Oleh Rizky Imaniar Roesmanto

DSC_0056Banyak orang mengira, Balikpapan adalah ibukota dari propinsi Kalimantan Timur. Padahal sebenarnya ibukota dari propinsi yang luas akan wilayah hutannya ini adalah Samarinda. Balikpapan berkembang pesat menjadi kota madya yang sering dikunjungi orang untuk merantau mengadu nasib atau hanya untuk menghabiskan waktu liburan dengan berwisata. Balikpapan memang terkenal dengan wisata pantainya yang tak bisa dihitung dengan jari tangan. Dilihat dari letak geografisnya, di sepanjang sisi sebelah barat kota ini terhampar lautan luas yang berpotensi menjadi spot-spot pantai yang indah. Misalnya saja, pantai Manggar, Lamaru, Melawai, dan Monumen atau Monpera. Namun, jika dieksplor lebih dalam, Balikpapan tak melulu berbicara soal pantai. Ada wisata-wisata lain yang tak kalah untuk dicicipi keindahannya.
Berawal dari memanfaatkan waktu yang dihimpit padatnya kegiatan semester akhir, saya memutuskan untuk pulang menemui kedua orang tua selama tiga belas hari. Keinginan merayakan lebaran bersama yang akhirnya terealisasi. Tepat pukul 06.00 WIB, saya berangkat dari terminal Probolinggo menuju terminal Surabaya. Menggunakan bis non-patas dengan bawaan yang seabrek menemani saya membelah kemacetan jalanan hingga sampai di terminal Bungurasih sekitar pukul setengah sembilan. Setelah sampai di Bungurasih, saya masih harus berpindah menggunakan taksi untuk menuju Bandara Juanda.
Pukul 09.30 saya tiba di terminal keberangkatan domestik Bandara Juanda. Tiket sudah saya persiapkan jauh-jauh hari. Penerbangan pukul 13.05 WIB dengan menggunakan maskapai Lion Air. Setelah melakukan check-in dan lain-lainnya, pesawat membawa saya menuju Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman meskipun sempat di delay hingga take-off pukul 14.00. Tepat pukul 16.25 WITA saya sampai dengan utuh tak kurang satu apapun di Bandara Balikpapan.
Hari pertama dan kedua hanya saya habiskan untuk melepas kerinduan dengan kedua orang tua di rumah. Memasuki hari ketiga, ada saudara saya dari Jawa juga berkunjung ke Balikpapan. Pukul 08.00 WITA kami pun memutuskan untuk jalan-jalan menikmati suasana kota.
Mobil terus melaju dari Balikpapan ke arah Samarinda. Destinasi pertama adalah wisata Batu Dinding yang konon katanya adalah wisata baru yang akhir-akhir ini diminati penikmat alam. Memasuki kilo ke 45 ada sebuah gang bergapura di sebelah kiri jalan bertuliskan “Jalan Batu Dinding”. Kami memasuki jalan yang hanya cukup untuk satu kendaraan roda empat tersebut dan mengikuti jalurnya. Beberapa ratus meter terlewati, hamparan kebun buah naga mulai menyapa. Saya yang notabene penggila buah naga takjub melihat tanaman buah naga yang begitu banyak dengan buah berwarna merah segar menggantung begitu menggiurkan dan siap untuk dipanen. Tak hanya itu, jalanan yang pada awalnya beraspal, lambat laun berganti menjadi tanah berwarna coklat muda khas Kalimantan, membuat kami semakin terpesona. Tanjakan dan turunan bukit yang kami lewati memang membuat sedikit pusing, tapi tak menurunkan semangat sedikit pun untuk meneruskan perjalanan.
Sekitar lima kilometer perjalanan sudah ditempuh hingga jalan yang kami lewati mulai menyempit. Kami berhenti di sebuah warung makan untuk bertanya kebenaran jalan yang diambil menuju Batu Dinding. Alhamdulillah, ternyata kami berhenti bukan sekedar di warung makan melainkan pos pemberhentian terakhir sebelum melanjutkan perjalanan. Perjalanan untuk sampai ke Batu Dinding ternyata tidak bisa dilanjutkan menggunakan mobil. Kami harus menggunakan sepeda motor (di sana juga tersedia ojek dengan tarif Rp 20.000) atau berjalan kaki. Sungguh disayangkan, pada hari tersebut tidak ada tukang ojek yang beroperasi. Sementara itu, jika harus berjalan kaki kami masih harus menempuh sekitar tiga kilometer dan pada saat itu posisi kami semua sedang menjalankan ibadah puasa. Karena kami takut di tengah perjalanan tidak kuat dan membatalkan puasa, maka kami harus ikhlas mengurungkan niat menyelesaikan perjalanan menuju Batu Dinding. Kami pun memutuskan untuk berfoto-foto menikmati kebun buah naga.
