Cerpen M. Nur Fahrul Lukmanul Khakim

Mungkin benar slogan itu. Orang miskin dilarang sakit. Apalagi sakit kaki gajah. Sudah miskin, kakinya besar dan menjijikkan, hidup lagi. Duh, Gusti! Setiap hari aku selalu berdoa, semoga penyakitku ini bisa sembuh. Dan semoga Panuji itu juga terkena penyakit sepertiku ini. Biar dia bisa merasakan betapa menderitanya hidupku. Biar mulutnya yang comel itu bisa segera tobat. Kupandangi kaki kiriku yang semakin hari kelihatan semakin menyeramkan dan gendut. Ukurannya sudah membesar dua kali lipat dari ukuran normalnya. Membuatku semakin tersiksa dan tak percaya diri.
Emak menaruh piring berisi makan siangku. Ikan teri, sayur kankung, dan nasi. Namun aku tak berselera makan. Selalu saja emak begitu sabar menghadapiku.
Kadangkala aku sering membayangkan emak tiba-tiba jadi jahat. Kemudian membunuhku karena aku adalah anak lelaki satu-satunya, selalu menyusahkan, dan tidak bisa apa-apa. Aku harap emak membunuhku saat tidur sehingga aku tidak bisa merasakan tajamnya gigi pisau menggigit dagingku. Lalu aku akan menyusul bapak di akhirat. Tentu, aku sangat tidak ingin mati disambar petir di sawah seperti bapakku itu. Jangankan ke sawah, ke dapur atau kamar mandi saja aku susah.
Namun malaikat selalu saja ada di sisi emak sehingga aku masih tetap bernapas dan selalu mendapat curahan kasih sayang emak sepanjang hari. Hanya saja emak tidak bisa mengobatkanku sampai sembuh karena miskin berhala kertas. Kenapa Tuhan tak menjadikanku gajah sekalian, biar aku bisa mendekam di kebun binatang. Jauh dari tatapan emak yang menabung kesusahan dan ketegaran seorang ibu mandraguna.
“Gajah, jangan kebanyakan melamun. Nanti kakimu sembuh, lo!” ejek Panuji dari pintu rumahku. Kebetulan aku duduk di depan ruang tamu. Geram menyulut emosiku. Segera aku lemparkan piring seng yang masih ada makananku ke arah sosok biadab itu.
Prang! Nyanyian piring itu setelah menabrak kusen pintu. Tentu saja, Panuji mengelak dan imbasnya dia menjulurkan lidah dengan puas karena lemparanku gagal. Aku berjanji akan membuatnya tidak punya lidah suatu hari nanti. Panuji segera kabur saat mengetahui emak mendengar keributan itu. Emak begitu marah saat tahu piring dan nasi tumpah ruah di lantai. Emak sepertinya sakit hati dan berkata tidak akan memberiku makan lagi.
Aku jadi sangat sedih dan menyesal. Namun Emak tak mau mendengar pembelaanku. Apalagi mendengarkan permintaanku. Aku ingin memiliki alat lukis. Ngomong-ngomong soal melukis, aku sangat tertarik. Aku selalu mendapatkan nilai bagus pada pelajaran menggambar saat SD, lima belas tahun yang lalu. Namun kini aku hanya bisa menulis di kertas lecek. Kadang-kadang koran. Dengan bermodal bolpoin dan pensil usang seadanya. Kini aku sedang mencari inspirasi untuk lukisanku. Oh, juga inspirasi untuk membuat Panuji tiba-tiba kehilangan lidah dan kaki. Supaya dia berhenti mengejekku lagi.

