Oleh Christyan A.S.

Kalau kebetulan Anda melintasi halaman gedung E8 (sekitar pukul 12 siang) dan melihat beberapa aksi dari “orang-orang gila” yang berteriak-teriak, marah-marah, menabrak pohon, main cat, bagi-bagi permen, pakai atribut aneh-aneh, dan lain-lain, hati-hati. Jangan takut. Mereka bukan sedang demonstrasi menuntut perubahan kebijakan struktural atau beraksi anarkis. Mereka sedang melakukan performance art.
Mungkin kalau selama ini performance art diidentikkan dengan aksi gerak teatrikal (gerak uget-uget/cacing) dengan tubuh dibubuhkan cat, aksi yang dilakukan beberapa mahasiswa di halaman gedung E8 tidak selalu begitu. Sebagian teman-teman yang melintas kemudian nyeletuk, “Mau ngapain sih itu?” Pernah juga saya mendengar celetukan, “Demo apa lagi itu?” dan “Orang sinting!” Padahal performance art juga bukan hanya sekadar marah-marah atau teriak-teriak, tapi olah estetik dengan media tubuh lewat aksi.
Jadi izinkan saya memperkenalkan terlebih dahulu tentang sepintas sejarah perkembangan performance art dan perbedaan konsepnya dengan performing art yang biasa dilakukan oleh teman-teman dari jurusan tari, teater, atau seni pertunjukan lainnya sehingga penonton tidak akan mencari-cari estetika performance art dengan menggunakan frame seni pertunjukan (performing art).
Benang merah perkembangan performance art
Gejala performance art berawal dari gerakan kaum ekspresionis di Barat pada awal abad ke-20 yang menisbikan konsep estetika. Disebut juga gerakan non-art dan melahirkan istilah avant garde yang berarti seni garda depan sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap seni mapan yang didefinisikan oleh kaum borjuis.
Marchel Duchamp, seorang seniman yang memperkenalkan conceptual art pada tahun 1913 dengan memamerkan urinal sebagai karya seni dan menganggap bahwa real-life activities sebagai seni. Duchamp hanya mengambil benda-benda ready-mades dan memamerkannya dengan klaim bahwa itulah karya seninya. Karya-karya instan ini juga yang dianggap sebagai awal kemunculan instalasi seni. Pada tahun 1921, Duchamp kemudian melakukan aksi mencukur rambut bagian belakang kepalanya hingga berbentuk bintang.  Istilah action art pun berkembang untuk menamai aksi seni konseptual. Muncul juga istilah action painting yang dilakukan oleh Jackson Pollock pada tahun 1949 saat ia melukis dengan menyemburkan dan melempar-lemparkan cat/tinta melalui kaleng berlubang yang ditorehkan pada bentangan kanvas di dinding dan lantai. Hal ini kemudian disebut lukisan abstrak-ekspresionis.
Seni lintasdisiplin diperkenalkan oleh John Cage pada 1951, seorang komposer musik di New York yang menampilkan karya, antara lain, puisi, lukisan, tarian yang memecah jarak antara audiens dan para performer. Sejak saat itu karya mereka menjadi model performance art.
Berkembang pada tahun 1960-an, agresi publik dilakukan oleh seniman dan mahasiswa radikal Allan Kaprow (salah satu murid John Cage) dengan menampilkan karya happening art. Happening art ini ditampilkan di ruang publik, di jalanan, dengan lintas disiplin seni dan tanpa latihan sebelumnya. Jadi, seni ini mengandalkan unsur surprise saat di lapangan dan saling merespons antara penampil, bahkan penonton dan ruang yang saat itu mereka gunakan untuk penampilan mereka. Menurutnya, teater tidak harus ditampilkan di gedung-gedung kesenian megah milik kaum borjuis. Seni juga bisa tampil di ruang publik dan memecah jarak antara pemain dengan penonton. Interaksi antara ruang, waktu, penampil, dan penontonnya yang jadi poin pentingnya. Mungkin aksi model semacam ini yang banyak memengaruhi opini publik di Indonesia tentang aksi yang ditampilkan di jalanan saat demonstrasi, dengan tubuh orang-orang yang dicat, bergeliat-geliat sambil menyampaikan pesan-pesan simbolik.
