Menjelang Sinai

sebelum kau tunaikan firmanku
terpenjara dalam awan
dan memahat dua butir alwah
bersama saudaramu, nadab, abihu
beserta tujuh puluh tetua israel
agar mereka tersungkur
pada tapak di kaki gunung ini
kerna di sinilah tempat bersemayamku
yang keramat.

lantas kau perintah pula
mereka untuk mendirikan
tugu persembahan dan kesetiaan
yang kelak menjadi tanda,
sumpah perjanjianku dengan mereka
saat fajar merekah.
tetapi hanya engkaulah
yang hendak memutus ruang
di antara kita. dan kau bertanya kenapa.
sebab aku berkuasa.

tebarkan segala ucap kudusku.
korban dua belas lembu
hingga kau kucurkan ke dalam pasu
dan basah di atas mezbah.
basah di titik ubun
segala manusia bangsa ini.

“inilah darah perjanjian
yang diikat tuhan denganmu.”

lalu mereka memandangku
menjejak di tanah pualam
berkilat-kilat seperti biru laut
yang menyabung cahaya hari.
tetapi aku tak menatap
hingga melanjutkan perjamuan
janji mereka.

Malang, 2011

Di Padang Karbala
: tragedi pembantaian Husein bin Ali

Takkan ada lagi yang mesti direbutkan.
Sebab Asyura pecah
dan Sungai Eufrat mengalir darah.
Sembilan matahari redup
di bawah tapak kaki Zul Janah.

Ia telah pulang
bersama ribuan tangis Karbala yang gersang.
Meninggalkan pertempuran binal
yang sia-sia oleh cawis
mantra-mantra muhabalah
dan Alkilbi yang memagari tenda suci.

“Mari kita kembali ke asali.
Jangan lagi ada perang sabil sanak saudara
kerna pertikaian ini tak berguna.”
Malam jatuh. Panji-panji
budak Umar bin Saad  luruh.

Tetapi tiga puluh ribu laskar Kufah
berpesta tanpa doa.
Dalam kepung kabut dosa,
Zil Jausyan berseru,
“Atas nama Tuhan dan segala yang luka,
wahai putra Hauzah Attamimi,
tumpaslah anak-anak Ali
untuk genapi dendam ini.”
Selebihnya sunyi.

Desau angin gurun
menerbangkan butir-butir pasir.
Sibuk menghapus jejak-jejak nista
yang lahir dari tikai jadah
dan sisa-sisa air surga
dari mangkuk Ummu Wahab.
Di sanalah seutas nama tertera:
Husein bin Ali bin Talib bin Mutallib.

Mereka berkata-kata,
“Tak seharusnya bulan baru
resah pada almanak baru.”
Menjadi keping-keping api
yang kelak membakar riwayat cinta
yang ditanam pada garis silsilah Nabi.

Di atasnya langit memudar.
Awan berserakan.
Ratusan gagak dan burung-burung purba
berpusing di empat penjuru cakrawala.

“Lihatlah, puluhan kereta kencana
turun dari alam nirwana
dan memanggul mereka.”
Seperti buruh pemetik
yang memikul anggur dari kebun Eh Gedi.

Para syahid terbang.
Menanggalkan segala yang banal
dan tak berarti apa-apa.
Kelak mereka tahu,
para malaikat lawh mahfuz ramai bercakap:
Apakah ini memang takdir
atau nasib yang dibuat anak manusia?

Malang, 2012

Penulis adalah mahasiswa Sastra
Indonesia dan menulis buku Sepotong Rindu dari Langit Pleiades (2011)