Cerpen Millatuz Zakiyah


Sekonyong-konyong le­laki itu menyerobot pen­dengaranku de­ngan menceracau seke­na­nya. Aku yang sejak mula a­syik masyuk melamati se­pojok warung kopi ini lang­sung tersedak. Ia tahu ten­tang seorang yang kucari? ba­tinku. Bagaimana aku tak langsung terhenyak-henyak. Sudah dua tahunan aku menelusur sepelosok Pu­lau Jawa tanpa jawab dan dalam sekejap seorang lelaki membawa sekilatan petunjuk.
“Lelaki yang kau cari adalah lelaki yang menjelajah saban lembah untuk memperoleh ka­we­ruh, bukan? Lelaki di timur Pulau Jawa yang memenuhi paruh pertama hidupnya dengan bertapa dan berguru di segala nusantara, bukan?” ujarnya mantap. “Aku datang untuk menjemputmu. Ia telah menunggumu,” lanjutnya.
Baik, akan kuceritakan muasalnya. Aku memang mencari lelaki itu. Le­la­ki yang menjelajah sa­ban lembah untuk mem­peroleh kaweruh. Persis paparan lelaki miskin ka­ta yang akhirnya ku­kenal bernama As’ad itu. Kakekku yang me­ninggal dua tahun lalu mewasiatiku untuk men­cari lelaki itu. Selain aku tak punya sesiapa pula di muka bumi selainnya, aku juga tak memiliki alasan untuk menolaknya. Usiaku yang tujuh belas tertantang untuk mencari lelaki yang selalu didongengkan kakek semalam-malam. Hanya saja, tak satu pun petunjuk datang. Kakek hanya menyebutnya sebagai lelaki pertapa yang berguru di segala nusantara di awal hidupnya. Lelaki yang menjelajah saban lembah untuk memperoleh kaweruh.
Nah, dalam pencarian buta itulah, kakiku yang telah mengarungi sebelantara Pulau Jawa dua tahunan terakhir tiba-tiba tergelitik mampir pada segubuk warung kopi di tepi kampung. Ada aura yang tak biasa saat aku memasuki warung itu. Sebersik ketenangan mencuat dari sesinar yang berkelip di warung pinggir sawah. Kuhirup bebauan kopi yang aduhai manis dan menggelitik untuk dicoba lengkap dengan wewangian misik. Sebentar. Misik? Wewangian surga yang selalu digunakan kakekku. Sungguh tak biasa ada wewangi misik di warung kopi tepi kampung. Lalu lelaki itu mendekat-dekat padaku. Mula-mula aku takut tak terkira. Wewangi misik yang sakral itu membuatku kakiku kelu dan tanpa satu patah kata pula, aku mengekorinya.
Kiai Hasyim. Nama lelaki yang kucari ternyata. Tubuhnya kurus dan renta. Dengan surban membuntal kepala dan sarung sederhana. Kukecup tangan Kiai Hasyim. Aduhai, wewangi misik.
“Kau cucu Subhan yang bernama Subhan pula?” tanya Pak Kyai dengan senyum. Aku mengangguk takut-takut. Wewangi misik membuat tubuhku luluh lantak tak berani menengadah. “Cung, lama kau menungguku?” Pak Kiai bertanya akrab dan menepuk pundakku. Darahku berdesir secepat yang ia bisa.
“Kau memang harus menunggu. Di mana pula, siapa juga menunggu. Menunggu pulang pada Kekasihnya,” lanjut beliau. “Kau tinggal di sini,” titah Pak Kiai akhirnya. Maka aku tinggal di sini, di padepokan Pak Kiai Hasyim bersama As’ad.
Di padepokan ini, ada banyak santri dari segala penjuru Jawa, bahkan nu­san­tara. Di sini, semua san­tri hanya mengaji dan me­ngaji, kecuali aku dan As’ad. As’ad tak pernah pu­lang lama. Ia selalu diutus Pak Kiai untuk menjemput para tetamu atau santri kiriman macam aku. Se­men­tara aku setiap akan be­rangkat mengaji sembari membopong kitab selalu di-timbali Pak Kiai.
“Kau sapulah halaman pa­depokan ini!” utus be­liau kali pertama. Aku melongok-longok tak ter­kira. Halaman pesantren ini mencapai satu hektar luasnya dan aku harus me­nyapunya seorangan. Te­tapi, mulutku membisu tan­pa kata. Hanya kemudian me­ngambil sapu lidi di po­jok halaman dan mulai me­nyapu. Lepas menyapu, tentu pengajian telah usai. Hari esoknya demikian, dan demikian selalu. Alhasil, selama di padepokan tak satu kali jua aku pernah me­rasai pengajian Pak Kiai. Sekali lagi, aku tak be­rani berkata satu apa pula. Dawuh Pak Kiai selalu sempurna menghipnotisku.
“Subhan, cincin Bu Nyai masuk ke jamban,” ujar Pak Kiai tiba-tiba pada pagi keseribuku di padepokan ini. Tanpa perintah apa pula, tiba-tiba kakiku memijak begitu saja pada pembuangan kotoran. Pembuangan kotoran yang terletak di belakang ndalem itu telah lebih setahun tak disedot. Alhasil pembuangan itu sarat kotoran. Menumpuk pe­nuh. Kudaratkan kakiku pelan-pelan. Se­bentuk rasa jijik muncul memenuhi raga. Na­mun ada yang tak biasa ini kali, tanganku de­ngan lincah meremas kotoran demi kotoran. Wewangi misik lagi-lagi datang hingga aku tak merasa meremas kotoran manusia. Dan kotoran-kotoran itu tiba-tiba tak lagi tampak menjijikkan bagiku. Seperti tanah liat biasa malah. Setelah dua jam memeras kotoran-kotoran serupa tanah liat sarat wewangi misik itu, tiba-tiba benda berbentuk lingkaran berwarna emas menyembul begitu saja di depanku. Cincin Bu Nyai. Secepat kuambil dan segera berbersih diri untuk menghadap Pak Kiai.