Memutar otak, kami memikirkan destinasi kedua untuk membayar kekecewaan kami. Perjalanan coba kami lanjutkan kembali ke arah Balikpapan. Mulai dengan browsing internet, akhirnya kami menemukan destinasi kedua, Bukit Bangkirai. Bukit Bangkirai adalah kompleks wisata berupa perbukitan dengan alamnya yang sangat asri. Memasuki kilo 38 Kecamatan Samboja, jika dari arah Balikpapan maka kami harus belok ke kiri dengan perjalanan sekitar enam kilometer. Kembali lagi disuguhi pemandangan indah, kanan dan kiri masih sangat hijau berupa pohon-pohon yang menjulang tinggi. Perjalanan terus berlanjut hingga menemui sebuah jalan gapura bertuliskan Bukit Bangkirai (jika ke kanan jalan menuju ke desa Semoi Sepaku). Setelah memasuki gapura, kendaraan harus terus melaju sekitar tiga kilometer hingga memasuki kompleks wisata Bukit Bangkirai.
Di kompleks wisata Bukit Bangkirai ada hal yang wajib untuk dicoba, yaitu Canopy Bridge. Canopy Bridge adalah jembatan yang menggantung setinggi tiga puluh meter di atas pohon. Canopy Bridge mempunyai empat buah jembatan yang menghubungkan lima batang pohon. Wisatawan akan dikenakan biaya Rp 25.000 untuk dapat merasakan sensasi di atas jembatan gantung. Adrenalin saya tertantang untuk mencobanya. Setelah membeli tiket, kami tidak lantas dihadapkan pada Canopy Bridge. Kami masih harus melewati hutan yang di sulap menjadi trek menuju Canopy Bridge. Uniknya, setiap trek di sini dinamai dengan nama Menteri Perhutani dari masing-masing periode jabatan. Trek pertama berjarak 150 meter. Di sepanjang jalan menyusuri hutan, kami banyak menemukan pohon yang sangat besar dan menjulang tinggi bernama Bangkirai. Akhirnya saya paham mengapa wisata ini disebut wisata Bukit Bangkirai. Dilanjutkan trek kedua sepanjang 300 meter dan trek ketiga 100 meter. Rasa lelah mulai terasa ditambah lagi kami harus menaiki kompleks anak tanggamenyerupai menara menempel di batang pohon setinggi 30 meter untuk mencapai jembatannya.
Terbayar sudah. Kaki yang lelah berjalan dan menaiki anak tangga terbayar dengan apa yang terhampar di depan mata. Hijau, sejuk, takjub, dan kehabisan kata kata selain ucap syukur atas alam yang Allah titipkan pada manusia. Satu persatu dari kami mulai menyebrangi jembatan sambil menikmati ciptaan-Nya. Setelah turun dari jembatan, kami beristirahat sejenak dan memutuskan untuk pulang karena waktu sudah mulai beranjak sore.
Keesokan harinya, rencana kami adalah mengunjungi The Borneo Orangutan Survival (BOS Foundation) dan penangkaran buaya Teritip. Namun, lagi-lagi harus menelan kekecewaan karena wisata tersebut ditutup untuk sementara waktu. Sepuluh hari masih tersisa sebelum saya kembali ke Jawa. Sisa hari tersebut saya habiskan pergi ke Pantai Lamaru, Pasar Inpres (Kebun Sayur) membeli buah tangan untuk teman dan saudara, serta mengisi lagi semangat dengan berkumpul bersama orang tua sebelum berjuang kembali di tanah perantauan.
Hari ketigabelas, saya kembali ke Jawa dan menuju ke Malang untuk memulai aktivitas. Sungguh tiga belas hari yang sangat berkualitas. Balikpapan, kota yang nantinya ingin saya kunjungi lagi dan lagi. Karena menyebut Balikpapan bukan hanya sekedar pantai atau hutan yang rindang. Masih banyak hal yang bisa diekspos dan dieksplor untuk lebih mengenalkan Balikpapan kepada dunia luar. Ayo berkunjung ke Balikpapan!

Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia