Cerpen Dwi Ratih Ramadhany

Janda itu menutup rapat pintu dan jendela serta lorong-lorong semut di dinding rumahnya. Jika malam tiba, wangi kembang berbagai rupa menyeruak dibawa udara dari celah luput tak tertutup dalam rumahnya. Lalu ia akan mengaung panjang memanggil-manggil mendiang suaminya hingga gendang telingamu memaksa kedua bola mata tetap terbuka. Ia menangis dan berteriak sekeras-kerasnya, sekuat-kuatnya.
Tidak ada yang tahu penyebab kematian Samsuri, suaminya. Warga setempat menemukannya mengapung di sungai tanpa nyawa. Sungai Gayam. Sungai yang mereka anggap angker, terlebih karena sungai tersebut dikelilingi pohon-pohon gayam yang menjulang tinggi. Sebagian warga mengira kematiannya mungkin karena tenggelam, serangan jantung atau jiwanya telah diambil makhluk tak tampak di Sungai Gayam sana lantaran ia suka memungut buah gayam yang jatuh ke tepi sungai untuk diolah menjadi keripik dan dijual ke pasar. Mereka percaya, Samsuri terkena berrit sebab ia selalu lancang memungut buah dari pohon gayam yang batangnya beralur-alur dan tingginya mencapai dua puluh meter itu. Konon, pohon gayam angker itu dihuni oleh berbagai wujud makhluk halus paling jahat di dunia yang mengepung sungai itu.
Tidak sedikit warga yang yakin bahwa kematian Samsuri adalah karma bagi Ratih. Kematian suaminya adalah hukuman bagi wanita yang suka menggoda suami orang dengan kemolekan tubuh dan rambut panjang menjuntai indah sampai pinggul.
“Akhir-akhir ini ia jarang menampakkan diri. Biar saja dia membusuk di rumahnya.”
“Tapi kemarin malam aku melihat Ratih duduk di tepi Sungai Gayam.”
“Sedang apa dia?”
“Mengupas gayam dan bergumam sendiri.”
“Aku yakin, dia pasti sedang berbicara pada genderuwo penunggu sungai dan pohon itu. Dia bersahabat dengan setan-setan di sana.”
“Dia pasti sudah gila. Alih-alih mengunjungi makam suaminya, ia memuja sungai angker itu.”
***
Semua tercengang ketika pada suatu pagi yang enggan, Ratih berjalan tenang melewati rumah-rumah warga yang penuh dengan pergunjingan tentang dirinya. Dandang berisi gayam yang telah dikeringkan dijunjungnya seolah menempel kuat pada rambutnya. Ratih melempar senyum yang memikat pada siapa pun yang ia lewati. Para istri mulai memasang wajah sengit dan bergumam sebal melihatnya.
Setiap lelaki, muda atau tua, bujang atau beristri, semua akan terpana tatkala Ratih berjalan lembut seperti angin sepoi-sepoi yang memainkan pucuk-pucuk rambut mereka. Para lelaki itu memuja lekuk tubuh guci cina yang sering dibalut kebaya merah kirmizi dan samper sampai lutut. Demikian tubuh idaman setiap lelaki karena tak bisa mereka nikmati lagi dari istri yang mengembung atau keriput. Pun leher jenjang dan wangi rambut panjangnya adalah surga bagi mereka. Kerling matanya mampu menjerat setiap lelaki yang memandangnya. Tidak heran jika istri-istri mulai gencar merawat diri atau mengurung suami mereka di dalam kamar agar tidak tergoda pesona Ratih.
“Lihat dia! Baru jadi janda tujuh hari sudah berani kelayapan.”
“Mungkin mau tebar pesona pada bindara yang membantu mengurus kematian suaminya waktu itu.”
“Tapi dia sedang menjunjung gayam. Mungkin untuk dijual ke pasar.”
“Memangnya sembako sumbangan warga seminggu lalu tidak cukup untuk dia yang sekarang seorang diri sehingga ia harus mulai berjualan sebelum empat puluh hari kematian suaminya?”
“Entahlah. Dandanannya saja sudah menor.”
“Aku yakin, Ratih pasti pakai susuk.”
“Betul, mana mungkin kulitnya bisa mulus dan kencang seperti itu kalau bukan karena main dukun. Bahkan sehelai rambutnya pun mampu membangkitkan birahi suamiku.”
“Tapi dia bisa bayar dukun pakai apa?”
“Bodoh! Apalagi kalau bukan menjual tubuhnya?”
“Dasar wanita jalang!”
“Dan sekarang suaminya sudah tidak ada. Hati-hati, jangan sampai suami kalian direbut olehnya!”
Sehilang Ratih berbelok di ujung persimpangan, perbincangan pun semakin mejalar liar. Para ibu mengaku anak gadis mereka memendam iri dan ingin menjadi seperti Ratih. Mereka mulai membubuhkan bedak seputih tembok di wajah dan pemerah pipi yang berlebihan serta lipstik merah menyala. Wewangian yang disemprotkan pada tubuh, bahkan pada tiap helai rambut mereka menyeruak memaksa masuk ke lubang hidung. Sayang, mereka malah terlihat sepeti banci-banci terminal berdandan menor yang menyanyikan lagu dangdut dengan semena-mena.
Usut punya usut, gadis-gadis tersebut menyelidiki resep rahasia untuk menjadi secantik Ratih. Diam-diam, dari lubang pintu dan jendela tanpa korden, mereka mengamati lulur apa yang Ratih pakai dan ritual apa yang ia lakukan untuk rambutnya yang begitu wangi dan tubuhnya yang amat indah.
