Cerpen M. Nur Fahrul Lukmanul Khakim

Ada fosil-fosil kejayaan di balik tanah subur itu. Aku berjalan kembali ke posko ekskavasi dengan langkah gontai. Terik matahari bergelora, menerbangkan debu-debu dari tanah galian. Sementara seonggok pecahan batu-batu kuno berserakan di samping linggan.
“Aris, terima kasih sudah mengantarkanku ke rumah pemilik kebun pepaya itu. Bantulah teman-temanmu menggali dengan hati-hati,” perintahku pada Aris, pemuda desa yang bersama dua temannya jadi buruh kasar dalam proyek penelitian kali ini.
“Sama-sama, Bu.” Aris terdiam sebentar, seperti menahan gugup. “Bagaimana hasilnya, Bu? Kalau Bu Lila tak keberatan memberitahu. Saya penasaran. Apakah pemilik kebun pepaya itu mengizinkan tanahnya digali?” desaknya.
Aku tersenyum datar. “Mereka belum memberi kepastian. Maaf, aku belum bisa memberitahumu sekarang,” dustaku.
“Inggih, Bu. Ndak apa-apa.” Aris pergi lalu mengambil cangkul, menuju kotak ekskavasi yang belum selesai digali.
Di bawah pohon durian yang teduh, kuseduh kopi krim untuk mengusir rasa kantuk. Setumpuk laporan dan artefak kuno menunggu untuk dikaji. Kepalaku penat. Aku duduk di atas terpal biru sambil menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan emosi.
Satu jam yang lalu, Aris mengantarku ke rumah pemilik kebun pepaya. Bukan untuk beli pepaya, tapi ada yang lebih penting dari itu. Kebun pepaya yang ranum itu berdiri tepat di atas lokasi ekskavasi penelitian balai arkeologi tahun lalu. Aku dan para arkeolog lainnya berusaha kembali meneliti struktur bangunan Majapahit kuno di tempat itu.
Namun pemilik kebun itu tidak mengizinkannya karena sudah terlanjur ditanam banyak tanaman pepaya. Aku sudah berbicara dengannya tadi. Aku meminta Aris menunggu di luar saja karena dia sering banyak tanya dan bicara. Mulutnya ember tapi dia punya rasa ingin tahu dan kepedulian tinggi pada peninggalan-peninggalan kuno yang ada di balik ranah Trowulan ini. Sudah seminggu kami bekerja di sini. Dia teramat bangga menjadi bagian dari proyek ekskavasi kami walau hanya sebagai buruh kasar.
Saat berkenalan denganku, dia memandangku penuh takjub. Ketika aku sedang berdiskusi dengan arkeolog lain mengenai artefak-artefak yang kami temukan sepanjang galian, dia kerap curi-curi perhatian sehingga sering ditegur oleh teman-temannya.
Berbeda dengan pekerja lain yang pernah membantu proyek penggalian kami di tanah Trowulan ini, Aris seolah tidak hanya mencari upah bekerja tapi juga ingin belajar mengenali masa lalu Majapahit. Kadang saat senggang, dia tanpa malu-malu menghampiriku dan bertanya mengenai struktur batu bata Majapahit dari masa sekitar delapan abad silam.
Aku selalu antusias menjelaskan itu semua padanya karena aku suka berbagi ilmu. Apalagi dia adalah pekerja kasar yang tentunya harus paham betapa pentingnya seluruh artefak kuno itu bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bukan hanya mencangkul tanah secara sembarangan. Kami semua harus bekerja dengan hati-hati, agar tidak merusak artefak saat menggalinya. Berbagai atefak kuno itu sudah sangat tua dan tentunya mudah rapuh.
“Dulu saat bapak sedang menggali sumur di belakang rumah, bapak menemukan tombak emas. Tapi langsung dijual sama bapak. Saya masih SD waktu itu. Kami butuh uang untuk pengobatan ibu. Tombak emas itu ada ukiran babinya, bagus sekali. Pedagang barang antik yang biasa keliling desa kami yang membelinya. Laku satu juta rupiah. Sayang, walau sudah digunakan untuk pengobatan ibu, uang itu tak cukup untuk biaya operasi. Ibu meninggal karena liver,” jelas Aris dengan wajah sedih, dua hari yang lalu.
“Tetap tabah, ya.” Aku tertegun.
“Sejak saat itu bapak dan orang-orang ini sering menggali di mana-mana agar bisa menemukan peninggalan emas lagi. Memang ada yang menjualnya pada kolektor, Bu. Tapi banyak juga yang dengan sadar memberikannya pada BP3. Dan bapak saya menemukan… ummm…,” suaranya Aris menggantung, seperti enggan mengatakannya.
“Menemukan apa?”
“Sumur kuno dan beberapa pecahan tembikar bersama penduduk desa, Bu. Tapi mereka sudah menyerahkan ke balai arkeologi.” Aris mengalihkan pandangan.
“Bagus. BP3 juga akan memberi uang jasa untuk para penemu barang kuno tersebut. Tapi yang terpenting adalah kepedulian pada sejarah. Artefak kuno itu sangat penting bagi kami dalam merekontruksi sejarah Majapahit kelak berdasarkan bukti artefaknya.”
“Saya ingin seperti Bu Lila. Jadi arkeolog sepertinya menyenangkan ya, Bu. Keliling ke tempat-tempat kuno. Sayang saya cuma lulusan SMP. Tapi apakah saya bisa melamar jadi pekerja di museum? Jadi buruh kasar juga tidak apa-apa, Bu. Biar saya sekalian bisa belajar.”
“Kalau itu sayang kurang tahu. Maaf, saya harus meneruskan pekerjaan saya,” kataku sambil memasang kacamata minus tiga. Aku berkutat kembali dengan cawan tanpa glansir dari Dinasti Yuan abad ke-14 Masehi. Artefak tersebut membuktikan bahwa kerajaan Majapahit sudah mengadakan hubungan dagang internasional.
Sementara dari sebuah linggan di sebelah tempat ekskavasi, sepasang mata Mukid memandang kami dengan marah. Kudengar Aris bosan bekerja bersama bapaknya itu sebagai pembuat batu-bata sehingga ketika ada lowongan kerja dari temannya, dia segera ikut. Namun bapaknya terpaksa mengizinkan karena upahnya lebih besar daripada penjualan batu bata yang tak menentu. Ironis, sementara Mukid menggali tanah untuk membuat batu-bata, yang secara langsung mengikis lembar demi lembar sedimen sejarah Majapahit yang terkandung di dalamnya. Aris membantu kami menggali artefak untuk penelitian arkeologi.
***
Berdasarkan temuan artefak yang ada, berupa ceruk penuh batu bata dan keramik-keramik berkualitas bagus, aku dan para arkeolog lainnya memperkirakan bahwa di desa Sentonorejo inilah dahulu pemukiman golongan atas kerajaan Majapahit. Namun sayang, kami masih belum bisa menemukan petunjuk mengenai letak istananya.
Pemandangan yang miris tersaji di hadapanku; lahan yang kaya peninggalan kerajaan Majapahit kini beradu dengan kekejaman dunia modern. Linggan berada di antara perkebunan tebu dan tempat ekskavasi arkeologi. Semua lahan tersebut diduga mengandung bukti sejarah yang sangat penting. Bisa diperkirakan setiap hari, lapisan-lapisan kehidupan kuno itu tergerus dan hilang karena aktivitas ekonomi manusia.
Sesosok pria berkaos kumal bergambar kampanye pilkada menghampiriku dengan wajah kurang bersahabat.
“Kapan penelitian ini selesai?” tanya Mukid, setelah sampai di hadapanku.
“Empat hari lagi,” jawabku singkat. Kami pernah berkenalan untuk sekadar saling menghormati sejak kedatangan rombongan peneliti di tempat itu seminggu silam. Dia sudah terlihat kurang ramah sejak awal dengan kami. Mungkin kami mengganggu linggan-nya.
“Benar kau belum menikah? Memang berapa umurmu?”
Tenggorokanku mendadak kering. Dasar bapak dan anak sama-sama selalu ingin tahu.
“Iya, saya 40 tahun dan belum menikah.”
“Kalau begitu jauhi anakku.” Mukid terlihat kesal.
Mataku melotot dengan kaget. Apa dia pikir aku ini arkeolog yang ganjen?
Belum sempat aku berkata, dia sudah menambahkan. “Akhir-akhir ini kulihat kalian semakin dekat. Aku khawatir putraku jatuh cinta padamu. Dia anak yang malang. Sejak kecil piatu, terpaksa putus sekolah padahal dia cerdas. Aku tahu dia sangat mengagumi kepandaianmu dan teman-temanmu itu. Terutama padamu. Dia sangat perhatian padamu.”
Lidahku hampir kelu. Mukid sudah kelewatan menilai kami. “Maaf, Pak. Itu tidak benar. Saya dan Aris hanya sebatas rekan kerja. Di sini saya sering mengobrol dengannya karena dia yang lebih tahu tentang daerah di sekitar sini. Tentu saja saya dan Aris tahu diri.”
“Saya hanya mengingatkan. Bisa saja itu terjadi, to? Aris beda lima belas tahun dengan Anda, sebaiknya kalian jangan terlalu dekat. Jauhi dia. Saya akan lebih tenang dan bersyukur melihat Aris dekat dengan gadis seusianya dari pada perawan tua seperti Anda.”
Kupingku panas saat mendengar sindirannya. Sebelum kubalas perkatannya, dia sudah melenggang pergi menuju linggan-nya. Aku mengatur napas dengan gusar sambil merapikan rambutku yang dibelai angin. Suasana hatiku kacau balau. Merusak konsentrasiku untuk merampungkan hasil penelitian. Aku duduk di terpal dan menandaskan kopiku.
Pasti Aris bercerita tentangku dengan bapaknya yang congkak itu. Salahku juga menanggapi semua perhatiannya. Harusnya aku lebih tegas. Ingat, Lila, gelarmu S3. Seorang arkeolog yang dihormati. Bagaimana mungkin bisa dekat dengan buruh kasar seperti Aris?
