Cerpen Dhianita Kusuma Pertiwi
Hari itu pemakaman umum di pinggir kota terlihat ramai. Berita terbaru mengabarkan tiga orang meninggal dalam waktu berdekatan dalam satu hari dan dimakamkan di tempat sama. Tiga orang pria berjalan menuju ke sana untuk mencari tahu penghuni baru pemakamaman umum tersebut.
Makam pertama berada di daerah luar pemakaman. Banyak pelayat datang, dan mereka terlihat seperti orang-orang kaya. Dandanan mereka untuk pergi melayat adalah baju mewah bagi orang-orang biasa. Beberapa wanita cantik datang dengan air mata di pipi mereka dan pundak mereka terlihat bergetar.
“Makam siapa itu?” tanya pria pertama, namanya Sastrojono.
“Dia seorang aktris tenar semasa hidupnya. Karirnya bagus di perfilman,” jawab Tenar, pria kedua.
“Dia pernah bermain di film apa?” pria ketiga, Materi bertanya.
“Cukup banyak. Aku tak bisa menye­butkannya satu per satu. Kebanyakan filmnya adalah film yang menayangkan adegan sensual. Bahkan suatu kali ia pernah mendapatkan penghargaan dari lembaga perfilman karena aktingnya sangat bagus saat beradegan ranjang bersama seorang aktor,” ulas Tenar dengan nada bangga.
Sastrojono mengerutkan dahi.
Para pelayat masih menangis, masih mengelus-elus nisan yang bertuliskan nama aktris itu. Sedikit demi sedikit bunga ditabur dan air dituang. Kemudian datanglah beberapa pencari berita, mendatangi salah seorang pelayat, dan mengutarakan beberapa pertanyaan. Ekspresi wajah pelayat itu terlihat dibuat-buat di depan kamera. Tangisnya makin keras, raut kesedihan menguat. Sepertinya ia juga seorang aktris.
Ketiga pria meneruskan perjalanan mereka. Tak jauh dari makam baru yang pertama, sebuah makam dipenuhi cukup banyak pelayat. Tak hanya pelayat, namun gundukan tanah itu dikelilingi oleh karangan bunga yang menutupi penampilan makam tersebut. ‘Turut Berduka Cita atas Berpulangnya…” dan tulisan-tulisan lain dengan susunan bunga warna-warni.
“Makam siapa itu?” tanya Tenar.
“Pria itu seorang politisi. Ia pernah menjadi calon presiden dan prestasi yang pernah ia peroleh tidak bisa dianggap remeh,” jawab Materi.
“Tapi kudengar ia pernah terlibat kasus korupsi,” sanggah Sastrojono.
“Ayolah, siapa yang tidak terjerat kasus korupsi sekarang ini? Dia nekat untuk korupsi demi menyelamatkan seorang janda cantik yang mulai jatuh miskin dan ia berencana meninggalkan istrinya untuk menikahi janda itu.”
Pelayat terlihat berdatangan tanpa henti. Mereka datang dengan setelan rapi, rambut yang disisir rapi. Seakan pemakaman tersebut adalah kantor dan mereka seakan-akan ingin menaburkan uang di atas makam rekan mereka.
“Bagaimana ia mati?” tanya Tenar.
“Kudengar ia terkena serangan jantung saat istrinya memergokinya bercumbu dengan janda cantik yang akan menjadi istrinya kelak. Dan ternyata mereka takkan pernah menikah.”
Kedua pria lain merasa muak dengan kisah hidup politisi itu. Dan mereka melangkah lagi, mereka ingin melihat makam orang ketiga yang mati hari itu. Perjalanan yang mereka tempuh lebih panjang dari kedua makam sebelumnya. Mereka juga tidak mendapati adanya pelayat berbaju bagus. Yang mereka lihat sebuah makam yang lumrah, tidak ada karangan bunga mencolok, dan tidak terdengar suara tangis yang dibuat-buat.
Makam di hadapan mereka masih basah, nisannya putih dan sederhana. Satu per satu orang datang, menatap pekuburan itu dengan pandangan sedih, namun mereka tak menangis. Mereka kehilangan salah satu rekan terbaik mereka. Hal itu yang dapat ditangkap dari wajah para pelayat. Hal yang menarik adalah tiap ‘manusia sederhana’ yang datang melayat, mereka meletakkan buku dan beberapa lembar kertas di samping nisan.
“Lalu itu makam siapa? Sepertinya bukan orang yang terkenal,” ujar Materi pedas.
“Dia seorang sastrawan,” jawab Sastrojono tenang. “Dialah yang mengkritik muculnya film sensual aktris itu. Dialah yang menulis buku tentang sindiran terhadap politikus alias koruptor tersebut. Dia yang terbuka mata dan hatinya atas keadaan bangsa ini.”
Sastrojono berjalan perlahan mendekati makam, meletakkan secarik kertas di samping nisan. ‘Tak perlu mengenangku, sadarilah aku telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi’, sebaris kalimat menghias di atas kertas tersebut.
“Ia ingin pergi dengan damai, dengan tulisan tangan yang pernah ia torehkan selama ia bernapas. Tanah air adalah rumahnya,” cerita Sastrojono.
Tiga orang itu pergi di hari yang sama. Dikubur dalam satu tanah dan dilepas kepergiannya.
Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggris