Cerpen Ani Aulia Safitri

Pengap. Sempit! Bau keringat menyebar di seluruh ruangan lembab ini. Apalagi si Gendut itu tanpa henti mengepulkan asap rokok yang entah dari apa. Kurasa baunya begitu menyengat. Meskipun aku sudah biasa dengan asap rokok, tapi aku tak tahan jika terus menghisap kepulan asap yang keluar dari mulut hitamnya. Muak! Ingin muntah rasanya.
Aku masih tak percaya aku ada di sini, di ruangan yang penuh dengan tinggi. Tikus-tikus tak sopan berkeliaran kesana-kemari. Kadang juga berani menggigit kapal di ujung-ujung jari. Padahal nyata-nyata kami masih terjaga.
Malam menumpahkan tintanya. Semakin lama semakin pekat. Ruangan ini  semakin gelap dan pengap. Saatnya tangan-tangan sibuk menaboki nyamuk yang terus menjelajah mencari mangsa. Aku tak dapat memejamkan mata. Dengkur melengking menyeruak dari sudut sebelah kanan. Timbul tenggelam di antara hening dan sunyi. Pikiranku melayang ke mana-mana. Hanyut bersama udara yang semakin dingin dan lembab.
***
“Kenapa kau lakukan ini Kemal? Ibu tak percaya kau lakukan ini semua. Ibu tak percaya!” kulihat ada genangan di pelupuk matanya. Aku hanya bisa diam. Bibirku gemetar. Tubuhku kaku.
“Kemal, apakah ibu kurang mengajarkan moral padamu? Dia itu ayahmu, Kemal.” Dia tarik nafas dengan susah. Dapat kurasakan beban berat yang ia tanggung. Lipatan di keningnya nampak semakin jelas. Lipatan-lipatan itu membentuk guratan yang membuatnya nampak semakin tua.
Ibu, maafkan aku. Aku telah mengecewakanmu. Aku gagal menjadi laki-laki yang kau impikan.
Aku masih bergeming. Kutatapi lantai yang tak ada apa-apanya. Kucari-cari sesuatu meski aku tak tahu apa yang kucari.
“Jelek-jelek begitu, dia itu bapakmu, Kemal.” Kali ini genangan itu kulihat merembes membasahi pipinya. Ingin rasanya kupeluk dia, tapi aku tak sanggup. Tubuh ini terasa terpasak. Semakin kucoba untuk bangkit, semakin aku tak bisa bergerak. Kaku.
“Ibu…,” kucoba kuatkan diriku untuk berbicara. Kuhimpun segala kekuatan yang ada dalam diriku. “Maafkan aku.” Hanya itu yang dapat kukatakan. Selebihnya tidak. Tenggorokanku tercekat. Aku yakin ibu tahu apa yang kurasakan. Ibu, maafkan aku.
***
“Dasar perempuan sundel! Tak tahu diri! Enyah kau dari hadapanku! Aku tak membutuhkanmu! Urusi saja anakmu! Jangan ikut campur. Lancang!” suara itu kudengar saat aku setengah terjaga. Waktu itu kesadaranku masih separuh. Kudengar suara gebrakan pintu berdentam dari kamarku. Setelah itu hening. Perlahan kudengar suara tangis yang ditahan. Jelas, kutahu itu suara ibu. Malam ini sudah kelima kalinya ibu menangis lantaran sikap bapak yang semakin hari semakin kasar.
Jika sudah begitu biasanya ibu berlalu mengambil air wudhu lalu sembahyang. Dalam sembahyang, ia masih melanjutkan isakannya. Aku hanya diam tak dapat melakukan apa pun.
Ibu, maafkan aku. Aku tak dapat berbuat apa pun.
Di balik dinding kamar, aku masih terus mendengarkan desauannya. Miris. Ingin aku berlari mendekapnya. Namun, sekali lagi aku tak dapat berbuat apa-apa meski hanya sekedar pelukan, kata-kata atau yang lainnya. Aku hanya bisa mendengar semua makian itu. Aku hanya bisa menangis dalam kamar. Kadang aku merasa aku bukan lelaki. Lebih baik aku jadi perempuan saja seperti ibuku. Toh meski dia perempuan, dia tetap tegar. Nyatanya selama ini dia juga yang banting tulang menghidupi keluarga ini.
Lalu, apa yang dilakukan bapak? Dia hanya bisa memeras ibu saja. Dia selalu memaki jika ia tak mendapatkan apa yang ia inginkan. Aku muak dengan sikapnya. Kerjanya hanya keluyuran tak karuan. Ngopi di warung Mak Ijah, taruhan, kemudian pulang dengan tubuh sempoyongan.
***
“Kemal, kau jangan memikirkan bapakmu,” kata ibu padaku suatu hari. “Ibu tahu kau pasti merasa heran dengan sikap bapakmu akhir-akhir ini. Banyak sekali hal yang tak bisa ibu ceritakan padamu. Ini masalah orang dewasa. Kau diam saja. Ibu yakin, dia tak akan berani berbuat apa-apa.” Ia terus bercerita.
Sementara aku, aku hanya diam menjadi pendengar yang taat. Menyimak dengan seksama walaupun kadang aku tak terima dengan kebijakan itu. Aku tahu tak selamanya manusia bisa diam. Tak selamanya manusia bisa menahan. Tapi lagi-lagi aku menurut karena aku tahu hati ibu terlalu bersih. Aku tak sanggup jika harus melukai hatinya.
“Jadilah seseorang yang bisa mengangkat nama keluarga ini. Buktikan pada semua orang bahwa kau juga bisa menjadi orang yang patut dibanggakan meski bapakmu sering berbuat kesalahan. Kau juga tahu Kemal, bahwa tak ada seorang pun yang tak pernah berbuat kesalahan karena manusia adalah tempatnya salah. Dari kesalahan itulah kita bisa belajar untuk lebih dewasa. Kita bisa belajar untuk memaknai hidup.”
***
“Aku benar-benar sudah tidak punya uang, Mas. Kau juga tahu biaya sekolah Kemal juga semakin mahal. Ongkosku nyetak kue juga masih belum dibayar.”
“Dasar pembohong!”
“Apa gunanya aku berbohong darimu, Mas.”
“Lalu, ini uang apa? Kau mau menyembunyikan ini dariku?”
Wajah Sari pucat. “Itu uang untuk membayar sekolah Kemal, Mas. Sudah dua bulan uang sekolahnya belum kubayar. Lagi pula untuk apa uang itu?”
“Cerewet!” Laki-laki itu berlalu meninggalkan istrinya.
“Mas!” Sari berusaha mengejar suaminya. “Mas, tunggu. Itu uang untuk bayar sekolah Kemal. Jangan diambil!”
Laki-laki itu berhenti. Menoleh ke arah perempuan yang tak lain istrinya. Ia berbalik dan berjalan mendekati perempuan itu.
“Kau mau uang ini? Minta saja pada si Juki. Bukankah dia yang memberimu uang selama ini, ha? Kenapa kau tak minta dia saja?”
“Mas, bicara apa kamu ini? Aku gak ngerti.”
“Alah, alasan! Jangan kau kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan di belakangku. Aku tahu semuanya, Sari!”
“O, kau kira aku selingkuh di belakangmu? Bukankah sebaliknya? Mana wanita simpananmu itu! Asal kamu tahu Mas, aku selalu memertahankan untuk tetap setia padamu. Inikah balasan yang kau berikan padaku?”
“Dasar wanita kurang ajar!” Laki-laki itu menampar Sari.
“Tampar sepuasmu jika itu bisa membuatmu lega! Aku tak suka pada lelaki pengecut sepertimu!”
Laki-laki itu hampir menampar Sari lagi. Tapi ia tak dapat melampiaskan. Dengan amarah yang masih menggumpal, ia tinggalkan istrinya sendiri dalam segala remuk redam.
***
Aku muntab ketika ia membawa wanita itu ke rumah ketika ibu tidak ada. Tanpa rasa canggung, ia memerkenalkan wanita itu kepadaku.
“Kemal, ini adalah calon ibu barumu. Baik-baik ya dengannya? Jangan takut.”
Ha? Ibu baru? Sejak kapan aku punya ibu baru? Tidak. Aku tidak ingin punya ibu baru. Ibuku hanya seorang, Ibu Sari. Itu saja. Tak ada yang lain.
“Hai, Kemal. Manis juga kau. Persis seperti bapakmu.” Wanita itu benar-benar tak tahu malu. Cih! Aku tak mau seperti laki-laki bajingan itu.
Sekarang aku tahu kenapa bapak berubah akhir-akhir ini. Pasti gara-gara wanita itu. Aku muak melihat bibirnya yang merah menyala.
“Sayang, anakmu ini benar-benar genteng. Persis sepertimu.” Tanpa malu-malu wanita itu merayu bapak di depan mataku. Aku risih. Tapi, aku tak dapat berbuat apa-apa.
Aku benci pada diriku sendiri. Kenapa aku tak dapat membela ibu ketika ia mendapat perlakuan kasar dari bapak? Kenapa aku tak dapat melakukan sesuatu untuknya?
“Kemal, sekarang cobalah untuk melupakan ibumu. Dia sudah punya mainan lain. Kau tenang saja, dia yang akan menggantikan ibumu.”
“Tapi, Bapak, kenapa?”
“Kau tahu, dia itu seorang pelacur! Dia itu wanita tengik. Dia selalu membangkang! Apa yang kau pertahankan dari wanita busuk itu?”
Dadaku berdebar kencang. Aku  tak dapat menguasai diriku. Semuanya terlihat gelap. Aku berlari ke belakang. Kuambil sesuatu sekenanya. Lalu, aku kembali ke ruang tamu. Kudapati ayah sedang berciuman dengan wanita tengik itu. Tanpa pikir panjang, kuhantamkan benda yang kupegang. Dan benda itu tepat mengenai kepala bapak. Seketika darah muncrat dari kepala laki-laki itu. Wanita itu berteriak sejadi-jadinya. Ia lari terbirit-birit sambil terus berteriak. Kulihat ia hampir terjungkal.
Aku masih terpaku. Aku tak percaya aku melakukannya. Kulihat bapakku menggelepar-gelepar. Sekali lagi aku tak dapat melakukan apa pun kecuali diam.
***
“Ibu, maafkan aku. Biarkan aku. Jangan tangisi aku. Biarkan aku menebus dosaku. Menebus kesalahanku. Mungkin hanya ini yang bisa aku lakukan.”
Wanita itu terus mengucurkan buliran-buliran air mata. Ia mendekapku dalam pelukannya. Isak tangis mewarnai hati kami. Kutumpahkan semua air mata yang sempat tertahan begitu lama.

Penulis adalah mahasiswi Sastra Indonesia,  juara I Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2010 kategori cerpen, dan giat di FLP UM.