Oleh Rhara

Tetes-tetes air hujan masih membasahi bumi yang kian hari kian gersang, aroma tanah basah menelingkup indra penciumanku, ada geletar rindu yang menelusuk hatiku, sendu dan biru. Pucuk-pucuk daun akasia yang menjulang didepan kamarku menyisakan bulir-bulir air hujan yang jatuh perlahan, sang angin mulai berhembus menari-nari diantara sisa-sisa percikan air hujan seolah tertawa dalam gelak diantara awan-awan hitam yang mulai menghilang yang lebih dari dua jam tadi telah menuangkan berjuta bulir air dalam cangkang hitamnya.

Kutarik selimut usang kian merapat ke tubuhku, kaca jendela kamarku berembun menandakan sang hujan pernah singgah padanya. Kupandangi langit-langit kamarku yang berwarna pucat, sebuah kamar tidur  kecil dengan ukuran 2×4, meja kecil disudut tempat tidur, ranjang yang mulai berderak rapuh, dan almari usang disudut ruangan teronggok tak berdaya dimakan usia. Aku menghela nafas panjang, setidaknya ini lebih baik bagiku runtuk batinku. Lapisan kembara meniti ruang hayalku, titian episode yang telah kulalui menelingkup memoriku dan hanya menyentakkanku pada satu rasa, yakni sepi. Mugkin hanya kesepian yang dengan setia menemani orang tua sepertiku. Sepi dari untaian canda tawa anak-anakku, sepi dari ricuh ceria tawa cucuku, dan sepi dari kehangatan kasih keluargaku. Ada sebersit luka serasa mengoyak hati tuaku, saat selintas teringat wajah putriku. Rindu…mungkin itu yang ingin kusampaikan namun gejolak kekecewaanku lebih menggelora dan pada akhirnya hanya hadirkan siluet nyeri disudut hatiku. Pilu.
***
“ Kriekk…”
Terdengar suara pintu kamarku dibuka, sesosok wajah teduh dengan berbalut jilbab panjang tersenyum kearahku. Yasmin namanya, dia adalah salah satu sukarelawan disini. Berbeda dengan sukarelawan-sukarelawan yang lain, Yasmin sosok yang begitu hangat, lembut, dan penuh kesabaran.
“Assalammualaikum mother…selamat sore” sapanya dengan suara merdu dan sebuah senyuman yang tak pernah pupus dari bibirnya
“ Selamat sore nak” ucapku serak, menatap sosok cantik yang duduk didepanku, bayangan putri tunggalku kembali hadir, namun dengan seketika segera kutepiskan gejolak emosi yang menyakitkan ini.
“Mother…silakan dinikmati buburnya, sore-sore sehabis hujan bagus lho makan yang hangat-hangat” ucap Yasmin seraya menyuapiku
“Nak…,” ucapku terputus, kupandangi wajah cantiknya dengan bola mata yang berpijar bening, ada geletar rindu yang membuncah didadaku saat bersirobok dengan mata beningnya dan tanpa terasa bulir-bulir bening telah bergelayut manja dikelopak mata senjaku. Sudah hampir dua tahun sejak aku berada disini, Amara putri semata wayangku tidak pernah sekalipun mengujungiku, mungkin dia terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya atau mungkin dia juga telah lupa bahwa aku ibunya masih hidup. ‘Rumah Senja’ yah…kami para orang tua yang menghuni tempat ini biasa menyebutnya demikian, sebuah bangunan yang tidak bisa dibilang megah namun layak untuk ditempati dengan beberapa petugas dan sukarelawan yang merawat kami. Rumah senja adalah sebuah rumah yang begitu berarti diusiaku yang semakin menua, dimana kami masih bisa mendapat sepercik kasih sayang meski terbelenggu kerinduan dengan anak-anak kami namun toh setidaknya disini masih ada Yasmin, yah…hanya dengannya terkadang geletar rinduku pada putriku bisa terpulihkan.
“Mother…kenapa mother menangis?” tanya Yasmin
“Ah, tidak…cuma teringat putri mother saja,” ucapku datar berusaha menyeka butir airmataku, dengan segera Yasmin memelukku dengan erat, seerat rengkuhan rinduku pada anakku yang kini entah sedang apa, dimana, dan bahkan mungkin dia juga lupa pernah memiliki ibu seperti aku.
***
“ Mengapa mau jadi sukarelawan di sini”? tanyaku pada Yasmin disuatu sore yang cerah, gadis di depanku tersenyum simpul dan menggenggam tangan rentaku
“ karena bagi saya ini adalah kewajiban yang sangat saya cintai” ucapnya membuatku takjub, membayangkan alangkah jauh berbedanya sosok Yasmin dengan putri tunggalku Amara. Itu isi percakapanku dengan Yasmin beberapa hari sebelumnya, suda hampir satu minggu ini aku tidak melihatnya nampak disini. Beberapa sukarelawan suah kutanyai tentang keberadaan Yasmin namun mereka hanya bilang Yasmin masih pulang kampong. Kuhela nafas panjang kurasakan bebean kerinduan ini semakin kuat, rindu putri semata wayangku Amara, rindu kelembutan dan kesabaran Yasmin. Kurasakan dadaku mulai sakit, di usia senja ini memang kondisi tubuhku semakin rapuh
***
“Entah telah sampai dipenghujung malam yang keberapa aku menunggunya
Menunggu sekeping hatiku yang telah melupakanku,
Mengharap dia akan datang bersama cucu-cucuku
Terseyum bersama di ujung usia senjaku
Tiap tetes air hujan turun tiap itu pula rinduaku semakin nyata
Bergemuruh menyatukan bongkah-bogkah kasih yang terbentang
Anakku…
Mungkin kau telah lupa bahwa dari air susu ini kau tumbuh dan bertahan hidup
Mungkin kaupun lupa bahwa tubuh renta ini masih setia menyulam benang-benang kerinduan untukkmu
Mengapa anakkku? Serenta inikah aku?  Telah habiskan tenagaku? dan begitu kotorkah diriku sehingga kau menjauhkanku dari kasihmu
Malam demi malam, hujan demi hujan, aku hanya mampu menahan rindu agar dapat berjumpa denganmu
Wahai anakku…
Sekiranya kau dengar rintihan kerinduanku
Sekirannya kau tahu sulaman kasihku senantiasa untukmu
Luangkanlah waktu meski hanya sedetik untukku
Agar mampu menjadi obat dikala tangan-tangan rindu mengusik hatiku
Bukan! Bukan ku ingin mengusik ketenangan hidupmu
BUkan pula ku ingin  menjadi beban dipundakmu
Namun ku Cuma ingin memeperoleh kehangatan kasihmu, bersamamu anakku
Itu hal terindah yang ingin kurasakan diusia senjaku…
Kubaca bait demi bait rangkaian kata yang terjalin rapi disecarik kertas kusam yang hampir lusuh ini, entah berapa juta linangan airmataku yang telah tertumpah dan terpahat lusuh diatasnya, ada rona sesak dan recapan kepedihan direlung hatiku, mother Anastasya… beberapa hari ini aku terlalu sibuk dengan kepulanganku dan jadwal kuliahku sehingga jarang menemani beliau, dan semalam diantara sakit asmanya yang kian parah beliau masih meminta kertas dan pena padaku, dan setelah menyuruhku  menutup pintu kamarnya pagi ini aku terdiam tergugu mendapati tubuh tuanya telah meregang nyawa dengan secarik kertas lusuh oleh bekas linangan airmata. Aku masih terdiam dalam tangis panjang dengan secarik kertas masih tersemat diantara tanganku entah akan kuberikan pada siapa.

Penulis adalah mahasiswa jurusan AP, FIP UM