Cerpen Natalia Wijayanti

Aku ini penggila drama. Tapi aku bukan drama queen karena tidak setiap aspek kehidupanku, aku sikapi dengan penuh ekspresi. Menurutku, drama adalah sisi lain dari wajah dan watak kita. Kita bisa menjadi siapa saja sesuai dengan tokoh yang harus kita perankan. Tokoh-tokoh yang wajar dan ada di sekitar kita. Meski terkadang kita tidak melihatnya secara transparan, tapi itulah kenyataannya. Bersembunyi di semak belukar pikiran. Romo Martogono, sesepuh sekaligus pelatih sanggar drama dan tari Tirta Kusuma, pernah berkata, “Jadikan dirimu sama seperti dia yang kau perankan. Jadilah persis dengan dia. Maka kalian akan mendapatkan karakter dari dirinya. Bukan watak. Karena tokoh bisa saja berwatak baik dan buruk. Namun karakter di sini adalah cara hidupnya, pemikirannya, maupun cara berpakaiannya.”
Pada saat itu, kami akan mengadakan pentas yang kata Romo Martogono akan menjadi pentas perdana kami yang akan dihadiri Bapak Gubernur. Kami akan mementaskan sebuah pertunjukan drama dan tari dari kisah Rama dan Sinta. Romo sudah tahu siapa yang akan menjadi Rama dan siapa yang akan memerankan Sinta. Tanpa disangka dan dikira, Romo menunjukku untuk menjadi Sinta, sang tokoh utama wanita.
“Tapi Romo, karakter Sinta itu sangat berbeda dengan saya. Sinta adalah tokoh yang luwes dan feminin. Tapi saya tidak mencerminkan wanita yang seperti itu,” bantahku.
“Hahaha. Kamu tidak ingat kata-kataku ya Nduk? Kamu harus berusaha untuk menjadi Sinta. Memangnya kenapa kalau dandananmu nyeleneh? Siapa peduli?” ujar Romo.
“Sudahlah Kenanga! Jangan manja. Berusahalah dulu untuk menjadi Sinta. Kau pikir aku juga sanggup menjadi Rama?” bisik seseorang yang duduk di sampingku.
Mahendra? Mahendra menjadi Rama? Rama adalah sosok yang romantis dan hangat. Bukan Mahendra yang dingin. Dia jarang sekali bertegur sapa denganku. Memang, aku baru tiga bulan bergabung dengan sanggar ini. Tapi bisa dihitung jumlah percakapanku dengannya. Dan sekarang dia akan menjadi lawan mainku. Seseorang yang tidak begitu kukenal akan menjadi kekasihku dalam sebuah drama. Jika dia menuruti kata-kata Romo Martogono, dalam dunia nyata dia akan mencoba untuk menjadi kekasihku. Sekali lagi kukatakan, dia hanya akan mencoba.
***
Rupanya Mahendra berniat mengikuti kata-kata Romo Martogono untuk mengidentikkan diri dengan Rama. Akhir-akhir ini dia mulai mengajakku bicara. Memerkenalkan kepadaku siapa dia sebenarnya dan berusaha agar aku menanggapinya sebagai seorang Sinta. Namun, segala usaha yang sedang dia lakukan sekarang menurutku bukanlah untuk menjadi Rama, melainkan untuk menyukseskan pementasan drama ini. Agar dia dapat membuat Romo bangga padanya. Bukan menguasai teknik penjiwaan karakter yang sesungguhnya.
Sosok Mahendra yang selama ini dingin padaku telah berubah. Salju telah mencair, menampakkan padang rumput yang hijau meluas. Aku bisa merasakan kedekatan kami ini berbeda. Entah kenapa setiap kali kami sedang melakukan percakapan yang singkat, salah satu dari kami selalu menginginkan perpanjangan waktu yang pada akhirnya dikabulkan oleh yang lainnya. Aku memercayainya untuk memegang cerita-cerita masa laluku dan dia juga memercayaiku untuk menceritakan kisah-kisah untuknya agar kesedihannya pergi. Sejatinya, agar dia tahu banyak tentang aku. Aku sadar, setiap kali aku berbicara, dia menatap lurus pada kedua bola mataku. Dia perhatikan aku bak murid SD yang menyimak gurunya baik-baik.
“Sudah punya pacar, Hen?” tanyaku.
“Sudah,” jawabnya singkat.
“Hehe, berapa?”
“Satu.”
“Sampai sekarang ya?”
“Ya. Kekasihku yang amat kucintai adalah Sinta,” ujarnya dengan tatapan tajam.
Aku membeku. Sinta? Tokoh Sinta atau wanita bernama Sinta? Jujur. Ada yang sakit di bagian hatiku saat dia menyebut Sinta yang amat dia cintainya itu. Pikiranku melayang. Hidupkah Sinta? Adakah Sinta yang sebenarnya?
“Aku mencintaimu Sinta. Dengan segala kerendahan hatiku. Ini memang gila. Tapi yang kuinginkan di dunia hanya satu. Sinta,” dia kembali berkata padaku.
“Siapa Sinta? Satu kampus sama kamu ya?” aku kalut.
“Bukan. Sinta adalah wanita yang sedang duduk menghadapiku saat ini. Yang bertanya tentang hal yang seharusnya telah dia ketahui. Mungkin pertanyaannya dapat memuaskan hatinya yang saat ini sedang ingin dipuja. Benar?”
Sejak percakapan itu, kami menjadi sepasang kekasih. Wadah yang kosong telah terisi air yang datang dari mata air terjernih. Mahendra memberiku perhatian sebagai seorang kekasih. Aku merasakan obat yang manis. Setelah segala rasa sakit hati yang kuderita. Setelah selama ini aku memendamnya di sarangku yang gelap. Ada kunang-kunang kecil yang datang menerangi dan membawaku keluar. Menikmati indahnya kehidupan yang hampir punah. Sedikit demi sedikit kepercayaan itu ada. Kepercayaan untuk memiliki dan dimiliki seseorang. Untuk membangun kembali reruntuhan hidupku, menjadi bangunan yang utuh dan kokoh.