Pada 1962, lahir gerakan Fluxus yang diawali di Jerman setelah Perang Dunia II. Gerakan ini digawangi oleh Wolf Vostel  bersama Nam Jun Pak, seniman asal Korea yang tinggal dan kuliah di Jepang. Nam Jun Pak dianggap sebagai bapak seni video atau lebih dikenal dengan istilah video art. Karya performance art mereka lebih kompleks dibandingkan dengan happening art, lebih personal, mengangkat hal banal yang menyembunyikan keindahan estetiknya. Karya inilah yang semakin menjadi benang merah dari gerakan performance art dunia, ketika performance art bisa lahir di panggung area publik, menjadi lebih dekat dengan masyarakat, dengan eksekusi aksi, penuh kejutan, dan spontanitas yang tinggi, serta tubuh sebagai medium konseptualnya. Performance artist di sini bebas menginterpretasikan dan memperlakukan tubuh mereka sebagai medium konseptual dalam performance art dengan tindakan keras terhadap tubuhnya sendiri atau dengan manis-manis dan menyajikannya sebagai efek penyadaran bagi audiens tanpa kaidah dramaturgi dan teknik-teknik seperti tari, paduan suara, dan lain-lain. Kalaupun ada unsur-unsur tersebut, hanya digunakan sebagai bahan performance art, bukan karya performance art itu sendiri yang esensial.
Walaupun belum ada kata sepakat untuk definisi istilah performance art yang tegas, bahkan di dunia, tetapi kecenderungannya bisa terbaca atau dapat ditarik benang merahnya. Secara pasti, walaupun belum begitu populer dibandingkan seni teater dan pertunjukan lainnya, performance art telah mempunyai tempat di kancah internasional. Terlihat dari semakin banyaknya event-event khusus performance art yang diselenggarakan secara nasional dan internasional serta semakin banyak seniman muda yang terjun dalam performance art. Secara sporadis, performance art pun semakin masif dan mempunyai tempat tersendiri di hati para performer/performance artist.
Tercatat beberapa acara performance art international yang diadakan secara internasional sejak 1993, antara lain Nipon Internasional Performance Art Festival (NIPAF), Philippines International Performance Art Festival (PIPAF), Bucheon International Performance Art Festival (BIPAF), dan Korea International Performance Art Festival (KIPAF). Di Indonesia ada Jakarta International Performance Art Festival (JIPAF) yang digawangi oleh Arahmaiani et.al. Di Bangkok, pemerintah telah mendukung festival performance art yang diberi nama South East Asia Performance Art Symposium (SEAPAS) dengan peserta dari Kamboja, Cina, Jepang, Korea, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Taiwan, Vietnam, Thailand, Indonesia, dan negara-negara dari luar Asia.  Seniman performance art Indonesia yang biasa melintang di kancah internasional antara lain, Iwan Wijono, Arahmaiani, W. Christiawan, dan lain-lain. Malang, lewat Performance Art Malang Festival (Pamafest) sempat juga tercatat tiga kali mengadakan festival performance art nasional yang diikuti seniman-seniman muda dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, dan lain-lain dengan pembicara, antara lain, Iwan Wijono pada Pamafest #2 dan W. Christiawan pada Pamafest #3.  Pada Pamafest #3  mendatangkan kurator dari Jepang.
Walaupun festival performance art di Malang tergolong berskala nasional, tetapi publikasinya tidak ramai diperbincangkan oleh publik umum. Hanya ramai diperbincangkan di publik seni.

Benang merah performance art dengan performing art
Performing art seperti yang dilakukan oleh teman-teman dari jurusan tari, teater, musik, dan lain-lain mengandalkan susunan kreasi berdasarkan plot, dramaturgi, ritme, serta berbagai teknik lain. Performing art “mempertunjukkan”, sedangkan performance art adalah kata benda yang berarti “seni penampilan”. Jadi, apa yang ditampilkan pada karya performance art adalah karya seninya yang produknya lebih artifisial. “Bentuk aksi” adalah karya seninya yang keindahannya semata-mata konseptual. Jadi, jika mengapresiasi performance art dengan frame seni pertunjukan teater, estetikanya tidak akan pernah ditemukan.
Kata performance digunakan dalam setiap kasus penampilan, seperti performansi seorang atlet, performansi motor balap, dan lain-lain. Karena menyandang kata art, penampilan mempunyai bobot seni. Bukan sekadar penampilan seperti disandang performansi motor balap. Performance art menolak kaidah seni seperti pada performing art. Tidak ada unsur teknik tari  walaupun ada unsur gerak, tidak ada plot atau naskah baku “di panggung” walaupun ada semacam perjalanan awal sampai akhir penampilan. Perjalanan awal sampai akhir penampilan performance art sangat fleskibel karena merespon suasana, kondisi, ruang, dan waktu yang terjadi saat berlangsungnya penampilan. Bisa sangat singkat, 5 detik, atau juga bisa sangat lama 1 hingga 2 tahun dan tak terhingga, bergantung konsep sang performance artist saat merespon ruang dan waktu yang digunakan. Salah satu contoh performance art long duration adalah yang dilakukan pemuda imigran Taiwan di Amerika, Teching Hsieh yang memborgol tangannya bersama Linda Montano selama satu tahun, dari rambutnya yang gundul sampai gondrong, dan melakukan aktivitas apa pun bersama.
