oleh Yusuf Hanafi

317_Ilustrasi_Agama

Tak berlebihan jika ada yang mengatakan 2018 adalah tahun politik. Kian lama suhu perpolitikan nasional semakin hangat. Belum lama ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka pendaftaran calon anggota legislatif (caleg). Sesaat lagi, KPU juga akan membuka keran pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Tak heran, pada pekan-pekan terakhir ini suguhan pemberitaan teraktual di mass media dan perbincangan paling marak di social media adalah seputar manuver-manuver elite partai politik untuk menggalang koalisi demi melempangkan jalan menuju kekuasaan.


Seolah berbanding terbalik dengan antusiasme elite, mayoritas kaum alit justru bersikap skeptis bahkan apatis (untuk tidak mengatakan “acuh”) terhadap konstalasi perpolitikan nasional. Di mata publik, siapapun figur yang duduk di kursi legislatif maupun eksekutif, mereka tetap tidak dapat diharapkan untuk melakukan perubahan. Penyebab utamanya adalah pola rekrutmen politik yang jelek dan bobrok, serta jauh menyimpang dari nilai dan norma agama. Mereka yang direkrut sebagai caleg, capres, dan cawapres umumnya adalah figur-figur yang notabene lebih menonjolkan modal kapitalnya, serta sekadar mengedepankan ketenaran dan popularitas yang dimilikinya.
Ambisi Jabatan dalam Kacamata Agama
Sebelum berbicara lebih jauh, terlebih dahulu penulis perlu mendefinisikan perihal rekrutmen politik. Rekrutmen politik adalah proses penjaringan, pengusungan, dan pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik. Terkait dengan persoalan rekrutmen politik, Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud pernah menyatakan: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah Kau meminta jabatan! Karena, jika Kau diberi jabatan dengan cara memintanya, maka jabatan itu akan dibebankan padamu sepenuhnya (tiada pertolongan dari Allah). Namun, jika jabatan itu diserahkan kepadamu bukan karena permintaanmu, niscaya Kau akan ditolong (oleh Allah) dalam mengembannya” (HR. Abu Dawud).
Kenapa penulis mengangkat hadis ini? Karena telah menjadi fenomena yang jamak dewasa ini, jabatan tidak hanya diharapkan dan diminta, bahkan juga diperebutkan. Jabatan bukan lagi menjadi amanah yang harus dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dan tanggung-jawab, tetapi telah berubah menjadi tujuan untuk merengkuh kekuasaan dan menimbun kekayaan.
Apa yang bisa kita petik dari hadis di atas? Al-Muhallab dalam Syarh al-Bukhari li Ibn Baththal menjelaskan bahwa orang yang memperebutkan jabatan itu sesungguhnya didorong oleh ambisinya, dimana ia merasa memiliki kemampuan untuk memimpin. Padahal, Allah SWT tidak akan memberikan pertolongan kepada orang yang meminta jabatan itu. Dalam kaitan ini, Rasul SAW bersabda: “Barangsiapa yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya.” Logika sebaliknya adalah seseorang yang mengunggulkan dirinya, maka Allah akan menghinakannya.
Ambisi seseorang untuk mendapatkan jabatan seringkali mengantarkannya untuk melakukan apapun guna mewujudkannya. Dia akan memobilisasi dana dari manapun sumbernya untuk memperoleh dukungan. Akibatnya, setelah berhasil menduduki jabatan, ia akan melakukan segala cara untuk mengembalikan modal yang telah diinvestasikannya selama kampanye. Inilah salah satu biang korupsi yang menggurita dewasa ini.
Terkait dengan persoalan ambisi jabatan ini, Rasul SAW dalam hadis lain yang diriwayatkan al-Bukhari memprediksikan: “Sesungguhnya kalian semua akan berambisi terhadap jabatan kepemimpinan, padahal jabatan itu kelak akan menimbulkan penyesalan.” Namun, Nabi SAW memberikan pengecualian: “Kecuali jika jabatan itu diambil oleh orang yang layak memangkunya, dan dia mampu melaksanakan jabatan tersebut dengan penuh tanggung jawab.”
Figur Pejabat yang Layak Dipilih
Pertanyaan sekarang, figur seperti apakah yang selayaknya dipilih? Menurut Ibn Taimiyah, pengangkatan seseorang untuk menduduki jabatan publik haruslah didasarkan kepada alasan bahwa yang bersangkutan adalah figur yang paling layak dan pantas (aslah). Sebab, ia nantinya akan bertugas menangani persoalan masyarakat luas. Kesalahan dalam penyerahan jabatan akan berakibat penderitaan rakyat. Oleh karena itu, berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud di atas, tidak sepatutnya rakyat menyerahkan kekuasaan publik kepada seseorang yang ambisius merebutnya.
Berkaitan dengan ini, Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan hadis yang menceritakan orang yang meminta jabatan kepada Rasulullah SAW, lantas beliau menolaknya: “Abu Musa al-Asy’ari berkata: Saya dan dua orang dari kaumku menghadap Rasulullah SAW. Lantas salah seorang dari kami berujar kepada beliau: Wahai Rasulullah, jadikanlah kami ini pemimpin (amir). Sementara yang lain juga mengatakan hal yang sama. Lalu Rasul SAW bersabda: Sesungguhnya kami tidak menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada orang yang meminta dan yang berambisi untuk memperolehnya.”
Rasulullah SAW sadar betul, seseorang yang meminta jabatan, apalagi memperebutkannya, menandakan bahwa yang bersangkutan itu memiliki sifat rakus dan tamak. Ini jelas sangat berbahaya. Lebih jauh, Rasulullah SAW menggambarkan kerakusan terhadap jabatan itu lebih negatif efeknya daripada dua ekor serigala kelaparan yang dilepas di tengah gerombolan kambing: “Dua ekor serigala lapar yang dilepas di tengah segerombolan kambing tidaklah lebih berbahaya dibanding bahaya yang ditimbulkan oleh orang yang berambisi mendapatkan harta dan kekuasaan jabatan” (HR. Turmudzi).
Menurut Ibn Taimiyah, seorang pemimpin setidaknya harus memiliki dua aspek pokok, yaitu kompetensi dan moral. Hal ini didasarkan para rekomendasi puteri Nabi Syuaib kepada ayahandanya tatkala memintanya agar memilih Musa AS sebagai pegawainya: “Sesungguhnya sebaik-baik orang yang Kau pekerjakan adalah pemuda yang kuat (kompeten) dan jujur (bermoral)” (Q.S. al-Qashash:26).
Imam al-Qurtubi menyebutkan beberapa kriteria sifat pemimpin ketika menafsirkan Q.S. Al-Baqarah: 124. Menurutnya, seorang pemimpin itu harus memenuhi beberapa pra-syarat, yakni: (1) adil, (2) memiliki integritas moral, dan (3) mempunyai kapasitas untuk menunaikan tugas kepemimpinannya itu. Karenanya, Rasulullah SAW melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan: “Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanat itu? Beliau menjawab: Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat” (HR. Al-Bukhari). Akhirnya, mari memilih dengan hati dan nurani. Jauhi calon-calon ambisius yang meminta jabatan dengan tidak memilihnya!
Penulis adalah dosen Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra dan anggota Penyunting Majalah  UM