clouring

 

 

 

Oleh Raisa Izzhaty

Aku masih ingat benar wajah Bapak yang biru ketika pulang ke rumah. Aku tanya Bapak kenapa. Bapak diam tidak menjawab. Ibu yang menjawab. Bapakmu nabrak tembok, Nduk. Saat itu aku percaya bahwa Bapak benar-benar nabrak tembok. Bapak memang kerapkali menabrak sesuatu. Pernah mata kanannya nyaris buta. Kata Ibu, Bapak habis nabrak truk tentara. Truk tentara kan besar sekali, pikirku. Bisa-bisanya Bapak menabrak truk tentara. Kecerobohan Bapak itu ternyata menurun kepadaku. Terutama pada jempol kakiku yang sedikit-sedikit nabrak meja.
Ah, berbicara tentang Bapak, aku jadi sedikit haru. Dulu, waktu aku masih kecil, aku selalu dibawa Bapak ke pasar malam. Pasar yang buka pukul enam sore hingga tengah malam, yang menjual banyak hal, tapi yang paling kusuka adalah banyaknya lampu yang menyala berwarna-warni. Saat itu di rumah, lampu hanya nyala hingga pukul delapan malam. Padahal rumah kami tidak terlalu jauh dari kota. Bapak selalu menggendongku adikku di punggungnya dan menggandeng tanganku. Aku masih ingat bau shampo orang-aring di rambut Bapak yang keriting. Aku juga masih ingat suara pelo Bapak ketika menawariku arum manis. Bahkan kecup Bapak di pipiku tak bisa aku lupa.
Teman Bapak banyak sekali. Ibu menyebut mereka teman seperjuangan. Entah apa yang mereka perjuangkan saat itu aku tak benar-benar mengerti dan peduli. Kerapkali ketika teman-teman Bapak datang, rumah kami yang sempit itu makin terasa sempit. Ruang tamu kami yang tak memiliki perabot kecuali meja kecil dengan vas bunga yang bunganya sudah berdebu. Biasanya teman-teman Bapak duduk di lantai beralaskan tikar anyam bambu yang sudah usang. Meski angin bertiup begitu menusuk, percakapan di antara mereka seketika membuat ruangan itu hangat. Ibu jarang sekali ikut bercakap dengan teman-teman Bapak.
Kata Ibu, “Kakean ngomongno politik iku bahaya,”. Artinya, terlalu banyak berbicara tentang politik itu berbahaya. Saat itu politik di telingaku masih terdengar seperti merek sebuah mesin, entah mesin cuci, mesin fotokopi, atau mesin mobil.
Bapak tak pernah menyuguhkan apa-apa pada teman-temannya. Bukan pelit. Tapi Bapak membiarkan teman-temannya mengambil apapun secara mandiri di dapur. Buatku, itu sangat romantis. Bapak tak ingin merepotkan Ibu. Tapi, teman-teman Bapak selalu membawa bekal sendiri ketika bertamu ke rumah kami meskipun Bapak sudah membebaskan mereka untuk mengambil apapun atau membuat apapun di dapur. Mungkin mereka mengerti, bahwa tak ada apa-apa yang bisa mereka ambil atau buat di dapur sempit itu. Oh ya, satu hal lagi yang unik ketika Bapak menerima tamu. Bapak selalu menyuruhku menyalakan televisi dan mengeraskan volumenya. Rumah jadi riuh. Dengan orang-orang yang bercakap-cakap di televisi dan di ruang tamu.
Bapak. Bapak. Bapak. Sudah lama aku tak mencium bau Bapak. Sudah tujuh belas tahun sejak hari di mana Bapak pergi malam-malam dan tak kembali lagi. Kata orang Bapak di penjara. Aku tidak percaya. Orang-orang itu wedhus. Bagaimana bisa Bapakku dipenjara. Bapak orang baik. Meskipun Bapak kadang-kadang aneh. Ya, bagaimana tidak aneh. Pernah suatu hari ketika Bapak sedang makan nasi goreng di meja makan, aku muncul di hadapannya. Tiba-tiba Bapak langsung berdiri lalu kabur terbirit-birit sambil berteriak “Tuyul!”. Ia lalu bersembunyi di rumah tetangga hampir satu jam sebelum dijemput paksa oleh Ibu. Usut punya usut, itu karena nasi goreng yang Bapak buat telah Bapak campur dengan jamur mushroom yang biasa hidup di kotoran sapi. Jamur itu ternyata menimbulkan efek fantasi yang berlebih.
Harus aku tegaskan, sekali lagi, Bapakku orang baik. Kalau tidak baik, ia tak mungkin punya banyak teman. Kalau tidak baik, mana mungkin sampai sekarang ia dicari banyak orang. Dibela di mana-mana atas nama hak asasi manusia. Wajahnya terpampang di televisi setiap bulan Mei. Video baca puisinya terpampang di youtube dengan ratusan ribu penonton. Hingga semua orang bisa berkata hanya ada satu kata: Lawan!
Bapakku benar-benar orang baik.
***
Selepas Bapak hilang, kami juga turut hilang. Bukan raga kami yang hilang. Tapi jiwa dan semangat kami. Kata orang-orang Ibu mendadak gila. Tiba-tiba ia berbicara sendiri. Seperti berbicara pada Bapak karena pakai Bahasa Jawa dan mesra sekali. Tiba-tiba ia setiap pagi membuat kopi yang biasanya ia suguhkan pada Bapak. Padahal di antara kami tak ada yang minum kopi. Saat itu dalam pikirku, kami harus berjuang. Ya, kami harus berjuang keluar dari segala kehampaan itu. Selepas Bapak pergi adalah sisa-sisa keikhlasan yang tak sepenuhnya kami ikhlaskan. Dengan sisa-sisa kenangan kami tentang Bapak, kami kembali mengais banyak hal yang bersangkutan dengan malam di mana Bapak menghilang.