* * *
Akhirnya aku bisa membuat sebuah lukisan. Emak membelikanku peralatan melukis bekas dari uang kiriman saudariku. Setiap hari aku selalu melukis. Lukisan pertamaku berobjek emak sedang menyapu di bawah pohon jambu biji di depan rumah. Sosok emak memakai daster tuanya dengan rambut yang sudah mulai ubanan tergelung tak sempurna. Pohon jambu di atasnya tampak sangat rimbun. Riwayat pohon jambu biji itu kata emak sama dengan usiaku kini. Emak sedang menyapu dedauan jatuh yang banyak ulatnya.
Lukisanku mengisahkan keseharian hidup emak karena hanya itulah objek yang kukenal setiap hari. Lalu ada lukisan emak sedang memarahi anak-anak kecil yang sedang memanjat pohon jambu seenaknya sendiri sehingga mengotori pelataran rumah. Jadi emak harus menyapunya lagi dan lagi.
Emak sedang menggoreng ikan teri dengan persediaan kayu bakar yang semakin menipis. Pasokan kayu kering semakin berkurang karena gerimis menyelimuti hari demi hari. Wajah emak begitu tegar. Seolah menyembunyikan kepedihan dan kerinduannya pada anak-anaknya. Saudaraku ada dua, Rista sudah menikah dan tinggal dengan suaminya di kecamatan lain. Weni merantau ke Hongkong, beberapa bulan lalu sempat pulang, namun penampilannya seperti laki-laki. Aneh, tapi emak tak peduli, asalkan Weni rajin mengirim uang.
Sosok lukisanku berikutnya adalah tentang emak dan aku. Emak mengangsurkan piring makanan untukku. Kutampilkan kaki gajahku dengan sangat dramatis dan ketegaran emak juga kentara sekali. Lukisan ini aku buat dengan penuh penjiwaan sampai-sampai mataku ikut berkabut, tersedot oleh keharuannya. Akhirnya lukisan ini kuselesaikan juga.
Keesokannya hujan deras kembali mengguyur. Ada tamu berteduh di rumah kami karena hanya rumah kami yang terletak di jalan penghujung kampung, selain rumah Panuji yang terletak beberapa meter dari rumahku. Namun orang itu lebih memilih berteduh di rumah kami.
Emak menyambutnya dengan ramah, bahkan menyajikan segelas teh. Tamu itu melihat keadaanku sambil senyum prihatin. Dia juga sempat melihat-lihat lukisanku dan berdecak kagum dengan salah satu lukisanku. Katanya penuh penjiwaan. Nama tamu itu adalah Harmawan. Dia adalah wartawan yang sedang berkunjung ke rumah temannya di desa ini dengan mengendarai motor karena mobilnya sedang diperbaiki.
Dia tertarik sangat pada lukisanku yang terakhir. Lukisan yang mengisahkan aku dan emak sehari-hari. Menurutnya lukisan itu begitu realis dan melankolis, cocok untuk dipamerkan di galeri seni milik istrinya. Dia menawar lukisan itu dengan harga satu juta. Emak dan aku begitu bahagia dan langsung mengiyakan. Siapa yang mau menolak rejeki nomplok?
Hujan beranjak reda. Pak Harmawan hendak pulang. Dia tak bisa membawa lukisan itu sekarang. Dia memberi uang muka tiga ratus ribu rupiah sebagai jaminan. Besok dia akan mengambilnya dengan mobil dan melunasinya. Dia lalu pamit pulang.
Seharian hatiku berpesta-pora bahagia. Aku tak bisa makan, minum, tidur, bahkan berkedip karena semua ini sangat indah. Mungkin ini arti sebuah kesuksesan. Aku berniat melukis lagi, namun hatiku begitu bergelora, sulit dikatakan dengan ucapan biasa. Malamnya aku ingin memeluk lukisan itu terakhir kalinya, sebelum karyaku itu pindah ke lain tangan. Namun aku takut merusaknya.
Keesokan harinya aku bangun dengan wajah ceria. Mendadak aku merasa diriku orang tertampan sedunia. Tapi lukisanku tiba-tiba hilang. Siapa yang mencuri? Kepalaku meledak-ledak karena panik. Degup jantungku seolah berhenti dan meletus dengan hebat tersebab panik dan bingungnya.
“Emak! Di mana lukisanku?” teriakku sambil meratap.
Emak datang tergopoh-gopoh. Aku sudah mengesot di lantai.
“Lukisan yang mana, to Le?” tanya Emak blo’on. Aku menyeret tubuhku ke keluar kamar ke dalam rumah, sampai akhirnya ke dapur. Tak peduli aku mirip gajah ngesot. Betapa kagetnya aku mengetahui lukisan emasku dibuat bahan bakar pengganti kayu bakar oleh emak. Hatiku mencelos luar biasa dan tangis ratapanku menjadi-jadi.
Aku lupa betapa emakku ini sangat baik hati, pikun, dan agak rabun. Jeritanku membelah kedamaian pagi itu.

* * *
“Bangun, Le!” Emak mengguncang-guncangkan tubuhku. Aku gelagapan bangun. Ternyata itu cuma mimpi. Aku tidak pernah punya lukisan. Kenyataan yang pedih. Bahkan mencukupi isi perut sehari-hari saja susah, apalagi membeli alat lukis. Aku menghela napas. Tapi aku patut bersyukur, emak kembali menghidangkan makan siang untukku. Ketulusan tersirat di wajahnya yang penuh gurat-gurat tua. Aku tersenyum, “Matur nuwun, Mak!” Aku menyalami emak sambil menangis. Emak mengelus pundakku dengan lembut.

* * *
Di rumahnya, kondisi Panuji baru saja selesai diperiksa kondisi Bidan. Panuji dilanda demam hebat semalam tadi. Kedua kakinya terasa panas dan perih, namun tidak ada luka. Lipatan kakinya terasa bengkak. Bidan menyimpulkan Panuji menunjukkan gejala kaki gajah. Beberapa bulan kemudian kedua kaki Panuji mulai semakin membesar. Adanya wabah kaki gajah itu membuat aparatur dan bidan desa sepakat untuk melakukan pembasmian dengan pengasapan pada nyamuk pembawa larva cacing filaria, penyebab utama elephantiasis dan sosialisasi dalam pemberian dietilkarbamasin (obat filariasis yang ampuh dan aman).
Panuji sangat frustasi dengan penyakit kaki gajah yang membuatnya tersiksa lahir-batin. Saat stresnya memuncak, dia nekat menyayat kaki kanannya yang membengkak dengan pisau. Hal itu membuat kakinya terinfeksi parah dan bidan menyarankan untuk membawa Panuji ke RS kabupaten agar kakinya diamputasi. Kini kaki Panuji tinggal satu dan  bengkak karena elephantiasis. Dia juga dipasung. Kalau tidak, dia bisa melukai dirinya sendiri lagi atau bahkan orang lain.
Sementara itu, Santoso mulai membuat lukisan pertamanya. Weni mengiriminya cukup uang untuk membeli alat lukis bekas. Saudarinya itu mendapatkan bonus dari majikannya. Tempo hari, pohon jambu biji di depan rumahnya roboh karena tersembar petir. Sinar surya yang hangat menyelimuti calon kayu bakar dari pohon jambu yang dijemur emak siang itu.
Penulis adalah mahasiswa Sejarah 2010, anggota UKM Penulis dan FLP Malang