Vryda Eka Tryasari

Nian Nio menghunus pedang dan menebas semua lawannya dengan mudah. Kuda putih yang ditungganginya berderap menerbangkan debu, ikut menjejak tubuh-tubuh bersimbah darah. Benar-benar ia tak menyangka bahwa Maharaja Indra Purba begitu licik meminta bantuan kepada Kerajaan Peureulak.
Suara angin yang menghentak-hentak menandai kedatangan pasukan Peureulak. Meurah2 Johan berhasil mengepung pertahanan terakhir seluruh pasukan Nian Nio. Ribuan prajurit Kerajaan Peureulak datang dari empat penjuru mata angin, menutup ruang di medan pertempuran itu.
Namun, Laksamana Nian Nio tidak ingin menyerah. Ia tak gentar walaupun prajuritnya kalah banyak dari lawan. Keinginannya untuk merebut dan menyatukan seluruh kerajaan di Pulau Sumatera di bawah bendera Kerajaan Seudu sudah bulat.
Tanpa turun dari kudanya, Meurah Johan mendekati Nian Nio, pedangnya tetap dihunuskan ke depan dada. “Engkau lebih baik menyerah, Laksamana Seudu. Dengan begitu nyawa para prajuritmu akan terselamatkan.”
Nian Nio tak menghiraukan tawaran Meurah Johan. Ia berderap menebaskan pedangnya untuk menjatuhkan panglima Kerajaan Peureulak tersebut. Meurah Johan berhasil menghindar. Mereka berdua mengadu kekuatan pedang pusaka mereka dengan dentingan yang menyeramkan. Pedang Meurah Johan berhasil melukai kaki kuda Nian Nio, membuat kudanya tersungkur dan Nian Nio tergulung-gulung jatuh. Meurah Johan melompat dan mengunci tubuh Nian Nio.
***
Seluruh pasukan Seudu yang tersisa dikurung di penjara Istana Indra Purba, tempat Meurah Johan menikmati kemeriahan pesta penyambutan atas kemenangannya. Lelaki itu tahu keinginan Nian Nio adalah menguasai Indra Purba sebagai kerajaan terakhir yang harus dikalahkan setelah pasukannya berhasil menguasai sebagian besar wilayah kerajaan-kerajaan di Sumatera. Yang tidak ia tahu adalah pemimpin pasukan lawan adalah seorang wanita.
Ketika ia ikut menggelandang pasukan dan Laksamana Seudu, ia memerintahkan prajuritnya untuk menanggalkan baju zirah mereka. Rambut hitam dan panjang serta kulit putih bagai susu itulah yang pertama-tama menarik pandangannya. Meurah Johan mendekati Nian Nio. “Laksamana Kerajaan Seudu adalah wanita?” tanyanya tanpa bisa menutupi ketertarikannya, walaupun dia adalah musuhnya.
Nian Nio tertawa sinis, “Kau telah bertanding dengan seorang wanita. Apakah kenyataan itu begitu berat memukulmu?” Ia menggerakkan tangannya. Membuat rantai berat yang menawan pergelangan tangan dan kakinya bergemerincing kasar. Meurah Johan memperhatikan gelang perak kecil yang melingkar di bawah rantai itu, telah membuat tangan Nian Nio tergores dan berdarah. “Aku Laksamana Kerajaan Seudu, juga seorang maharani3.”
Hanya itu yang bisa ia bicarakan dengan Maharani Nian Nio. Ia harus segera memasukkan Nian Nio ke penjara karena seluruh prajurit memandang Nian Nio dengan takjub tanpa ditutup-tutupi.
Meurah Johan tak juga mampu memejamkan matanya. Ia masih memikirkan bagaimana cara agar ia bisa merebut kerajaan-kerajaan yang telah dikuasai oleh Maharani Nian Nio. Itu adalah perintah Maharaja Indra Purba. Tak pantas rasanya jika ia menolak. Entah bagaimana caranya. Walaupun saat ini Nian Nio dan pasukannya telah dikalahkan, tetapi kerajaan-kerajaan yang telah mereka kuasai sudah dikendalikan oleh ayah Nian Nio. Jika tetap ia ingin mengusai kerajaan-kerajaan itu, pasti akan ada perang yang lebih besar lagi dengan Kerajaan Seudu.
Keesokan paginya Meurah Johan pergi ke penjara. Ia mendekati jeruji tempat mengurung Nian Nio. Maharani Nian Nio bersandar pada tembok dan menantap Meurah Johan datar. “Kenapa kau datang ke sini?”
