Oleh Yusuf Hanafi

Pertengahan Februari 2011 ini, kita akan memperingati kelahiran Nabi Muhammad  yang lazim disebut dengan Maulid Nabi. Beragam cara dilakukan umat Islam untuk mengenangnya. Pada masa lampau, para sastrawan memiliki cara berbeda untuk mengenang Muhammad SAW. Syekh Al-Barzanji, misalnya, menuangkan puji-pujian kepada beliau dengan bait-bait syairnya yang legendaris, yang di Indonesia populer dengan sebutan Maulid Al-Barzanji. Demikian pula halnya dengan Maulid Al-Diba’, Al-Burdah, Siythud Duror yang tidak kalah populernya di tanah air kita, yang semua itu disusun untuk memperingati perjuangan suci dari Rasulullah SAW.
Tidak diketahui secara pasti kapankah perayaan Maulid Nabi itu pertama kali diselenggarakan. Namun, sumber-sumber sejarah terpercaya menyebutkan bahwa Salahudin Al-Ayyubi adalah penggagas pertama peringatan Maulid. Tujuannya, untuk membangkitkan moral dan spirit juang pasukan Islam yang kala itu tengah berada di medan perang berhadapan dengan pasukan Salib dari Eropa pimpinan Kaisar Richard “Lion Heart”, Inggris.
Berbanding lurus dengan keragaman cara kaum muslimin memperingati Maulid Nabi, beragam pula pandangan mereka perihal hukum perayaannya, mulai dari yang menganjurkan sampai yang mem-bid’ah-kannya. Penulis yakin, pembicaraan tentang dasar hukum peringatan Maulid Nabi telah banyak dikupas sebelumnya. Namun, mengingat kontroversi seperti ini nyaris tidak kunjung usai, penulis sekali lagi ingin menelaahnya lebih jauh dengan pijakan dalil-dalil syara’ dan argumentasi-argumentasi ilmiah.
Sebelum penulis mengupas tentang polemik keabsahan perayaan Maulid Nabi, terlebih dahulu perlu digarisbawahi beberapa hal berikut. Pertama, kita tidak boleh menyatakan bahwa peringatan kelahiran Nabi SAW pada momen-momen tertentu itu hukumnya sunah, seperti tiap malam Jumat atau pada 12 Rabiul Awal saja. Barang siapa yang menyatakan demikian, maka sungguh ia telah menghadirkan bidah dalam agama. Mengapa demikian? Sebab, mengingat dan mengenang segala aspek dari kehidupan beliau itu wajib dilakukan setiap saat, bukan hanya pada hari-hari atau tanggal-tanggal tertentu, karena beliau adalah model  sekaligus panutan bagi umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Meski tidak dipungkiri, pada saat bulan kelahirannya seperti Rabiul Awal ini, dorongan untuk mengenang dan memperingatinya menjadi lebih kuat karena menemukan momentum yang sesungguhnya.
Kedua, kita harus memahami bahwa forum-forum peringatan Maulid Nabi yang marak digelar pada Rabiul Awal itu sesungguhnya merupakan sarana efektif untuk berdakwah mengajak umat kepada kebaikan dan kesalehan yang selama ini kadang terabaikan. Caranya dengan mengajak mereka untuk mengenang perilaku, kepribadian, dan aspek-aspek lain dari akhlak dan peri kehidupan Nabi SAW yang sangat mengagumkan dan mempesonakan itu. Sungguh amat relevan jika kita mengutip pernyataan dari Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki perihal  ini, “Esensi dari forum peringatan Maulid Nabi itu sesungguhnya bukan sekadar acara kumpul-kumpul atau seremonial belaka. Namun lebih dari itu merupakan sarana berharga yang mengusung tujuan mulia. Barang siapa yang tidak dapat memungut hal-hal baik dari agamanya, maka ia tidak akan mendapatkan berkah dari peringatan Maulid Nabi SAW.”