Pada performance art, tidak ada panggung penonton dan pemain seperti pada panggung teater yang sengaja diciptakan secara dikotomis walaupun pada performance art secara tidak sengaja penonton membentuk panggungnya sendiri. Namun, panggung di situ begitu cair. Tidak ada batasan bahwa panggung pemain tidak boleh dilalui oleh panggung penonton. Yang ditonton dan bermain pun batasannya sangat cair. Siapa pun yang berada di sana bisa jadi penonton sekaligus pemain. Jadi, keindahan performance art memang semata-mata karena konsepnya, bukan keindahan gerakannya, bukan keindahan naratifnya dan aktingnya. Walaupun properti yang digunakan performance artist mendukung instalasi artistik yang memperkuat penampilannya, tetapi itu bukan konstruksi pembangun suasana cerita seperti pada teater, melainkan karya seni itu sendiri sebagai konsepsi.
Tentu saja hal itu bukan “dramaturgi” yang lain bagi pertunjukan performance art. Karena performance art itu bukan seni konvensional, definisinya pun sangat mudah diotak-atik senimannya dan tidak  untuk dikonvensionalkan. Walaupun begitu, kecenderungannya masih tetap bisa terbaca benang merahnya.

Festival performance art di halaman E8
Di tengah maraknya aksi performance art di kota Malang yang hanya sering ditampilkan pada pembukaan pameran seni lukis maupun acara-acara kesenian (hanya Pamafest yang mengadakan acara khusus untuk performance art di Malang, selebihnya nyempil di antara acara pameran seni rupa dan lainnya), mahasiswa Pendidikan Seni Rupa UM tercatat pernah mengadakan festival khusus performance art pada pertengahan 2012 yang bertajuk “Sepekan Performance Art: Mengupas Entitas”. Acara tersebut diselenggarakan dalam rangkaian acara “Arts of the Week” (yang telah berjalan dari Januari 2012-Januari 2013 dengan agenda pameran nonakademik, yaitu karya di luar tugas mata kuliah atau diskusi lintasangkatan yang berganti tema setiap minggunya). Acara itu dimotori oleh komunitas Artophoria dan mahasiswa Seni dan Desain UM. Dua belas peserta dari berbagai jurusan, prodi, dan teman-teman seni rupa Universitas Brawijaya, menampilkan 3-5 karya performance art pada setiap harinya pada saat itu.

Performance art sebagai sarana
olah kreatif
Ada yang menarik ketika teman-teman mahasiswa menampilkan karyanya, di antaranya adalah performance art yang berbicara (dengan volume keras) mencurahkan isi hatinya kepada patung bertopeng wajah bapaknya; ada yang membuat tulisan dengan tubuhnya yang tertahan karena ditarik oleh penonton; ada yang berpakaian rapi berdasi, tetapi menyapu halaman dan mencopoti kertas-kertas bergambar tikus yang ditempel di area sekitar; bahkan ada yang menabrak-nabrakkan diri ke pohon yang digantungi gambar orangutan dikrangkeng; ada yang membagi-bagikan permen; ada yang berjoget-joget dengan daster ibunya; masih banyak lagi. Berbagai macam gaya para performance artist tidak selalu radikal karena performance art tidak hanya “berbicara dengan keras”, tetapi lebih dari itu, membuat efek penyadaran bagi penonton dengan jalur estetik masing-masing.
Jika pada perusahaan-perusahaan besar  telah mempertimbangkan psikologis para karyawannya dengan menyediakan ruang-ruang untuk bermain, studio musik, fitnes, sampai konsultasi psikologis yang juga menyediakan sarung tinju dan samsaknya untuk peluapan emosi karyawan yang tertekan, saya pikir performance art yang disajikan teman-teman mahasiswa di halaman E8 cukup positif, yakni sebagai sarana alternatif bahwa seni sebagai sarana olah kreatif dari segala kegelisahan mahasiswa yang dieksekusi lewat karya seni. Bentuk eksekusi ini bisa lewat dua gaya: lewat simbol anomali yang satir, “pedas”, dan juga bisa lewat simbol yang “manis-manis”. Tentu semua itu untuk tujuan kebaikan.
Jadi, kalau performance art itu estetikanya semata-mata terletak pada konsep, mari kita maknai ada apa di balik karya performance art tersebut. Alih-alih performance art yang disajikan di halaman E8 sebagai laboratorium seni eksperimental nonakademik yang lebih personal, cair, bebas, tetapi tetap dalam kaidah norma intelektual. Lebih personal lagi, performance art tersebut menjadi sarana terapi psikologis lewat olah kreatif. Selamat mengapresiasi!
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Seni Rupa. Pegiat aktivitas dan
apresiasi seni-budaya.