Oleh: M. Djauzi Mudzakir

Dewasa ini salah satu masalah besar yang sedang muncul di tengah masyarakat kita adalah berkenaan dengan kerisauan orang terhadap Program Paket C. Isunya adalah pengakuan terhadap ijazah program Paket C sudah memiliki dasar hukum, tetapi masyarakat melihat berbagai fakta yang membuatnya sangat sulit untuk menerima program tersebut sebagai program pendidikan yang layak untuk “disetarakan” dengan SLTA. Yang paling mudah dilihat adalah jumlah hari dan jam pembelajarannya. Kegiatan pembelajarannya hanya dilaksanakan 2-3 hari per minggu dan dalam seharinya hanya berlangsung sekitar 1-2 jam. Bagaimana bisa dengan waktu pembelajaran yang semacam ini program Paket C disetarakan dengan SMA, SMK, atau Madrasah Aliyah yang programnya dilaksanakan selama 6 hari per minggu dengan waktu belajar 6-7 jam setiap harinya. Lebih dari itu pembelajaran di sekolah-sekolah tersebut berjalan secara intensif, disiplin, dan inovatif, bahkan masih ditambah pula dengan berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler. Itu saja masih belum menjamin penuh siswanya berhasil secara optimal dalam menempuh ujian akhir nasional (UAN).
Selain jam pembelajarannya yang sangat pendek, banyak hal-hal lain yang juga membingungkan. Mengenai siapa yang menjadi tenaga pengajarnya misalnya. Kenyataan menunjukkan bahwa tenaga pengajar tidak direkrut berdasarkan sistem dan prosedur yang jelas dan baku. Gaji tutor dan pengelolanya pun juga tidak jelas, bukan ketidakjelasan tentang berapanya, tetapi juga tentang “ada-tidak”nya. Intake (masukan) siswanya juga kurang berkualitas, yaitu dari para anak putus sekolah, dan akhir-akhir ini ditambah dari anak-anak yang tidak lulus ujian nasional SMA, SMK atau MA. Pengelolaannya juga tak kurang meragukan. Kurikulum dan materi pelajaran yang diajarkan sangat tergantung kepada pengelola dan tenaga pengajarnya. Struktur pengelola dan sistem pengelolaannya tidak baku. Jadwal pelajarannya tidak ajek dan tidak berjalan dengan disiplin. Sarana-prasarana belajarnya juga seadanya. Selanjutnya dengan adanya jaminan legal bagi kesetaraan ijazahnya, timbul spekulasi di kalangan para siswa atau siapapun termasuk yang gagal UAN SLTA untuk berbondong-bondong masuk ke program Paket C.
Mereka merasa bahwa dengan memasuki program tersebut mereka pasti mendapatkan ijazah. Akibatnya muncul nuansa kekurang-seriusan siswa SLTA dalam mengikuti UAN. Di sisi lain juga muncul lembaga kerja ataupun perguruan tinggi tertentu yang menolak ijazah program Paket C setara ijazah SMA, MA, atau SMK meskipun sikap semacam ini bertentangan dengan peraturan-perundangan yang berlaku. Oleh karena itu bertambah wajarlah jika sebagian besar masyarakat semakin memandang program Paket C dengan hanya sebelah mata. Fakta-fakta ini sulit dibantah dan karenanya kalau jaminan hukum atas kesetaraan ijazah program Paket C diberlakukan begitu saja tanpa dibarengi dengan pembenahan yang sungguh-sungguh terhadap kekurangan-kekurangan program pendidikan yang bersangkutan, niscaya pada gilirannya jaminan hukum tersebut akan berganti dipersoalkan orang atau bahkan bisa digugat oleh masyarakat.
Program Paket C adalah program pendidikan yang dirancang sebagai salah satu program pendidikan luar sekolah (PLS) yang bertujuan memberi layanan pendidikan setara SLTA kepada warga masyarakat yang tidak berkesempatan memasuki SMA, SMK, MA pada sistem pendidikan perseko-lahan karena beberapa keterbatasan. Pola belajar yang sebenarnya diharapkan dalam program pendidikan tersebut adalah belajar mandiri. Jadi kata kuncinya adalah sistem belajar mandiri. Karena itu waktu untuk tatap muka bagi pembelajarannya tidak dirancang sebanyak waktu pembelajaran di SMA, SMK, ataupun MA. Pertemuan tatap muka pada program Paket C bukan dimaksudkan sebagai pembelajaran seperti lazimnya yang dilaksanakan di sekolah, melainkan tutorial.