“Fit, ojo melu-melu Bapakmu. Dadio uwong sing biasa wae. Kowe ancene sing nduwe lambe, tapi uwong-uwong iku iso nggunting ilatmu sak kareppe dewe,” pesan Ibu padaku.
Ibu, aku tidak bisa tinggal diam. Bukan hanya atas hilangnya Bapak. Tapi hilangnya akal hati nurani semua orang. Hati nurani yang seharusnya mendasari banyak hal di muka bumi ini.
***
Tadi pagi saat aku melihat televisi, Ibuku menjerit. Kami sedang menonton berita tentang kancil yang mati. Aku jadi ingat Bapak. Bapak dulu sering bercerita tentang dongeng si kancil. Kancil yang cerdik. Bapak tidak pernah berkata bahwa kancil itu licik. Kata Bapak, hanya ada dua orang licik di dunia ini. Pertama, yang punya uang dan kedua yang punya jabatan. Sudah.
Hanya itu, Fit. Hati-hati dengan dua orang itu. Kata Bapak saat itu.
Kalau Bapak masih ada, mungkin Bapak akan kembali mendongengiku dongeng si Kancil. Tapi Bapak tidak ada.
Banyak orang bilang Bapak sudah mati. Mayatnya dikubur di suatu tempat. Aku tidak percaya. Kata Ibu, kalau memang benar Bapak sudah mati, pasti arwahnya mendatangi kami. Entah itu lewat mimpi atau kejadian-kejadian gaib. Tapi, aku tak pernah bertemu dengan Bapak. Entah itu di mimpi, di dapur, kamar, atau kuburan. Adikku sering bermain peran. Seolah-olah Bapak sedang bersama kami. Ia sering berdiskusi dengan ‘bapak’ tentang burung ocehan peliharaannya, tentang ia yang sekarang sudah mulai merokok, tentang ia yang telah mimpi basah. Adikku hanya berbicara pada tembok, kadang guling.
Untung saja aku masih waras. Aku rindu Bapak. Tapi, aku tidak pernah membayangkan Bapak ada di sini. Tidak pernah sekalipun aku bertingkah sinting seperti adikku dan Ibu. Bukan aku tak ingin. Tapi aku ingat kata-kata Bapak dulu.
“Kalau semua orang wis dadi edan, kamu jangan ikut-ikut edan. Sing selamet iku sing ora melok-melok edan.”
***
Sebelum Bapak hilang, Bapak sempat berlari. Kalau ini aku tahu sebabnya. Suatu malam saat kami menonton televisi, Bapak menyuruh kami diam tiba-tiba. Kami mendengar suara langkah kaki sepatu bersol tebal di depan rumah kami. Esoknya, rumah kami didatangi lima orang tentara. Mereka mencari Bapak. Tapi ternyata mereka tak tahu penampakan Bapak itu seperti apa. Mereka mencari tapi tak tahu yang mana. Ibu bilang pada mereka, Bapak tidak ada. Padahal Bapak sedang di dapur. Ketika Bapak lewat di depan tentara-tentara itu, Bapak mengaku sebagai adik Ibu dan ingin izin pulang. Mereka semua percaya. Bapak cerdik.
Hari itu adalah pelarian Bapak yang pertama. Hari-hari berikutnya Bapak tidak ada di rumah. Hingga pada suatu hari, Ibu memasukkan seseorang ke dalam kamar. Ibu mematikan lampunya. Kata Ibu, aku tak boleh masuk ke kamar itu karena ada hantu. Aku yang kala itu sangat penasaran, mengambil kursi kemudian mengintip dari lubang angin. Aku teriak seketika. Ternyata Bapak.
Bahkan kala itu, di rumah sendiri pun Bapak masih harus bersembunyi.
***
Manusia tak memiliki nafsu. Tapi manusia adalah nafsu itu sendiri.
Bapak, selepas Bapak pergi banyak yang berubah. Bapak berhasil. Bapak tak usah kembali, tak apa. Aku, Ibu, dan Adik telah baik saja. Kami telah melewati semua dengan hati yang begitu lapang.
Mungkin saat ini Bapak telah menonton televisi. Menyaksikan kebebasan yang dulu Bapak perjuangkan. Bapak pasti rindu kopi dan singkong buatan Ibu. Bapak pasti rindu celotehan-celotehanku.
Apa Bapak masih sering makan mushroom? Hati-hati. Nanti Bapak kira semua anak kecil itu tuyul.
Apa Bapak masih pakai shampo orang-aring? Semoga masih, ya, Pak. Kami juga masih pakai shampo orang-aring supaya tetap ingat Bapak.
Sekarang, jika ada yang bilang Bapak adalah pembelot negara, aku yang akan melawan. Aku yang akan teriak. Bapakku bukan pembelot. Bapakku adalah seorang pahlawan yang hidup pada masa dimana bukan raga yang dijajah, tapi ideologi dan kebebasan.
Bapak mungkin pergi. Tapi semangat Bapak terus ada. Selalu ada. Dan berlipat ganda.
***
Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia. Cerpen ini Juara II kategori Cerpen Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2015