Perhatian Aris yang gigih sejak awal pertemuan kami ternyata memberi warna dalam siklus hidupku yang monton dan terlalu ilmiah. Dia bahkan kaget saat mengetahui umurku sudah kepala empat padahal menurutnya wajahku masih seperti gadis. Dasar mulut lelaki! Aris bekerja dengan cekatan dan cepat tanggap sehingga menarik perhatian kami sejak awal.
Status belum menikah mengingatkanku pada almarhumah ibu. Beliau selalu mendorongku untuk segera mencari jodoh selepas aku wisuda S1. Tapi aku terlalu trauma dengan kegagalan pernikahan ibuku karena ayah selingkuh, lalu menceraikan ibu demi wanita lain. Setamat aku S2 di UI tujuh tahun lalu, ibu menghembuskan napas terakhirnya tanpa sempat melihatku mengenakan kebaya pengantin. Maafkan aku, Bu.
***
“Bu Lila, saya ingin mengatakan sesuatu yang penting,” pinta Aris saat aku sedang mencacat hasil risetku pada struktur batu bata kuno.
“Maaf, aku sibuk. Jangan menggangguku. Pergilah. Selesaikan pekerjaanmu,” usirku.
“Bu, kenapa akhir-akhir ini Anda menghindari saya? Ada hal penting yang….”
“Saya benar-benar sibuk. Hasil laporan ekskavasi ini harus segera saya selesaikan. Kalau kamu tidak suka dengan sikap saya, sebaiknya kamu pergi sekarang juga dan ambil upahmu. Jangan cerewet dan mencampuri urusanku,” potongku sambil membentak.
Wajahnya begitu syok. Dia meninggalkanku, tampaknya tersinggung. Menjelang hari akhir penelitian, tantangan kian berat. Aku sengaja menghindarinya sejak dua hari yang lalu karena teguran Mukid. Sementara laporanku juga belum beres padahal besok tempat galian itu harus dilapisi plastik dan ditimbun kembali agar peninggalannya tetap di situ.
Jika beruntung, semoga saja tahun depan kami bisa meneliti daerah ini lagi. Kami khawatir penduduk dan pembuat batu bata semakin gencar menggali tanah serta mengaduk tinggalan yang ada. Seperti saat maraknya pembuatan growol  pada tahun 1980-an yang menyulitkan kerja ahli arkeologi tercampurnya sedimen tanah dan artefak.
***
Aku sedang meneruskan tulisan laporanku yang hampir selesai ketika lelaki itu datang dengan wajah marah. Baru saja kusesap kopi untuk membantuku tetap fokus.
“Apa yang kau lakukan pada anakku?” tanyanya, geram.
Aku menoleh padanya dengan malas.
“Kau tahu anakku jadi durhaka karenamu.” Dia berkata marah sambil menyembunyikan sesuatu di saku celana. Matanya merah menyala seperti naga terluka.
Aku baru berniat membuka mulut saat dia menghujamkan pisau ke perutku. Perih sekali. Beberapa temanku segera mengeroyok Mukid dan memisahkannya dariku. Laporanku jatuh saat tanganku menyentuh perutku yang mulai berdarah. Aku limbung.
***
Lukisan langit pagi seolah tercetak di atas permukaan air seluas enam kali lapangan sepak bola: Kolam Segaran. Aku berjalan di tepi kolam artifisial peninggalan Majapahi itu dengan hati-hati. Sudah hampir dua minggu aku terbaring di rumah sakit. Syukurlah tusukan di perutku tidak dalam. Ketika bekas jahitanku sudah kering, rombongan mengajakku kembali ke Jakarta. Sebelum itu, aku ingin berpamitan dengan peninggalan Majapahit yang kukagumi. Seorang temanku menghampiriku, meng­ajakku segera kembali ke mobil.
Tatapan kagum rombonganku meng­ingatkanku pada Aris saat menjengukku kemarin. Dia mencuri jempang  yang ditemukan ayahnya dulu untuk diberikan pada BP3. Artefak itu terbuat dari emas dan bisa bernilai puluhan juta jika dijual. Dia kabur tanpa sepengetahuan bapaknya. Mukid mengira akulah yang menghasut Aris untuk mencurinya. Mukid sangat marah padaku dan melampiaskannya dengan menusuk perutku dua minggu lalu. Sebenarnya jempang itulah yang ingin diceritakan Aris padaku saat aku tak mengacuhkannya.
Tapi aku sudah memaafkannya, begitu ucapku pada Aris. Dan aku juga meminta Aris untuk tidak menemuiku lagi dan membiarkan polisi mengurus hukuman bagi Mukid.
Catatan:
linggan: gubuk beratap terpal tempat batu bata tradisional dicetak dan dibakar
BP3: Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala
growol: semen dari batu bata kuno
jempang: penutup kelamin perempuan pertapa yang terbuat dari emas, artefak Majapahit
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Sejarah. Bergiat di HMJ Sejarah, UKM Penulis, dan FLP Malang. Cerpen ini juara I kategori cerpen Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah
Komunikasi 2012.