Rambut panjang perempuan Cina itu kusut, pakaian yang dikenakan di balik baju perangnya juga telah lusuh. Tetapi, entah mengapa tidak mampu menghapus kecantikan yang terpancar dari dirinya. Meurah Johan berdeham, “Kau sekarang tahanan Kerajaan Indra Purba. Aku ingin mengajakmu bekerja sama.” Meurah Johan menunggu Nian Nio menanggapi. Ketika Maharani tidak juga menanggapi, Meurah Johan melanjutkan, “Aku ingin menyatukan kerajaan-kerajaan yang telah kau kuasai dengan seluruh kerajaan di Sumatera ini untuk menjadi Kerajaan Darud Donya Darussalam. Mintalah pada Maharaja Seudu agar menyerahkannya padaku. Setelah itu, kau dan seluruh prajuritmu bisa bebas.”
Nian Nio tersenyum. Senyum tercantik yang pernah dilihat oleh Meurah. “Kau boleh memiliki seluruh kerajaan yang telah kukuasai dengan satu syarat. Kau harus menikahiku.”
Bagaimana mungkin? Meurah Johan terdiam. Ia sangat mencintai kerajaannya, tetapi apakah ia harus sampai mengorbankan kebahagiaannya demi sebuah pernikahan politik? Walaupun sejujurnya, setiap lelaki di Kerajaan Peureulak hingga Kerajaan Indra Purba ini takkan bisa menolak kecantikan Maharani Nian Nio. Namun, ia masih bimbang. Banyak yang harus ia pikirkan sebelum keputusan dibuat. Ia meninggalkan penjara dengan langkah gontai, sama sekali tak tampak kegagahan dan kekuatan yang selalu ditunjukkannya di medan perang.
Ia menghadap Maharaja Indra Purba dan menyatakan syarat dari Nian Nio. Entah karena apa, Maharaja tertawa ringan. “Wahai Pangeran4, apakah syarat itu terlalu berat untukmu? Apakah engkau telah menyiapkan seorang wanita lain yang akan menjadi istrimu?”
Meurah Johan menunduk hormat. “Bukan begitu, Maharaja. Sulit membayangkan bahwa ini hanya akan menjadi pernikahan politik semata.”
“Lakukanlah ini demi tujuan mulia, Pangeran. Untuk menyatukan seluruh kerajaan Sumatera menjadi satu kekuasaan memang membutuhkan sebuah pengorbanan,” ujar Maharaja Indra Purba di atas singgasana.
Keputusan pun sudah dibuat untuknya. Ia harus menyiapkan diri, semakin cepat ia menerima Maharani asal Cina tersebut menjadi istrinya, akan semakin baik. Seperti di medan perang, ia harus mengenal lawan-lawannya agar ia bisa melumpuhkannya. Namun, entah masih saja ada kebimbangan yang memberati hatinya. Apakah mungkin jika syarat yang diajukan oleh Nian Nio itu hanya jebakan untuknya atau untuk kerajaan Indra Purba? Ia lebih takut jika terjebak akan kecantikan Nian Nio dan harus kecewa dengan kenyataan pernikahan itu bukan berdasar rasa suka sama suka.
***
Lelah sekali rasanya. Semalaman ini Meurah Johan harus tersenyum kepada setiap tamu dari seluruh kerajaan tetangga. Maharaja-maharaja dan permaisuri tidak berhenti memberi selamat dan mempertanyakan keberuntungannya mempersunting ratu Cina. Meurah Johan hanya menjawab dengan senyuman dan melirik permaisuri barunya. Setiap orang takjub dengan kecantikan dan keanggunannya. Ia meminta sebuah baju pernikahan berwarna merah dengan sulaman benang emas untuk lambang naga dan burung phoenix. Sebuah tradisi Cina yang harus ia teguhkan.
Meurah Johan mengedarkan pandangan, mencari Nian Nio. Ia mendapati istrinya sedang berdiri di depan jendela, menatap nanar pemandangan gelapnya malam di luar istana. Ia mendekati istrinya. Dengan menyapa setiap tamu yang dilewatinya, ia menghampiri Nian Nio. “Apa yang tengah engkau pikirkan, Maharani?” tanya Meurah Johan menatap Nian Nio lama.
Nian Nio tidak mengalihkan pandangan dari daratan gelap jauh di luar jendela. “Apa yang akan Pangeran lakukan ketika seluruh kerajaan di Sumatera ini sudah bersatu di bawah bendera Kerajaan baru Darud Donya?”
Meurah Johan ikut memandang ke luar jendela, mungkin membayangkan langkah apa yang akan ia lakukan untuk mewujudkan mimpi itu. “Aku akan mulai mengunjungi satu persatu kerajaan-kerajaan yang ingin kusatukan, termasuk kerajaan yang kau kuasai. Indra Patra, Panton Bie, Indra Puri. Setelah itu menyatukan semuanya.”
Maharani Nian Nio tersenyum sambil menghapus jarak di antara mereka. “Aku akan mendampingi perjuanganmu dan akan selalu menjadi Permaisurimu, Pangeranku.”
