Siapa yang tidak mengenal skripsi? Prasyarat kelulusan bagi mahasiswa S1 ini merupakan kewajiban dan bentuk kontribusi mahasiswa untuk masyarakat, itulah yang dipaparkan oleh Baiq Rahayu Hayati, mahasiswi Teknologi Pendidikan yang baru memasuki gerbang semester tujuh.
Mahasiswi yang biasa disapa Ayu ini menjelaskan bahwa kesan pertama saat mendengar kata “skripsi”, meskipun tidak ada rasa takut, tapi tetap was-was karena skripsi adalah karya orisinil
mahasiswa yang harus teruji kebergunaannya bagi masyarakat.
Kemudian apakah skripsi memiliki subtitusi dan dapat digantikan
keberadaannya? Inilah yang akan menjadi ulasan kali ini.
“Setahu saya, jurnal ilmiah itu bukan pengganti, tapi hanya bisa
mempermudah pengerjaan skripsi. Jadi tetap saja skripsi tidak ada
penggantinya. Lagipula sebagai subtitusi, jurnal ilmiah skalanya
lebih luas, otomatis lebih rumit daripada pembuatan skripsi”,
pungkas Ketua Pelaksana Kongres HIMATEPSI 2014 itu.
Adanya desas-desus bahwa skripsi bisa digantikan oleh karya
ilmiah lainnya seperti jurnal dan PKM (yang harus lolos PIMNAS)
banyak terdengar di kalangan mahasiswa sejak lama, dan hal
ini menimbulkan tanda tanya. Saat diklarifikasi, Dekan Fakultas
Ekonomi, Prof. Dr. Budi Eko Soetjipto, M.Ed, M.Si menyatakan
bahwa bisa saja mahasiswa dibebaskan dari skripsi dengan
penggantinya, yaitu jurnal yang minimal memiliki skala nasional
dan terakreditasi, seperti hasil dari PKM AI (Artikel Ilmiah).
Menurut Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Dr. Markus Diantoro, M.Si, di FMIPA, seperti jurusan
Biologi dan Fisika misalnya, untuk tugas akhir mahasiswa telah
dibebaskan dari pencetakan skripsi, jadi skripsi tidak akan lagi
menggerus kantong mahasiswa. Mahasiswa cukup mengunggah
skripsi dalam bentuk softfile. Di sisi lain, memang ada wacana
untuk penyetaraan PKM menjadi tugas akhir.
“Memang ada usulan mengenai penyetaraan tugas akhir
dengan karya tulis seperti PKM, terutama yang memiliki keeratan
hubungan dengan jurusan masing-masing, seperti PKM-P
(Penelitian) untuk mahasiswa MIPA sendiri, karena pengerjaan
skripsi dan PKM-P tidaklah berbeda. Jadi harapannya mahasiswa
tidak bekerja dua kali untuk tugas akhir sehingga lebih fokus”,
papar Dr. Markus.
Namun, meskipun dapat digantikan oleh PKM, ujian tetap akan
dilaksanakan menggunakan materi PKM yang telah dibuat oleh
mahasiswa. Jadi bentuk tugas akhirnya saja yang berbeda, untuk
ujian tetap dilaksanakan.
Meskipun kebijakan tersebut belum diterapkan secara
menyeluruh di semua fakultas, tapi harapannya tugas akhir dapat
terselenggara dengan lebih efisien, karena menurut Dr. Markus
sendiri, perpustakaan fakultas maupun perpustakaan pusat telah
overload dalam menampung tugas akhir mahasiswa. Bayangkan
saja jika setiap angkatan terdiri dari sekitar lebih kurang empat
ribu skripsi, tentunya selain memakan tempat, skripsi hanya
menjadi kenangan ketika telah disimpan rapi dalam rak, tidak
semuanya akan terbaca.
Sementara itu, menurut Dr. Markus, apabila skripsi hanya
membutuhkan unggah softfile dalam sistem dan dipublikasikan
sebagai jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi, maka akan
banyak pihak yang membaca hasil karya mahasiswa tersebut dan
kemanfaatannya lebih besar. Maka dari itulah harapannya masingmasing
tugas akhir akan didaftarkan dengan nomor serial masingmasing
sebagai jurnal ilmiah terakreditasi.
Wakil Rektor III, Dr. Syamsul Hadi M.Pd. M.Ed, menjelaskan bahwa
kebijakan mengenai pengganti skripsi memang belum diputuskan
secara pasti. Namun apapun karya ilmiah mahasiswa seperti PKM
yang lolos PIMNAS, kemudian jurnal ilmiah, dan lainnya, akan
mendapatkan apresiasi dari pihak universitas sehingga mahasiswa
terus semangat dalam berkarya dan berpartisipasi dalam bidang
penalaran dengan menuangkan ide kreatifnya dalam bentuk karya
tulis. Salah satu bentuk apresiasi yang bisa dilakukan seperti PKM-P
lolos PIMNAS yang menggantikan skripsi, atau PKM-M (Pengabdian
Masyarakat) lolos PIMNAS yang menggantikan KKN. Sekali lagi hal
tersebut masih dalam tahap pertimbangan.
Namun, meskipun dengan adanya kemudahan maupun
subtitusi dalam pengerjaan tugas akhir, mahasiswa S1 tidak dapat
menyelesaikan studi kurang dari delapan semester dan maksimal
sepuluh semester. Hal tersebut sesuai dengan Permendikbud RI
No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi.
Sementara itu, untuk mahasiswa S2, yang tengah menjadi
kontroversi adalah bertambahnya jumlah SKS, yaitu yang semula
40/42/44 SKS menjadi 72 SKS, begitupula dengan S3 yang awalnya
56 SKS juga menjadi 72 SKS, hal ini tertuang dalam pasal 17 ayat 2
Permendikbud RI No. 49 Tahun 2014. Letak permasalahan adalah
tingginya lonjakan SKS dan penyamarataan SKS untuk S2 dan S3
yang kurun waktu penempuhannya juga berbeda.
“Kami dari jajaran akademisi memang masih mempertanyakan
kebijakan tersebut dan masih dalam proses perundingan kembali.
Namun, apapun kebijakan akhir yang diberikan, saya berharap
itulah yang terbaik bagi mahasiswa dan pendidikan tinggi dalam
negeri”, tutup Bapak Markus.Catte