Oleh Yusuf Hanafi

Telah menjadi rahasia umum bahwa dalam masalah waktu, masyarakat kita dikenal suka mentradisikan jam karet. Layaknya sebuah karet, ia bisa diulur sekehendaknya. Begitu pula halnya dengan jam karet, tidak ada ketepatan waktu di dalam praktiknya. Ia selalu molor, molor, dan molor. Sebagai contoh, ketika kita hendak mengadakan rapat atau kegiatan sejenisnya, ketepatan waktu merupakan barang langka dan setiapkali itu pula pemunduran jadwal dari waktu yang telah disepakati senantiasa terjadi.
Sebagai contoh, di kampus, dosen dijadwalkan memberi kuliah pada pukul tujuh pagi, tetapi datangnya pukul setengah delapan. Berjanji dengan mahasiswa bertemu pukul sepuluh untuk memberikan layanan konsultasi dan bimbingan, tapi ternyata baru muncul pukul sebelas siang, bahkan terkadang tidak nongol sama sekali. Begitu seterusnya dan seterusnya. Kebiasaan ini berurat-akar, bermuara pada karakter masyarakat yang doyan menunda-nunda pekerjaan dan menyia-nyiakan waktu. Di tingkat mahasiswa, baik strata I, strata II, dan strata III, hal itu juga jamak terjadi. Penuntasan studi untuk jenjang S-1 yang seharusnya 4 tahun, S-2 yang seharusnya 2 tahun, dan S-3 yang seharusnya 3 tahun, seringkali molor dan melebihi batas waktu. Ironisnya, hal itu dipandang sebagai sesuatu yang lazim, kaprah, dan lumrah.
Perilaku yang kurang terpuji itu tentu sangat memprihatinkan dan menyedihkan. Mengingat sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya kita lebih cermat dan disiplin dalam memanfaatkan waktu. Karena dalam ajaran Islam, tidak dikenal konsep menunda-nunda pekerjaan dan menyia-nyiakan waktu. Apa yang bisa dilakukan hari ini, sebaiknya segera dilakukan.
Janganlah kamu menunda-nunda pekerjaanmu hingga keesokan hari.
Menunda biasa kita artikan dengan menangguhkan suatu urusan untuk sementara waktu dengan jaminan akan mengerjakanya pada waktu yang lain. Pada dasarnya, menunda itu tidaklah jadi soal asalkan berhentinya kita dari aktivitas tersebut disebabkan oleh tuntutan situasi yang mengharuskan kita untuk menunaikan tugas lain yang lebih penting atau disebabkan kondisi yang darurat.
Dalam bukunya, Fiqh al-Awlawiyah, Dr. Yusuf Qardhawi menerangkan, “Selayaknyalah kaum muslimin untuk lebih memilih suatu pekerjaan yang dianggap paling prioritas dari yang lebih rendah nilai prioritasnya.” Yang menjadi masalah—dan ini yang seringkali terjadi di tengah-tengah masyarakat kita saat ini, penundaan pekerjaan kerapkali dilakukan dengan alasan yang tidak masuk akal, misalnya merasa masih punya waktu luang, bad mood, atau sejenisnya. Penundaan semacam ini justru akan membuat pekerjaan menjadi terbengkalai karena untuk kembali melanjutkan aktivitas yang sudah ditangguhkan, sukarnya luar biasa. Hal ini tidak lepas dari gangguan setan yang notabene adalah musuh kita yang nyata.
Sebagai contoh, ketika kita sedang menulis karya ilmiah, seperti paper, skripsi, tesis, atau disertasi, kita sering berleha-leha dan menunda-nunda dengan alasan masih banyak waktu. “Ah, besok kan masih bisa dilanjutkan.” Bisikan-bisikan demikian, sejatinya berasal dari bisikan setan dan hawa nafsu yang tidak pernah rela apabila kita melakukan kebajikan yang bermanfaat dengan sepenuh hati. Padahal, dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW mengingatkan, “Berusahalah untuk senantiasa melakukan hal-hal yang bermanfaat sembari memohon pertolongan dari Allah. Jangan pernah menjadi malas dan kendor. Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka jangan pernah mengatakan, ‘andai’, ‘seumpamanya’, ‘jika saja’. Akan tetapi, tegaskan bahwa semuanya telah ditakdirkan oleh Allah. Sebab penyataan ‘pengandaian’ itu membuka ruang bagi setan untuk masuk.” (HR. Muslim)
Yang tidak boleh dilupakan, dalam setiap hitungan detik itu selalu terkandung dua hal sekaligus, yaitu hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Pengabaian terhadap hak dan kewajiban tersebut akan membawa kemudaratan yang berlipat-lipat bagi pelakunya. Seorang ahli hikmah berkata bahwa kewajiban dalam setiap waktu memungkinkan untuk diganti, tapi hak-hak dari setiap waktu tersebut tidak mungkin diganti. Hasan al-Banna al-Syahid, pendiri sekaligus ideolog gerakan al-Ikhwan al-Muslimun Mesir yang sangat legendaris itu pernah mengatakan, “Kewajiban yang dibebankan kepada kita itu jauh lebih banyak daripada waktu yang kita miliki.” Oleh karena itu, pada saat kita menunda untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, maka pada hakikatnya kita tengah menumpuk-numpuk tugas dan kewajiban. Semakin sering kita menunda, maka semakin berjibun pula tumpukan pekerjaan yang harus kita selesaikan sehingga apabila kita menunda, berarti kita hidup dalam tumpukan-tumpukan kewajiban yang harus dituntaskan dalam rentang waktu yang lebih pendek dan sedikit.
Pada saat kita menforsir diri untuk menyelesaikan tumpukan kewajiban dengan waktu yang pendek dan sedikit, jangan harap kita dapat bekerja secara profesional dan nikmat. Yang terjadi, justru hidup menjadi tidak tenang dan gelisah, sebab selalu dihantui oleh sekian banyak tugas dan kewajiban tertunda yang harus dirampungkan. Tidak menutup kemungkinan, ada beberapa kewajiban yang tidak bisa kita tunaikan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran yang pada akhirnya berujung pada kegagalan demi kegagalan yang diakibatkan oleh kebiasaan menunda tersebut. Nabi Muhammad pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai hamba, jika ia melakukan suatu pekerjaan, maka ia akan mengerjakannya secara maksimal.” (HR. Abu Ya’la)
Para ulama salaf telah merekomendasikan resep yang ampuh untuk mengobati penyakit kronis ini, yaitu dengan mendidik diri agar segera melakukan dan segera menuntaskan. Dalam konteks ini, Allah, berfirman, “Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imran [3]: 133)
Rasulullah juga bersabda berkaitan dengan pentingnya menyegerakan suatu urusan, “Bersegeralah melakukan perbuatan baik karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap.” (HR. Muslim)

Penulis adalah dosen Sastra Arab dan peneliti di UM