Oleh Imam Syafi’i

Mengawali pembicaraan tentang bagaimana seharusnya pendidikan berbasis multikultural dalam usahanya untuk pembangunan karakter bangsa, kita wajib melakukan pembahasan secara akademik tentang makna sesungguhnya istilah multikultural dan karakter bangsa itu sendiri. Harus diyakini pula antara masyarakat multikultural Indonesia terkait erat dengan pembentukan karakter bangsa. Setelah itu pendidikan sebagai usaha yang dilakukan secara sadar dan sistematis terlebih oleh pemerintah (negara) haruslah berbasis pada kenyataan masyarakat Indonesia yang multikultural dan berorientasi pada upaya untuk mempersiapkan generasi muda sebagai penerus keberlangsungan bangsa dengan segala karakternya. Oleh karena itu, salah satu kemajuan suatu negara dapat dilihat dari seberapa banyak warganya memperoleh pendidikan karena pendidikan dapat mengangkat harkat dan martabat sebuah bangsa.
Seperti yang telah  dikatakan oleh Benedict Anderson, pembentukan bangsa seperti halnya Indonesia merupakan sebuah komunitas yang terbentuk secara sosial dan diciptakan dalam persepsi mereka yang berada di dalamnya. Kemudian prinsip kebangsaan ini mendapat tempat lebih luas secara politis ketika mereka membentuk sebuah negara. Pada awal-awal abad ke-20, berbagai macam perbedaaan (SARA) dengan segala primordialnya ternyata dapat menemukan konsensus bersama yang berujung pada pendirian sebuah nation-state bernama Indonesia (nasionalisme). Secara bersama pula telah muncul sebuah karakter bangsa, yaitu kepribadian yang merupakan bentukan dari sebuah proses panjang internalisasi berbagai kebijakan yang bersumber pada nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di tengah kemajemukannya yang secara langsung tertempa oleh kolonialisme berkepanjangan, munculnya perasaan egalitarian atas kemandekan budaya akibat tekanan kaum penjajah yang menyebabkan kemerosotan di berbagai bidang kehidupan.
Indonesia sebagai negara yang memiliki masyarakat multikultural terbentuk sebagai konsekuensi logis dari masyarakat Indonesia yang majemuk berdasarkan SARA maupun mode of production/perbedaan daya adaptasi (Muqtafa, 2004). Dapat dipahami bahwa perbedaan-perbedaan tersebut dengan segala keunikannya merupakan sebuah dasar pembentukannya sebagai sebuah nation-state. Oleh karena itu, pemahaman multikultural yang baik adalah upaya untuk mempertahankan dasar negara dari ancaman disintegrasi akibat konflik horizontal yang seringkali mengatasnamakan SARA ataupun akibat dari pertarungan para kepentingan elit negara.
Pendidikan berbasis multikultural untuk pembangunan dan pelestarian karakter bangsa dipandang layak sebagai alternatif pengganti kemandekaan kurikulum pendidikan Indonesia yang ada saat ini. Pendidikan tidak dipandang sebagai usaha yang terpusat (top-down) yang menjadikan negara sebagai subjek satu-satunya dalam pelaksanaan pendidikan dan yang lain hanya merupakan objek nilai yang tidak diperhitungkan. Sistem pendidikan yang ada selama ini—dari sekian banyak pergantian kurikulum—justru menjadi blunder yang mendekatkan kita pada jurang perpecahan bangsa karena pendidikan yang ada jarang, bahkan menghilangkan nilai yang berkembang dalam konteks lokal. Bukankah seorang Armstrong (1996) mengatakan bahwa hal-hal yang menimbulkan konflik lebih karena pertentangan nilai. Seharusnya  negara (Diknas) harus mampu melihat keunikan setiap daerah dan memberikan kesempatan dalam pengembangan nilai-nilai lokal tanpa menghilangkan kompetensi yang lebih luas (globalisasi).
Alih-alih mewujudkan tujuan pendidikan seperti yang telah diamanatkan undang-undang (UU No. 20 tahun 2003, pasal 3 UU Sisdiknas),  bahwa “pendidikan nasional berfungi untuk mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa….” Sistem pendidikan yang ada sekarang telah membuat pendidikan hanya milik yang kaya (baca: komersialisasi pendidikan). Adanya sistem Unas untuk kelulusan, sekolah standar nasional dan sekolah bertaraf (bertarif) internasional merupakan kegagalan negara yang memaksakan sistem pendidikan nasional secara terpusat dengan alasan menghadapi era globalisasi. Sementara itu, dalam waktu yang bersamaan pula negara menutup mata dan telinga dengan segala keterbatasan prasarana dan sarana serta perbedaan penguasaan iptek yang dimiliki daerah dalam penerapan sistem tersebut. Pada tataran perguruan tinggi, negara tidak mampu menjadi penengah antara PTN dan PTS, terutama terkait pendanaan dan terlebih sistem penerimaan mahasiswa baru. Semua itu pada akhirnya menjadikan komersialisasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ada tanpa mengindahkan tujuan dan hakikat utama pendidikan itu sendiri sebagai pembentukan karakter bangsa. Oleh karena itu, lembaga pendidikan seringkali disebut sebagai penjual ijazah.
Tanpa berniat terjebak pada romantisme sejarah kebesaran masa lalu, pendidikan berbasis multikultural ini sebenarnya telah dilakukan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Beliau memosisikan kebudayaan sebagai hal yang utama dalam membangun sistem pendidikan nasional. Sistem yang memiliki pengertian membangun pendidikan di sekeliling anak dan dengan secara maksimal memanfaatkan nalurinya untuk mendidik diri (Colletta dan Kayam, 1987 : 207). Namun, sistem ini tidak berarti sepenuhnya mengabaikan kebudayaan yang diberikan taman siswa dan tetap mengandung arti persatuan yang hakiki dalam kebudayaan Indonesia. Berlandaskan seperti itu bahwa pendidikan bangsa juga yang harus dilandaskan pada kebudayaannya yang unik di setiap daerah, tapi selalu tetap adaftif menuju kemajuan budaya berdasarkan prinsip trikon, yaitu kesinambungan dengan kebudayaan sendiri, konvergensi atau penemuan titik persatuan dengan dunia luar, dan persatuan yang konsentris.
Melalui pendidikan multikultural inilah sebenarnya nilai-nilai ditransformasikan dari generasi ke generasi. Kemudian pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki. Memiliki sikap positif terhadap perbedaan (SARA) sehingga mampu membawa individu-individu ke dalam komunitas  dan membawa komunitas ke dalam masyarakat dunia yang lebih luas. Membentuk kerangka dasar untuk menciptakan organisasi sosial yang harus menyadari bahwa semua adalah bagian dari suprastuktur. Satu sama lain saling berkaitan dan harus selalu bekerja sama berdasarkan prinsip gotong-royong dan kekeluargaan. Inilah yang disebut sebagai karakter bangsa, prinsip gotong-royong dan kekeluargaan sebagai sebuah identitas nasional.
Pada akhirnya, output yang dihasilkan oleh pendidikan model ini diharapkan akan mampu memberikan kekuatan dalam memulai dan membangun sebuah bangsa yang bersumber pada sejarah sebagai sumber pembelajaran, kebudayaan sebagai, nilai dan penerapan iptek dalam menghadapi tantangan masa depan.

Penulis adalah mahasiswa Sejarah