***
Tanggal pementasan sudah dekat. Kami semua sudah mantap dengan segala persiapan. Dua bulan lebih kami menyiapkan pementasan ini. Kami yakin, kami mampu melakukan yang terbaik. Mahendra menggenggam tanganku kuat-kuat. Seolah berkata, Jangan takut. Aku ada di sini menemanimu. Kita akan tunjukkan pada mereka bahwa kita saling mencintai dan cinta kita kuat. Mereka akan terkesima pada kita dan akan bertepuk tangan semeriah mungkin. Euforia yang tidak akan sanggup kita jangkau, tapi dapat kita rasakan.
Pada hari pementasan, aku bersiap diri. Aku dipoles dengan make up yang elegan. Aku tampak cantik. Bajuku bagaikan Cinderella versi Jawa. Aku merasakan perubahan yang besar dalam diriku. Hari itu, malam itu juga, aku adalah Sinta. Bermain di atas panggung kebesaranku dengan Rama, sosok yang begitu aku cintai. Aku akan rela mati demi dia. Namun hatiku tidak bisa berdusta, bahwa bukan hanya Rama yang membuatku terlena, tetapi dia yang ada di balik riasan. Mahendra. Aku jatuh hati padanya. Dia menyentuhku dengan cara yang tidak biasa. Dia membelaiku dengan cara yang tidak murahan. Dia mengisi kekosonganku. Aku menetapkan dia sebagai belahan jiwaku, kekasihku, tambatan hatiku.
Aku dan Mahendra menjadi sepasang kekasih di malam yang semarak itu. Melantunkan kidung-kidung kemesraan yang akan menjaga keutuhan cinta kami. Aku menikmati setiap lakuku. Ini duniaku yang siap menyihir siapa saja yang melihat kami. Ini saatnya dunia tahu, atmosfer cinta ada di pentas kami, di atas panggung kami. Penonton bersorak dan bertepuk tangan setelah pertunjukan selesai. Mereka senang dengan pentas kami, tak terkecuali Bapak Gubernur dan pejabat penting daerah lainnya. Seolah mereka ikut merasakan setiap konflik yang kami munculkan, lengkap dengan ekspresi wajah dan intonasi. Romo Martogono tersenyum puas.
***
Beberapa hari setelah pertunjukan kami selesai dan meraup keuntungan yang besar, Romo Martogono meninggal dunia. Seluruh warga Sanggar Tirta Kusuma berduka. Tak terkecuali Mahendra yang merasa telah diasuh dan dibesarkan oleh Romo. Pemakaman Romo dihadiri oleh para sastrawan dan pecinta teater yang merupakan teman baik beliau. Romo meninggal bukan karena sakit. Romo meninggal dalam tidurnya. Dengan wajah tersenyum manis. Beban berat yang ada dalam hidup beliau seolah menghilang. Tanggung jawab Romo sangat besar. Pada zaman modern seperti ini, Romo mampu membuat para kawula muda jatuh cinta pada sastra dan drama. Beliau mencari pengganti yang cocok untuk meneruskan perjuangannya. Dialah Mahendra.
Aku telah melewati berbagai gerimis malam yang lambat laun berubah menjadi badai. Aku telah terpuaskan dengan duduk di pinggir jendela yang menghadap halaman rumah. Mengingat titik-titik di mana Mahendra membuatku tersenyum saat mengantarku pulang. Aku tercukupi dengan menghamburkan air mataku sambil menikmati kehilangan.
“Pertunjukan kita berjalan sukses dan aku bangga padamu dan teman-teman yang lain. Tapi cerita Rama dan Sinta sudah usai,” ujar Mahendra di suatu sore, sehari setelah pertunjukan.
“Ya. Aku juga bangga padamu, Hen. Cerita Rama dan Sinta boleh usai, tapi cerita kita tidak,” aku menanggapi dengan senyum yang tidak aku buat-buat.
“Romo pernah berkata untuk menjadi dia yang kamu perankan. Jika setelah ini aku harus memerankan Romeo, dan kau bukanlah Julietnya, apa aku tetap harus mencintaimu? Aku akan lebih memilih untuk belajar mencintai dia yang memerankan Juliet  tentu saja,” jawabnya singkat lalu melangkah pergi.
Aku sudah terlanjur mencintainya. Aku benar benar mencintainya. Sudah aku tetapkan dia sebagai belahan jiwaku. Aku peduli padanya lebih dari aku memedulikan diriku sendiri. Kini dia pergi meninggalkanku setelah dia mendapatkan apa yang sebenarnya dia incar, menjadi pewaris Sanggar Tirta Kusuma. Romo memersiapkan Mahendra sudah sejak lama. Romo ingin Mahendra menjadi seperti Romo yang juga tidak menikahi wanita mana pun. Karena Romo bermain, mengidentikkan diri, dan menjadi siapa yang harus dia perankan. Sama dengan Mahendra yang begitu kupuja. Mahendra yang aku inginkan menjadi pendamping hidupku yang kekal.
Kini hari-hariku aku habiskan dengan duduk merenung di pinggir jendela yang menghadap kenyataan hidup. Keluargaku tidak merasakan kekosongan pikiranku. Aku menjadi mayat hidup yang pucat. Aku tersakiti. Aku gila. Semata-mata karena menurutku, drama adalah sisi lain dari wajah dan watak kita.

Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggris, Juara II Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi tahun 2010 kategori Cerpen.