Malam menggugurkan bintang-bintang dan Subuh pasti sedang melompat girang ingin segera muncul di atas kepala Arul. Tak pernah sebelumnya ia begadang seperti ini. Arul selalu tidur jam sepuluh malam dan bangun ketika azan Subuh terdengar serak melalui corong masjid. Tapi hari ini adalah hari yang tersungkur.
Yang melihat kepala Arul dari kejauhan akan tahu bahwa kepala itu berasap karena berpikir sangat keras. Ia mengurung diri di kamar sejak jam delapan malam dengan berbatang-batang pensil dan serpihan rautannya yang berjatuhan di lantai. Mungkin Mbak Hos, pembantunya, takkan segan-segan melahapnya saat tahu lantai putih kinclong yang dipel tiap hari sekarang penuh bercak hitam rautan pensil.
“Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab1…”
Arul menghapus lagi kalimat lanjutan yang ia coba satukan dengan kata sebelumnya, tapi itu terlihat seperti mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana olahraga. Ia menahan diri untuk tidak mencoret-coret serampangan dengan penuh amarah di atas kertas dan menghapusnya lagi. Sudah tiga kali ia menyeduh susu coklat dengan meyakinkan diri bahwa setelah itu ia akan segera kembali cerdas, tapi tidak ada hasil apa-apa yang bisa ia tulis. Tidak ada adonan cerita yang pas.
Kepalanya semakin berasap seperti tungku yang menyala. Arul menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa pelan-pelan kepalanya menjelma kepala medusa yang menyemburkan api. Bukan rambut ular, mungkin rambut naga. Entahlah. Ke mana peri imajinasi, apakah ia sedang bermain lempar bintang hingga ia lupa mengunjunginya? Ini bukan kebiasaannya.
Sejak SD, Arul selalu berhasil melahap berlembar-lembar kertas, menulis dengan pensil faber castle dan semangat berkibar-kobar. Seperti ceritanya yang berjudul “Mobil Merah di Langit Sydney”, riuh tepuk tangan tak henti menggema di telinganya. Dengan akses internet super cepat yang tersedia di rumahnya, tentu ia bisa mendapatkan lebih banyak informasi dan referensi untuk bahan ceritanya. Tak heran bila Arul mampu memaparkan secara detil ceritanya yang berlatar luar negeri. Sementara teman-temannya yang lain hanya bergantung pada kakek dan nenek mereka yang sudah pikun.
Dan untuk tugas dari Bu Ifa ini, ia tak mungkin bertanya pada papa dan mamanya sebab tak mungkinlah mereka tahu cerita dengan dua nama yang asing di telinga. Siapa itu Kodapanole? Apa hubungannya dengan Ratnadi? Mengapa Ratnadi menangis? Atau mengapa Kodapanole harus bingung ketika Ratnadi menangis? Bisa saja Arul mengarang-ngarang kelanjutan ceritanya.
Tapi ia tak mengerti kenapa tulisannya kali ini hanya berhenti di sini. Akses internet yang yang kecepatannya dianggap secepat kilat itu pun tak dapat membantunya. Dengan beragam kata kunci yang berkaitan dengan Kodapanole atau Ratnadi, yang muncul hanya situs sejarah Madura tanpa ada cerita yang menjelaskan lebih rinci.
Teman-temannya pasti akan mengejeknya jika ia tak bisa meneruskan cerita itu dalam sehari. Tantangan dari Bu Ifa kali ini benar-benar menjelma kelabu. Sebetulnya ia tak begitu mengenal cerita rakyat sebab yang disuguhkan padanya hanya buku-buku cerita dan dongeng fantasi seperti cerita tujuh kurcaci, pangeran yang menyelamatkan putri kerajaan, atau kisah-kisah heroik lainnya.
Bu Ifa mengatakan bahwa siapa saja yang bisa mencari tahu lanjutan cerita itu, maka ia akan mendapatkan sebuah buku yang sangat berharga, warisan para leluhur dan salah satu bentuk kecintaan terhadap negeri yang kaya akan aneka ragam cerita masyarakat yang tak boleh terlupakan, terutama cerita dari pulau Madura. Bagi Arul, itu terdengar seperti pusaka dan ia harus mendapatkannya.
Tetapi tak pernah sebelumnya ia gelagapan menghadapi tantangan menulis apa pun. Ia selalu berhasil membuat cerita yang menggemaskan, berlatar Eropa atau Amerika. Ia tak mungkin kalah dengan teman-temannya yang selama ini jarang menulis dan tidak pernah dibelikan novel-novel luar negeri.
“Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…”
Kalimat itu semakin menyulut kebingungannya yang meraung-raung. Ia menopang dagu. Dilihatnya jarum jam beker yang seolah berputar lebih cepat dua kali lipat. Ia merasa diburu. Tapi ia tak boleh menyerah, ini sebuah tantangan menulis. Ia mulai merapal kalimat itu brkali-kali, seperti mantra.
Jarum jam yang paling cebol bergerak ke angka 4, ia harus segera menyelesaikan ini sebelum Subuh. Dia menggenggam pensilnya kuat-kuat sembari berpikir keras, dengan gemetar berusaha membaca kalimat yang sudah tertulis di atas kertas lagi, berkali-kali:
“Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…”
“Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…”
“Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…”
“Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…”
“Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…”
***
Arul setengah berlari menuju kelasnya ketika bel tanda masuk berbunyi. Dengan penuh percaya diri ia tersenyum gagah dan berani. Seragam putih-birunya disetrika sangat halus dengan parfum yang menguar wangi pangeran dari antah berantah yang akan menyelamatkan putri tidur. Dengan cerita yang telah usai ia tulis sebelum fajar meradang, ia sangat senang.
Setelah semalaman suntuk menyerahkan seluruh jiwa dan raga demi tantangan mendebarkan itu, Arul merasa puas. Ia yakin ceritanya pasti akan bergelimang tepuk riuh dan pujian yang membahana. Kalau pun ada yang berani menceritakan kembali dan menyelesaikan cerita tersebut di depan kelas, pastilah hanya ceritanya yang paling menakjubkan.
Bu Ifa memulai kelasnya. “Apa ada yang berhasil mendapatkan cerita lengkapnya?”
Arul mengacungkan telunjuknya tinggi-tinggi. Ia telah sangat siap sebelum ternyata Bu Ifa mempersilakan Wahid untuk maju dan menceritakan kelanjutan kisahnya. Ia tahu persis bahwa sumber referensi utama Wahid pasti hanya kakeknya yang sudah berusia 93 tahun. Ia bahkan tidak ingat semua nama cucu dan cicitnya. Wahid mulai bercerita dengan penuh percaya diri dan bangga. Arul heran, untuk apa ia harus mencari tahu asal muasal ini itu yang baginya tidak jelas dan tidak modern. Ia merasa lebih maju ketimbang Wahid yang hanya suka cerita-cerita kolot zaman dulu. Tapi demi buku pusaka, ia akan menunaikannya.
Arul enggan mendengarkan cerita Wahid. Tak mungkin kakek Wahid tahu ceritanya sebab ia bahkan tak tahu cara menghidupkan komputer, pikir Arul. Itu pasti cerita yang juga dibuat-buat dan tak mungkin pula akan semenarik cerita Arul. Selama Wahid cuap-cuap, Arul membayangkan buku pusaka yang dijanjikan Bu Ifa akan mendarat di telapak tangannya. Ia akan membawa pulang sebuah benda berharga. Papa dan mamanya akan sangat bangga padanya.
Tiba-tiba Arul tersadar dari lamunannya setelah mendengar tepuk tangan yang ditujukan pada Wahid. Beberapa pujian pun sempat dilontarkan untuk cerita Wahid yang tidak ia dengarkan tadi. Ah, mungkin hanya untuk menghargai usahanya, begitu pikir Arul.