Dengan demikian yang diharapkan dominan di dalam program ini adalah proses belajar peserta didik dan bukan proses pembelajaran bersama tutor. Karena itu diharapkan para peserta didik betul-betul menggunakan kesempatan-kesempatan dalam berbagai kegiatan hidupnya sehari-hari untuk belajar sendiri. Dengan demikian sewaktu mereka bertemu dengan tutor di tempat pembelajaran, mereka tinggal melakukan pendalaman-pendalaman bersama tutor terhadap materi-materi yang tidak bisa atau masih sulit untuk dipelajarinya sendiri. Dengan sistem belajar yang semacam ini, akhirnya dapat diharapkan jam belajar siswa program Paket C dan siswa SLTA tidak jauh berbeda.
Soal intensitas kegiatan belajar dan pembelajaran, bagaimanapun juga antara program Paket C dan SLTA tersebut memang tidak bisa sama. Latar belakang kehidupan peserta didik SMA, SMK, MA, dan program Paket C sama sekali berbeda. Siswa sekolah formal sebagian besar tidak dihadapkan pada kendala ekonomi yang demikian parah yang sampai membuatnya tidak bisa masuk sekolah, tetapi tidak demikian halnya dengan siswa program Paket C. Siswa sekolah formal sebagian besar juga tidak dihadapkan pada masalah-masalah sosial yang dapat membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang, teratur, damai, membanggakan seperti kegoncangan keluarga, ketakpedulian dan ketiadaan kasih-sayang orang tua, ketidakpastian hidup dan lain-lain, tetapi tidak demikian halnya dengan siswa program Paket C.
Masih banyak hal-hal lain yang betul-betul membedakan latar kehidupan antara siswa sekolah dan peserta didik program Paket C. Situasi dan kondisi kehidupan yang berbeda tersebut benar-benar membedakan kondisi kejiwaan siswa yang masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan mental yang menjadi prasyarat untuk keberlangsungan proses belajar yang efektif. Kondisi inilah yang mengharuskan perbedaan pola penyelenggaraan pendidikan pada program Paket C dari SLTA. Program Paket C malah dituntut untuk beorientasi pada pemenuhan kebutuhan praktis peserta didik terkait dengan segi-segi sosial dan ekonomi melalui pengaitan program tersebut dengan pendidikan kecakapan hidup (life skills). Karenanya program Paket C memang tidak bisa disamakan dengan SLTA, bisanya adalah disetarakan.
Soal kelembagaan memang memerlukan perhatian dan penanganan yang amat  serius dari semua pihak. Amanat UUD 1945 dan deklarasi PBB yang dikenal dengan “Education for All” (pendidikan untuk semua) di Jomtien, menuntut penggalakan berbagai upaya termasuk program Paket C untuk memenuhi hak warga masyarakat memperoleh layanan pendidikan yang layak. Warga masyarakat kita sangat banyak yang tidak memperoleh kesempatan menikmati pendidikan persekolahan. Mereka mempunyai hak asasi untuk mendapatkan layanan pendidikan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dan meningkatkan kualitas SDM bangsa. Karena itu baik masyarakat lebih-lebih pemerintah memang dituntut untuk semakin meningkatkan kepedulian terhadap program Paket C, termasuk pembenahan terhadap segala hal ikhwal kelembagaannya yang masih banyak kekurangan, baik dari segi akademik ataupun segi supporting systemnya. Sebuah pemikiran yang amat keliru adalah pemikiran yang memandang bahwa karena pengelolaannya tidak jelas maka program Paket C sebaiknya tidak dilanjutkan atau bahkan dibubarkan. Adalah pemikiran yang keliru pula bila memandang program Paket C sekedar semacam program ujian persamaan (upers), apalagi “penjual” ijazah. Pandangan atau upaya yang sengaja untuk membuat program Paket C menjadi hal yang semacam ini jelas merupakan tindakan yang tidak terpuji dan melecehkan jalur pendidikan luar sekolah.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana agar sistem belajar mandiri yang merupakan kata kunci penyetaraan program Paket C terhadap pendidikan formal SLTA sebagaimana dikemukakan di atas bisa terlaksana seperti yang diharapkan. Barangkali memang perlu dikonfirmasi apakah masyarakat kita memang betul-betul bisa diharapkan belajar secara mandiri? Kalau memang bisa, upaya-upaya apa yang bisa dikembangkan untuk menjamin sustainabilitas keterlaksanaannya? Tetapi kalau seandainya tidak, apakah bisa ditemukan alternatif solusi lain yang lebih bisa diterapkan? Persoalan ini mengundang para pakar pembelajaran di bidang PLS untuk saling bahu-membahu dan merapatkan barisan guna segera mencarikan jalan keluarnya.