Di suatu sore yang asin, gadis-gadis itu melihat Ratih mengumpulkan buah gayam yang jatuh dan membawanya ke air ketika hendak mandi di sungai. Pasti itu resep rahasia atas keindahan tubuh dan rambutnya, pikir mereka. Tanpa pikir panjang, esok paginya mereka kembali ke Sungai Gayam dengan membawa galah, sama sekali tidak peduli peringatan orang-orang akan kemarahan makhluk halus penunggu pohon dan Sungai Gayam. Mereka meraih buah gayam yang sejatinya belum matang di pohon.
Segera gadis-gadis kencur itu pulang dengan sekarung buah gayam yang akan mereka gunakan untuk menggosok tubuh saat mandi dan keramas. Berbagai macam lulur, bunga, dan daun-daunan menemani ritual mandi mereka. Bahkan mereka rela menyeterika rambutnya agar tampak lurus jatuh seperti rambut Ratih.
***
Di sebuah malam yang lirih, ketika angin merasuk pori-pori dari tambak garam, semua warga berkumpul di balai desa. Mereka telah mendengar bahwa malapetaka sedang menimpa desa akibat perbuatan Ratih. Gadis-gadis yang mengikuti ritual Ratih mendadak terserang gatal-gatal. Buah gayam yang mereka gosokkan pada tiap senti tubuh membuat kulit mereka luka dan berdarah-darah. Rambut mereka nyaris gosong. Bahkan ritual buah gayam yang mereka percaya sebagai resep kecantikan Ratih telah memakan korban jiwa.
Mereka yakin, Ratih tidak hanya main dukun tapi juga melakukan pesugihan di Sungai Gayam dan gadis-gadis itu adalah tumbalnya. Ia telah bersekongkol dengan genderuwo pohon gayam dan iblis-iblis jahanam di Sungai Gayam. Para ibu menangis melolong-lolong melihat kondisi anak gadisnya. Darah kebencian telah mendidih di puncak kepala mereka. Mereka berbondong-bondong menuju Sungai Gayam membawa api dalam jiwa. Obor, celurit, serta pecut dijunjung tinggi-tinggi di tangan. Di Sungai Gayam itu, mereka menangkap basah Ratih sedang duduk bergumam seraya mencuci buah gayam di tepi sungai. Teriakan warga membuat Ratih kaget bukan kepalang.
“Itu dia! Janda iblis!”
“Kau pengikut setan di sungai ini!”
“Gayam terkutukmu itu merusak tubuh anak-anak kami!”
“Gundul saja rambutnya! Rambut itu penuh dengan sihir!”
“Kita habisi saja Janda ini sebelum ia memakan korban lagi.”
“Kita bakar atau tebang saja pohon gayamnya!”
“Ya! Kita musnahkan semua sumber malapetaka ini!”
Ratih terus menyangkal tuduhan yang dilontarkan padanya sebab ia merasa tidak melakukan kesalahan. Gayam mentah yang mereka petik dari pohon dan digosokkan ke tubuh mereka dianggap membawa petaka. Ribuan kali Ratih menjelaskan bahwa alam telah memilih gayam-gayam terbaik dengan cara melepasnya dari ranting pohon dan bukan untuk dipetik.
Warga yang buta oleh emosi tidak menggubrisnya. Mereka mulai mengepung Ratih dan menyeretnya ke bibir sungai. Rambut panjangnya dijambak semena-mena dan kulit mulusnya dicakar dalam-dalam. Dengan segala upaya Ratih meronta dan berlari ke tengah sungai. Ia menangis sejadi-jadinya. Tak putus asa warga segera menyusulnya hingga air mencapai dada mereka. Arus deras gelombang yang mulai menyerbu entah dari mana tetap tidak menghentikan tekad mereka untuk menyiksa Ratih. Ratih berhenti tepat di tengah sungai dengan tinggi air sampai leher sebelum ia mengatupkan kedua tangan ke dadanya dan membenamkan tubuh perlahan hingga tak tampak ujung kepalanya. Di tengkuk malam yang berapi-api warga mencari-cari Ratih di dalam air. Nihil. Tubuh Ratih hilang dalam sekejap. Suasana hening.
Tak lama, arus sungai kembali meronta disusul dengan permukaan sungai yang mengeruh. Semakin keruh, semakin menghitam pekat. Seluruh warga menyaksikan dengan mulut menganga dan kening mengerut. Bingung.
Tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak di air dan merambat cepat seperti benalu-benalu, menjalar-jalar panjang dan menjulang tinggi ke angkasa seperti tentakel gurita raksasa yang mengamuk. Hitam. Sungai itu telah menjelma rambut-rambut sepanjang aliran dan membuat mereka kelimpungan meraih bibir sungai. Rambut-rambut panjang itu mulai melilit tubuh mereka seperti ular sanca. Membelit satu per satu tubuh mereka. Meronta-ronta. Mereka berteriak sekencang-kencangya, memohon pertolongan, dan menangis meraung-raung tanpa henti hingga pita suara mereka seolah nyaris putus. Dan ketika tubuh-tubuh itu tak mampu lagi bergerak, serentak rambut-rambut yang mengamuk itu menarik mereka ke dalam sungai. Dilahap habis. Hingga tak ada suara.  Dan permukaan sungai kembali tenang.
Malang, Oktober 2012
Catatan:
berrit: kutukan dari makhlus halus pada seseorang yang mengganggu wilayah kekuasaannya.
samper: jarit
bindara: santri
Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggris, bergiat di UKM Penulis dan komunitas seni Ranggawarsita.
Cerpen ini juara III kategori cerpen Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2012.