“Terima kasih, Wahid. Tapi sepertinya ada satu orang lagi yang ingin menceritakan kelanjutannya. Nanti kita lihat cerita siapa yang lebih lengkap dan mendekati benar sesuai dengan buku yang Ibu pegang. Ayo Arul, silakan maju,” ujar Bu Ifa.
Arul berdiri dengan gagah sambil memeluk buku tulisnya. Ia menceritakan kembali dengan bahasa yang lebih mengalun:
“Setelah sampai, Dewi Ratnadi sangat ingin membersihkan diri dan mengganti pakaian serta amben2. Karena di tempat mereka singgah tidak ada air, maka Kodapanole menghentakkan tongkatnya. Seketika muncullah sumber mata air di situ sehingga Dewi Ratnadi sangat senang dan segera mandi. Tetapi, beberapa lama setelah itu, terdengar isak tangis Dewi Ratnadi dan Kodapanole segera menghampirinya. Ia menanyakan apakah gerangan yang terjadi sehingga Ratnadi menangis. Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…”
Arul tiba-tiba berhenti. Ia menatap teman-temannya, lalu kembali melihat bukunya.
“Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…”
Arul gemetar. “Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…”
Bu Ifa meminta Arul untuk terus melanjutkan.
“Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…” Tapi lagi-lagi ia terhenti. Kepalanya terasa sangat panas dan menguap. Arul mencoba memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam dan melanjutkan, “Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…”
Sontak ia menutup bukunya dan menatap teman-teman serta Bu Ifa yang juga bingung dengan sikap Arul. Mata Arul berkaca-kaca. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba kelanjutan cerita yang telah ia tulis semalaman sampai nyaris mati tiba-tiba hilang. Yang tersisa hanya: “Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…”
“Lihat! Kepala Arul berasap!” teriak salah seorang temannya.
Tapi Arul tak peduli. Ia tetap berpikir keras mencoba mengingat kembali apa yang telah ditulisnya semalam. Tapi percuma, ia lupa. Ia sama sekali tak ingat. Semakin ia berpikir semakin banyak asap yang keluar dari kepalanya. Arul menutup bukunya dan berharap kelanjutan cerita itu akan muncul lagi ketika ia membukanya.
“Lihat! Asapnya semakin banyak!” semua teman-temannya berteriak heran campur takut.
Arul gemetaran, keringat dingin jatuh mengalir ke seluruh tubuhnya. Tapi Arul belum menyerah. Asap semakin menyebar luas ke seluruh isi kelas. Teman-temannya berteriak dan segera berhamburan keluar kelas. Bu Ifa mencoba menyadarkan Arul untuk berhenti memikirkannya dan terus merapalkan kalimat terakhirnya.
“Arul hentikan!”
“Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…”
“Arul!”
“Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…”
“Hei! Hentikan!”
“Aruuuuuuuuuuulll…..
***
“Kodapanole bingung melihat Ratnadi menangis sebab…aaaaaaaaaaa….”
Arul bangun dengan wajah pucat dan berkeringat. Ia segera bercermin dan memastikan bahwa kepalanya benar-benar tidak berasap. Mama dan Mbak Hos menatapnya cemas setelah berupaya membangunkannya. Ia melirik jam beker yang menunjukkan pukul tujuh pagi.
“Gawat! Aku terlambat ke sekolah, Ma!”
***
Malang, Agustus 2013
Untuk generasi muda Indonesia
yang sejatinya kaya dengan
ragam cerita rakyat.
Mungkin mereka lupa
atau tidak pernah tahu.

Catatan:
1. Cerita rakyat Madura tentang Ardja Kodapanole dan Dewi Ratnadi dan tentang asal cerita adanya sumber mata air di daerah Omben.
2. Bahasa Madura yang berarti pembalut pada zaman dulu

Oleh Dwi Ratih Ramadhany
Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggris dan bergiat di UKM Penulis