Belajar mandiri mungkin tidak harus selalu diartikan sebagai belajar yang kegiatannya diserahkan sepenuhnya kepada peserta didik sehingga tidak perlu ada kontrol ataupun pengarahan sama sekali. Dengan kata lain, kita tidak harus percaya begitu saja bahwa peserta didik pasti mampu dan mau belajar sendiri dengan penuh kesadaran. Secara kejiwaan ada orang yang bertipe dependent (bergantung) dan ada juga yang bertipe independen (mandiri) dalam belajar. Orang yang independen akan belajar meskipun tidak disuruh, tetapi orang yang dependen sulit diharapkan bisa belajar jika tidak didorong. Universitas Terbuka (UT) yang selama ini mengandalkan sistem belajar mandiri saat ini cenderung “mengganti” sistem belajar mandirinya yang dulunya lebih liberal ke sistem belajar mandiri yang lebih terpandu melalui sistem tatap muka tutorial yang terjadwal. Dengan pola tutorial yang lebih intensif ini proses dan hasil belajarnya lebih termonitor dan lebih efektif. Tampaknya telah disadari bahwa belajar mandiri secara “liberal” untuk masyarakat Indonesia yang sudah berada pada tingkat mahasiswa saja sulit terlaksana. Pengalaman UT yang menyelenggarakan sistem belajar mandiri dengan menfasilitasi peserta didiknya dengan tutorial yang intensif dan buku-buku modul yang sangat bagus barangkali bisa menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan penyelenggaraan program Paket C ke depan yang lebih baik.
Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) wilayah IV di Surabaya bekerjasama dengan Universitas Negeri Malang (UM) mengembangkan sistem kredit kompetensi (SKK) untuk membuat panduan guna mengawal kualitas penyelenggaraan pembelajaran dan prestasi belajar peserta didik program Paket C. Upaya ini tentunya  masih merupakan sentuhan terhadap sebagian saja dari tuntutan pembenahan program Paket C. Modul yang bagus misalnya perlu diadakan. Rekrutmen tutor juga perlu ditangani dan bila perlu diangkat melalui jalur PNS. Pengelolaan dan pembelajarannya perlu distandari-sasi dan PKBM penyelenggaranya perlu diwajibkan memenuhi standar tersebut. Maklum program Paket C memang berbeda dari program PLS yang lain karena fungsi program ini menuntut perujukan yang kental terhadap pola penyeleng-garaan pendidikan formal. Tampaknya memang masih banyak yang bisa dilakukan ke depan dalam hal ini. Satu hal yang perlu ditegaskan adalah program Paket C tidak bisa diambil alih oleh lembaga pendidikan formal. Pengalaman UT sebagai perguruan tinggi terbesar di Indonesia menunjukkan bahwa penyediaan dosen untuk pelaksanaan pembelajarannya ternyata merupakan hal yang tak bisa dipenuhi. Belum lagi soal roh andragogis sebagai karakteristik dari pembelajaran PLS yang harus dihidupkan di dalamnya.
Dengan demikian sistem belajar mandiri yang dijadikan asumsi dasar bagi pengalokasian waktu tutorial yang sangat minim untuk program Paket C memang tidak berlebihan untuk diverifikasi. Jika asumsi dasar tersebut benar, maka tidak ada alasan lagi bagi siapapun untuk meragukan pola alokasi waktu pembelajaran yang sudah biasa digunakan di program Paket C. Tetapi jika ternyata asumsi tersebut kurang terdukung secara faktual, maka tentu perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap asumsi dasar tersebut dan bahkan juga terhadap sistem pembelajaran dan pengelolaannya. Kita memang perlu bergerak yang lebih cepat, kita perlu berbuat yang lebih banyak, dan kita semua perlu segera bangkit!

?Penulis adalah Ketua Prodi PLS Program Pascasarjana UM