Menggarisbawahi dua poin tersebut, berikut ini penulis akan uraikan dalil-dalil yang menegaskan kebolehan peringatan Maulid Nabi. Pertama, peringatan Maulid Nabi itu tidak lain hanyalah ekspresi rasa senang dan gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW. Jangankan kita sebagai orang mukmin, ternyata orang kafir pun dapat syafaat-nya berkat rasa gembira dan bahagianya dengan kelahiran Nabi SAW. Diriwayatkan dalam sahih Al-Bukhari bahwa paman beliau, Abu Lahab setiap  Senin diringankan siksanya oleh Allah SWT karena ia pernah memerdekakan hamba sahayanya, Tsuwaibah yang mengabarkan kepadanya perihal berita kelahiran keponakannya, Muhammad bin Abdullah.
Lalu bagaimana dengan kita yang seumur hidup mengidolakannya? Dan insya Allah kelak akan mati dengan membawa iman?
Tentunya, balasan yang diberikan Allah SWT kepada kita sebagai kaum beriman jauh lebih besar daripada yang diterima Abu Lahab.
Kedua, Nabi SAW sendiri sangat mengagungkan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah atas karunia kelahirannya ke alam dunia ini. Sebagai ungkapan rasa syukurnya itu, beliau selalu menjalankan puasa tiap Senin. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah dan disebutkan dalam sahih Muslim (bab puasa), Rasulullah SAW pernah ditanya, “Ketika Nabi SAW ditanya tentang ritual puasanya tiap Senin, beliau mengemukakan: Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu pula Al-Quran untuk pertama kalinya diturunkan.”
Puasa Nabi SAW tersebut sesungguhnya juga dapat dimaknai sebagai peringatan dan perayaan hari kelahirannya. Hanya saja desain acaranya berbeda, tapi esensi maknanya tetap sama.
Ketiga, senang dan gembira terhadap diri Nabi SAW itu diperintahkan secara implisit oleh al-Qur’an, seperti dinyatakan oleh ayat berikut, “Katakanlah: Terhadap karunia dan rahmat Allah itu hendaknya mereka semua bersuka cita!” (Yunus: 58). Dalam ayat tersebut, Allah SWT memerintahkan untuk bersuka ria terhadap rahmat-Nya. Padahal Nabi Muhammad SAW merupakan rahmat Allah yang terbesar bagi umat manusia, seperti dinyatakannya dalam ayat berikut:
“Tidaklah aku mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Keempat, Nabi SAW memiliki tradisi untuk selalu memperhatikan keterkaitan waktu dengan momen-momen keagamaan yang telah lalu. Jika tiba waktunya, beliau senantiasa meluangkan waktu untuk memperingati dan mengenangnya. Dasarnya adalah hadist yang menceritakan tentang awal keberadaan beliau di Madinah setelah berhijrah dari Mekah.
“Tatkala Nabi SAW sampai di Madinah dan menyaksikan komunitas Yahudi tengah menjalankan puasa Asyura, beliau lantas menanyakan hal itu. Kepada beliau dinyatakan: Komunitas Yahudi itu berpuasa pada 10 Muharram karena pada hari itu Allah SWT menyelamatkan nabi mereka, Musa dari kejaran Firaun, musuhnya. Puasa mereka itu sebagai ekspresi rasa syukur atas karunia tersebut. Mendengar hal itu, Rasulullah SAW menegaskan:
“Kita lebih berhak terhadap diri Musa  daripada kalian. Beliau lantas berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya juga untuk berpuasa.
Demikianlah ikhtisar uraian tentang hukum perayaan Maulid Nabi berpijak kepada dalil-dalil naqli dan argumentasi-argumentasi logis. Akhirnya, telah tiba saatnya bagi kita semua untuk menyudahi perdebatan seputar kontroversi keabsahannya. Kita perlu insyafi kalaupun perayaan Maulid Nabi ini bid’ah, kita harus sadari bahwa ini adalah bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) karena peringatan Maulid Nabi itu mengusung misi dan tujuan yang mulia. Semoga kita dapat meneladani peri kehidupan Muhammad SAW sehingga dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Amin.

Penulis adalah dosen Sastra Arab  UM