokal maupun internasional, karena menjadi indikasi kemunduran demokrasi bagi bangsa Indonesia yang sudah menerapkan pemilihan presiden dan wakil rakyat oleh rakyat. Kecaman, protes, komentar, serta aksi pro dan kontra mewarnai keputusan ini. Namun, disisi lain ada koalisi yang justru mengucap syukur dan berbahagia atas kemunduran demokrasi yang dialami rakyat Indonesia. Atas terwujudnya keputusan kontroversial tersebut, ada pihak-pihak lain yang turut andil dan membantu menggerogoti sistem demokrasi di pemerintahan baru ini. Dimana mereka menjadi wakil rakyat yang seharusnya suaranya berguna untuk mewakili suara rakyat, mereka memilih untuk walk-out atau meninggalkan ruangan rapat. Mereka melakukan itu dengan bangga dan tersenyum lebar seakan keputusan tersebut tepat, dan tidak mengingat amanah siapa yang diemban. Belum lagi dengan serangan baru dari koalisi ini yang mengusulkan kepada DPR bahwa pemilihan presiden diusulkan untuk dipilih kembali melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan lagi-lagi kebebasan suara rakyat untuk memilih pemimpinnya akan direnggut.
Demikian kurang lebih gambaran dari situasi politik, demokrasi, dan pemerintahan di Indonesia menjelang pelantikan Presiden baru. Carut marutnya negeri ini bisa disimpulkan karena adanya pihak-pihak yang bermain apik, guna mewujudkan keinginan pribadi dan golongannya. Sungguh sangat disayangkan sekali ideologi Pancasila yang merupakan pegangan hidup dan cerminan bangsa Indonesia tidak lagi hadir dan diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akhirnya, kami sebagai rakyat dan pemilik kedaulatan negara Indonesia ingin hak kami bebas bersuara dan memilih pemimpin serta wakil kami di pemerintahan tetap bisa kami miliki. Kami ingin menjadi bangsa yang selektif, cerdas, dan bebas dalam memilih pemimpin dan wakil kami. Biarkanlah segala sesuatu yang telah terjadi dengan bangsa ini menjadi sejarah dan pembelajaran agar kami menjadi satu kesatuan bangsa dan negara Indonesia yang maju dan lebih baik. Kami harap para negarawan yang telah lama berkecimpung di dunia politik paham akan dunia yang sedang ia geluti dan konsekuensinya. Yang menang karena dipilih oleh rakyat tidak lupa akan amanah dan siapa yang memberi amanah tersebut, tidak lupa bahwa ia adalah pelayan rakyat. Yang kalah tidak lupa bahwa yang menang adalah pilihan rakyat, ia harus sadar bahwa saat ia memasuki dunia politik dan pemerintahan yang sedang ia perjuangkan adalah rakyat semata, bukan kepentingan pribadinya. Oleh karena itu, yang kalah boleh berbesar hati, bijaksana dalam berpikir dan bertindak, serta mendukung kinerja pemerintahan terpilih, sehingga Indonesia diharapkan bisa menjadi negara damai dan tetap menjunjung tinggi Pancasila sesuai dengan harapan para founding father saat mendirikan bangsa dan negara Indonesia.

Penulis adalah mahasiswa jurusan Akuntansi FE