Meurah Johan membalas senyum istrinya dengan hangat. Mata Nian Nio berbinar, binar yang mulai diartikan cinta oleh Meurah Johan.
***
Sesuai permintaan Maharani Nian Nio sebelum pesta pernikahan, kamar pengantin harus dihias menggunakan warna merah dan emas. Dan inilah dia. Ranjang kayu itu telah dialasi dengan kain sutra warna merah bersulam garis emas. Pita-pita dan kain satin yang menjadi tirai dan penutup tempat tidur juga berwarna merah. Sulur-sulur yang menjuntai dari bunga-bunga mawar dan lili liar yang ditata di tembok, meja, dan sisi tempat tidur juga berwarna merah.
Begitu masuk ke ruangan ini, Meurah Johan merasa berada di Cina, bukan di Sumatera. Ia merasa pesta pernikahannya tidak sesuai dengan kebudayaannya sendiri. Tetapi, tak mengapalah. Sesuai dengan petuah Maharaja Indra Purba, setiap kebaikan pasti awalnya membutuhkan pengorbanan.
Nian Nio masih menanggalkan pakaian pengantin dan mahkotanya yang berat di bantu oleh prajurit wanita di kamar lain. Meurah Johan mendekati ranjang dan berbaring di atasnya. Ia tidak berpengalaman dengan seorang wanita. Entah apa yang harus dilakukannya.
Maharani memasuki kamar dan berdiri di ambang pintu. Prajurit wanita menutup pintu di belakangnya.
Ia mengenakan gaun tidur selapis berwarna merah jambu. Sangat cantik membalut kulitnya yang putih bersih. Meurah Johan tak lepas memandang Nian Nio dengan terpesona. Gelang perak bermata tunggal di pergelangan tangan kanan Nian Nio tidak dilepaskan, yang semakin membuat kecantikan Nian Nio bersinar. Ia bangkit dan menjemput Nian Nio, menuntunnya ke ranjang.
Mereka berdua duduk di tepi ranjang dengan malu-malu. Tangan kiri Meurah Johan masih menggenggam jemari Nian Nio. Jemari Meurah yang bebas mengelus dan mengagumi lembutnya rambut Nian Nio. Ia benar-benar bahagia dapat memperistri maharani yang cantik ini. Meurah Johan bertekad untuk membahagiakan Nian Nio.
Tiba-tiba Meurah terlonjak kesakitan ketika dirasakan tangannya yang menggenggam jemari Nian Nio seperti tertusuk mata anak panah. Ia memandang tangannya dan memperhatikan jarum kecil telah ditembakkan dari gelang perak Nian Nio. Luka yang ditinggalkan jarum itu membentuk lubang kecil dan mengeluarkan setitik darah.
“Apa yang telah kau lakukan?” tanya Meurah Johan sambil menjauh dari Nian Nio.
Nian Nio tersenyum puas. “Jangan banyak bergerak, Pangeranku. Jika tidak racun yang sudah masuk tubuhmu akan semakin cepat menjalar,” ucap Nian Nio sambil memutar-mutar gelang peraknya riang.
Meurah Johan mengerutkan kening penuh kesakitan. Nafasnya mulai sesak dan panas. Darah segar tiba-tiba mengucur dari hidung dan telinga Meurah. Banyak sekali pertanyaan yang ingin ia sampaikan sebelum ajal menjemputnya. Tetapi mulutnya kelu. Bibirnya telah kering dan kaku.
Dengan gontai dan kebingungan ia mencari sandaran. Meja, tiang tempat tidur, tembok, ia berjalan ke sana ke mari. Kehabisan tenaga Meurah terkapar di lantai. Ia kejang-kejang hingga urat-uratnya menonjol mengerikan. Nian Nio tidak peduli. Ia menatap Meurah yang sekarat dengan wajah datar.
Terbata-bata, Meurah Johan mempertanyakan alasan Nian Nio. Alasan kenapa cinta tulus yang berusaha ditunjukkan oleh Meurah dibalas dengan racun.
“Demi rakyatku dan demi leluhurku. Kau bukan siapa-siapa kecuali orang asing yang menggunakan segala cara agar aku mau menyerahkan kekuasaanku padamu. Dan sekarang kau tetap bukan siapa-siapa. Aku yang akan menjadi Ratu Kerajaan Darud Donya.” Tawa Nian Nio keras sembari menyilangkan kakinya di depan tubuh Meurah Johan yang berangsur membiru.
Racun dari gelang Nian Nio telah merasuk ke seluruh tubuh Meurah. Sesaat lagi ia akan mati.
Masih dengan memandang wajah suaminya, Nian Nio berteriak memanggil para prajurit. “Ular masuk ke kamar. Ular masuk ke kamar. Tolong,” teriaknya.
***
Penulis adalah mahasiswa
Sastra Indonesia. Cerpen ini juara I kategori cerpen Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2013.