Oleh As’ad Syamsul A

Ketika berbicara tentang Kabupaten Bojonegoro, ada dua hal yang terlintas. Pertama adalah daerah produksi minyak (Blok Cepu) dan Ledre (makanan khas Bojonegoro). Namun, ada satu potensi lain yang bisa digali dari daerah ini, yaitu Suku Samin yang memilki ajaran adiluhung sebagai sebuah kearifan lokal yang mengandung banyak unsur pendidikan karakter sebagai jawaban terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Samin adalah istilah yang digunakan untuk menyebut salah satu subetnik Jawa yang berada di wilayah administratif Kabupaten Bojonegoro. Kata Samin dipilih sebagai upa­ya untuk lebih merakyat dan secara khusus dapat dimengerti sebagai istilah sami-sami atau tiyang sami-sami (sesama, orang kebanyakan, rakyat biasa). Kata samin juga bisa digunakan untuk menyebut para pengikut ajaran samin, Surosentiko (R. Kohar), dialah tokoh intelektual Suku Samin. Orang Samin juga dikenal dengan Istilah orang sikep yang merupakan ciri pakaian mereka (ikat kepala).
Berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya yang cenderung bersifat feodal dengan stratisfikasi masyarakatnya yang ketat, masyarakat Samin cenderung bersifat egaliter. Dibuktikan dengan hanya digunakannya bahasa Jawa ngoko sebagai bahasa sehari-hari yang dicampur dengan kata-kata lokal. Selain itu, masyarakat Samin juga selalu menganggap orang sesama Samin sebagai saudara.
Ajaran Samin yang termuat adalam serat Jamuskalimasada antara lain, pertama, serat punjer kawitan ialah sebuah ajaran tentang silsilah raja-raja Jawa, adipati-adipati Jawa Timur, dan penduduk Jawa. Dalam kitab ini mengajarkan bahwa orang Jawa adalah keturunan Adam dan Pandawa yang berhak mewarisi pulau Jawa. Belanda bukan merupakan keturunan dari Adam dan Pandawa sehingga tidak memiliki hak tersebut. Dapat dikatakan bahwa ajaran ini secara simbolik ialah sebuah ajaran kebangsaan bagi orang Jawa karena mengajarkan untuk mencintai tanah airnya.
Kedua, serat pikukuh kasejaten, sebuah ajaran tentang tata cara dan hukum perka­winan masyarakat Samin. Membangun keluarga merupakan sarana kelahiran budi yang menghasilkan atmajatama (anak yang utama). Rumah tangga berlandaskan kukuh demen aji (kokoh memegang janji).
Ketiga, serat uri-uri pambudi, ajaran tentang perilaku seperti angger pratikel (hukum tingkah laku), angger pangucap (hukum berbicara), angger-angger lakonono (hukum yang harus dijalankan).
Keempat, serat jati sawit, ajaran tentang kemuliaan hidup sesudah mati, seperti becik ketitik, olo ketoro, sopo goroh bakal gronoh, sopo salah seleh (yang baik dan yang jelek akan kelihatan, siapa yang berdusta akan nis­ta, siapa yang bersalah akan kalah).
Kelima, serat lampahing urip, berisi tentang primbon, seperti kelahiran, perjodohan, hari baik untuk setiap kegiatan.
Kedua puluh anger-anger pratikel itu adalah drengki (dengki), srei (iri hati), panasten (gampang marah), colong (mencuri), petil (kikir), jumput (ambil sedikit), nemu (menemukan), dagang (berdagang), kulak (kulakan), mblantik (calo), mbakul (berjualan), nganakno duit (rentenir), mbjuk (berbohong), apus (bersiasat), akal (trik), krenah (nasehat buruk) dan ngampungi pernah (tidak membalas budi).
Selain hal tersebut, Samin juga termashur lewat upayanya secara pasif dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda dengan cara sebagai berikut  penolakan membayar pajak, penolakan membangun jalan, penolakan jaga malam, dan penolakan kerja rodi.
Tidak semua ajaran Samin bersifat baik kalau diterapkan dalam konteks kehidupan kekinian karena ajaran ini muncul sebagai respon dan bentuk perlawanan terhadap eks­ploitasi pemerintah kolonial Belanda. Contohnya, tidak membayar pajak, penolakan ronda. Hal ini pada masanya adalah hal yang wajar, tapi bila diterapkan pada kehidupan kekinian adalah sebuah tindakan yang melanggar hukum. Kebangsaan mereka yang mengutamakan kebangsaan Jawa juga hal yang wajar pada masa itu, tapi konteks kekinian harus mencakup konsep kebangsaan yang lebih luas, yaitu bangsa Indonesia.
Pendidikan adalah hasil peradaban suatu bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa yang berfungsi sebagai filsafat pendidikanya; suatu cita-cita atau tujuan menjadi motif; cara suatu bangsa berfikir atau berkelakuan yang dilangsungkan turun-temurun dari generasi ke generasi.
Dengan mengambil pengertian pendidikan tersebut, ajaran Samin atau saminisme dapat dimasukkan dalam sebuah pendidikan. Dalam samininsme nampak dengan jelas cita-cita hidup Suku Samin yang juga merupakan pandangan hidup mereka. Selain itu, saminisme juga dilangsungkan secara turun-temurun meski kini sudah mulai memudar tergerus zaman.
Sesuai dengan aliran esensialisme pendidikan yang dipelopori oleh  Johan Amos Cornenius bahwa pendidikan berasal dari sebuah filsafat idealisme dan realisme, yaitu pendidikan harus mendatangkan nilai-nilai kestabilan hidup. Ajaran Samin terutama dua puluh anger-anger pratikel dapat dijadikan acuan untuk membentuk karakter masyarakat yang rukun, adil, damai, dan punya solidaritas yang tinggi sebagai sebuah kesatuan.
Ajaran masyarakat  Samin juga sangat kental dengan nuansa hukum karma becik ketitik, olo ketoro, sopo goroh bakal gronoh, sopo salah seleh (yang baik dan yang jelek akan kelihatan, siapa yang berdusta akan nista, siapa yang bersalah akan kalah) ini bisa membentuk karakter masyarakat yang senantiasa berbuat baik kepada sesamanya karena ada kepercayaan, apabila berbuat baik akan mendapat balasan yang baik. Demikian sebaliknya, apabila berbuat jahat atau jelek akan mendapat balasan yang jahat atau jelek pula.
Dalam kehidupan sehari-hari ajaran ini dapat dipraktikkan melalui kegiatan, seperti sebagai seorang mahasiswa, dalam mengerjakan tugas tidak melakukan plagiasi (menjiplak) atau hanya sekedar copy-paste karya orang lain karena hal ini adalah kebohongan akademik. Namun, justru kenyataanya, hal ini yang sering terjadi karena cara ini dianggap lebih mudah dan praktis. Jika dikaitkan dengan peran mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa, akankah ke depannya bangsa ini akan menjadi bangsa plagiasi (dalam hal ini adalah plagiasi budaya-budaya asing yang belum tentu lebih baik dari budaya nasional kita)?
Sebagai kesimpulan, ada baiknya jika kita kembali menggali nilai-nilai luhur yang ada pada masyarakat-masyarakat yang belum terkontaminasi oleh modernisasi sebagai sarana pembentuk karakter bangsa yang tangguh dalam menghadapi globalisasi dan arus modernisasi.  Ajaran masyarakat Samin contohnya yang banyak terkandung nilai-nilai luhur yang sebenarnya justru itulah yang harus kita kembangkan, bukan kita anggap ketinggalan zaman dan ditinggalkan.

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Sejarah 2008