“Ini cincin Bu Nyai, Pak Kyai,” sembari kuhaturkan cincin emas bertahtakan zamrud hijau lumut yang menaut mata.
“Zamrud hijau itu pemberian salah seorang tamuku. Katanya, ini zamrud yang ditemunya setelah penjelajahan seluruh nusantara. Tamu itu datang dari barat. Namanya Subhan.” Pak Kiai tersenyum kalem, sementara aku tersedak kekejutan tak tersangkakan. “Maka saat ia hilang, tentu kaulah yang berhak untuk mengambilnya lagi kan?” lanjut Pak Kiai dengan seutas senyum.
Sejak kejadian itu, Pak Kiai tak pernah menyuruhku apa pun. Menyapu atau menguras bak mandi telah menjadi tugas Ali, seorang santri di sini. Tapi, aku juga tetap tak pernah bisa ikut mengaji karena selalu di-timbali Pak Kiai untuk menunggu ndalem.
“Bakal ada tamu datang. Kau sambut dengan baik.” Begitu dawuh Pak Kiai. Dan begitulah, aku menunggu tanpa kepastian hingga hari ke-665.
Sekira-kira datang lelaki sepenuh borok sekujur tubuh dan pakaian dekil nan kumal pertanda tak pernah tersentuh air setetes jua. Aku menatap heran, siapa dia? Lagi-lagi tanpa ada jawaban pasti, kupersilakan ia duduk dan beristirahat di kamarku. Tanpa kata apa pun, lelaki itu menginap di gotha’an -ku. Semalam, dua malam, tiga malam. Tak ada tanda-tanda akan segera berpamitan darinya. Pak Kiai keluar kota beserta keluarga. Seluruh santri sudah memperingatkanku untuk mengusirnya, namun aku bergeming. Aku tak pernah diperintah Pak Kiai untuk mengusir seseorang, jawabku yang dibalas cemoohan seluruh santri.
“Subhan, tolong antar tamuku ini pulang ke arah yang ia tunjuk,” utus Pak Kyai lepas berbincang dengan tamu itu, lelaki yang menginap heharian di gotha’an-ku. Lelaki sepenuh borok sekujur tubuh dan pakaian dekil nan kumal pertanda tak pernah tersentuh air setetes jua. Semua santri tak ada yang mau mengantarnya, lanjut Pak Kiai. Aku hanya mengangguk dan segera kugendong lelaki yang ternyata tak mampu berjalan ini. Aku terperangah. Baru kusadari ia tak kuasa berjalan dan bagaimana ia bisa tiba ke padepokan ini? Entahlah, sudah terlalu banyak yang tak habis dipikir di padepokan ini.
Setiba di perbatasan kota, lelaki itu menunjuk arah timur kota seolah isyarat untuk menggendongnya ke arah fajar menyingsing. Terus ia menunjuki arah sebutir matahari merah saga awal hari menukik naik hingga tak kusangka aku berada di tepi lautan. Ia mengangguk dan meminta diturunkan. Aku terheran-heran apa yang ia lakukan di tepi lautan serupa ini? Tapi ia hanya membalas seutas senyum. Wewangi misik itu membau lagi. Ia menatapku, tajam dan lembut. Lalu menghilang begitu saja ditelan buih. Aku bergidik dan berlari pulang.
“Khidir berterima kasih padamu,” ujar Pak Kiai yang langsung menyambutku dengan pelukan. Khidir? Lelaki itu? Aku hanya terpukau kekagetan. Khidir sang nabi penjaga lautan? Khidir yang ditolak segala santri, hanya kau yang ternyata dipayungi keberuntungan itu. Segerombolan santri yang kala itu sedang sowan terhenyak tak sekira-kira. Mungkin menyesali penolakan dan keengganan mereka untuk mengantar Khidir. Tak lama, beberapa santri tampak berhamburan menuju arah laut tempat perpisahanku dengan Khidir.
“Mereka mengejar Khidir dan berharap sempat mencium tangannya,” ujar Pak Kiai. “Tapi, hanya orang pilihan yang bakal bertemu atau bersalaman dengannya. Tak sembarang orang. Kau termasuk orang pilihan itu,” tambah Pak Kiai dengan sesabit senyum haru.
“Pulanglah, Anakku. Pulanglah. Masanya kau kembali. Tebarlah risalah Tuhanmu,” bisik Kiai di telingaku. Semakin pelan dan pelan.
Wewangi misik datang lagi bersama wewangi kopi dengan gelap malam yang menusuk saat suara Pak Kiai lenyap, hilang tertelan angin berkesiut-kesiut. Wewangi serupa pertama aku bertemu lelaki pemberi petunjuk sekira tiga tahun lalu. Kubuka perlahan mataku yang terpejam beberapa detik. Alangkah terkaget-kagetnya aku saat menemu diriku di dalam warung pinggir sawah tepi kampung itu. Satu per satu pengunjung warung kopi menyalami dengan ta’dhim dan berujar perlahan.
“Terima kasih, Pak Kiai.” Seorang berujar sembari menyalamiku, mengecup tanganku. Pak Kiai? Aku hanya mematung tanpa kata. Tak tahu apa jawab atas semua perjalanan panjang ini.
Untuk sahabatku, Deden Subhan Ma’mun. Semoga Tuhan menjaga langkahmu.
Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia dan Ketua UKM Penulis. Cerpen ini juara I kategori cerpen Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2011.