oleh Riris Vita Sari

Alunan suara gamelan mengiang mengalun irama-irama khas budaya Jawa. Raja beserta para petinggi dan abdi ndalem sangat menikmati gema suara yang keluar dari alat musik khas Jawa ini. Para penari bertubuh sintal menari dengan moleknya, mengiringi irama gamelan. Syahdu pada malam-malam pesta kerajaan di Keraton Mangkunegara. Raja Mangkunegara dan para petinggi lainnya terlihat anggun berwibawa menyaksikan tarian para penari molek. Pesta kerajaan tak luput dari kehadiran pemerintah Belanda yang sengaja diundang oleh Raja.

Suguhan pesta kali ini begitu mewah, Raja tak segan-segan untuk menyuruh tamu-tamunya menikmati jamuan makan yang tersedia. Khusus dengan Residen dan Asistennya disajikan pada Rijstaffel 1) dengan menu khas Jawa.
Kehangatan pesta semakin meriah dengan tampilnya penari berbakat di Keraton Mangkunegara. Wangi kembang melati melekat bercampur bau tubuh sang penari yang sintal, cantik dan anggun. Musik gamelan semula halus berubah menjadi sedikit lincah dan luwes. Sang penari dengan tubuhnya yang luwes menari memikat seluruh mata yang memandang. Irama gamelan sesuai dengan gerak tubuhnya, menari dan terus menari dengan anggunnya. Siapa gerangan penari itu, Raja? Residen dan Asistennya mulai tertarik oleh tarian sang penari, rupanya terkena jarring-jaring pesona penari itu. Apakah Anda ingin menari bersamanya, Tuan Residen? Raja menyuguhkan tawaran menarik bagi mereka. Seketika mereka bingung menerima atau menolak tawaran manis tersebut. Kebetulan sekali saya masih bujang dan mencari seorang gundik untuk menemani saya. Sepi rasanya kalau tak ada wanita di rumah. Van Dedrick semakin menikmati gerak tubuh penari, seolah ingin memiliki gadis itu. Sang asisten residen mengembangkan senyum manis sambil menatap wajah manis dan ayu sang penari. Silakan Tuan Residen, menarilah bersamanya.
Raja menyuruh alunan gamelan berhenti, seketika penari itu berhenti. Van Dedrick maju dengan gagah mendekati sang penari yang bingung dengan kejadian tersebut. Respon gadis itu seolah-olah menolak untuk menari bersama laki-laki 30 tahun-an itu. Namun, sebagai seorang penari wajib bagi dirinya untuk melayani tamu undangan serta menghormati titah raja. Gamelan kembali berbunyi, sorak gembira dari tamu-tamu undangan meriuh melihat sang penari menari bersama residen. Residen sangat menikmati seluruh kejadian tersebut, tapi sang penari justru merasa segan melayani residen. Berakhirnya tarian itu, raja menawarkan kembali kepada asisten residen yang dari tadi hanya duduk dan melihat-lihat suasana pesta yang riuh. Maaf tuan raja, saya harus kembali ke kantor segera. Tuan raja dan residen saya pamit dulu. Respon penolakan asisten residen Larry Hans membuat seluruhnya tertegun dan bertanya-tanya. Ada apa Larry, bukankah kita sedang berpesta saat ini? Van Dedrick langsung menyusul Hans, ia hanya tertuju pada wajah rekannya. Aku hanya mengagumi gadis itu dengan tatapanku, bukan untuk melayaniku menari, Dedrick. Van Dedrick tertawa dan menepuk pundak laki-laki 25 tahun-an itu. Mengapa kau menertawakanku? Apa yang lucu, Dedrick? Gelak tawa Van Dedrick menggema di telinga Hans. Kau mulai bijak sekarang, Larry. Bukakah dulu kau seorang pemikat wanita di sekolah? Ternyata gadis itu sangat mengubah pandanganmu tentang wanita. Hans mengingat kejadian dimana ia pernah memikat banyak gadis di sekolahnya, ternyata ia mulai melupakan tentang hal memalukan itu. Sudahlah, ayo kita pulang. Tiada gadis yang dikencani malam ini, Bujang. Malam semakin menebar angin dingin, tanda bahwa hari telah larut dan berganti menuju pagi. Kereta kuda berjalan menyusuri jalan sepi, suasana senyap merasuki mereka yang pulang kembali ke rumah. Pesta telah usai, para tamu undangan bergantian pamit dan pulang. Sang penari melucuti tata rias yang menghiasinya selama ia menjamu tamu undangan. Ia merasa kesal dengan kejadian yang menimpanya. Lasmi, mengapa kau terlihat tak senang saat residen menari bersamamu? Nyonya Sumi menerawang pikiran Lasmi yang kalut. Namun, Lasmi tetap terdiam saja tanpa berniat ingin membalas pembicaraan guru tarinya itu. Malam itu menjadi kesakitan tersendiri bagi Lasmi. Ia melangkah pulang kembali ke rumah dengan kepahitan di hati.
Pagi itu terlukis indah, embun daun segar, suara kicau burung kecil, matahari yang belum terlihat sempurna, namun hangatnya terasa menyentuh lembut. Di ranjang kayu beralaskan tikar, terbaring Lasmi yang lelah akibat menari semalam. Ibunya paham betul jika Lasmi tidak bangun lebih awal, maka ibunya lah yang menggantikan posisi di dapur untuk sementara. Ayah Lasmi seorang pejuang rakyat kecil telah tiada semenjak Lasmi masih dalam gendongan ibunya. Kehidupan berubah total semenjak ayahnya menjadi boomerang bagi kehidupan Lasmi dan ibunya. Mereka diasingkan dan tidak diperbolehkan menikmati kehidupan yang layak. Bau masakan ibunya seketika membangunkan Lasmi. Ia sangat menikmati bau itu dan lari menuju dapur. Ibu, apakah kau memasak makanan kesukaanku? Maafkan aku jika aku terlambat pulang kemarin. Lasmi tertunduk lesu memikirkan jawaban ibunya yang mungkin akan memarahinya lagi. Mengapa kau murung, Lasmi? Aku sudah memasak tumis daun singkong dan singkong rebus kesukaanmu. Bagaimana suasana pesta kemarin, Nduk? Ibunya hanya terfokus pada wajah ayu putri tunggalnya itu, seksama diperhatikannya raut wajah murung Lasmi. Tak usah dibahas, Ibu. Lasmi segera menyantap makanan dengan lahap, ibunya hanya memperhatikannya dari tadi. Setelah ini, aku akan ke Pasar Kota membeli beberapa bahan makanan untuk kita. Aku janji akan pulang cepat, Bu. Lasmi beranjak pergi meninggalkan rumah bambunya yang kusam.
Pasar menjadi ramai pagi ini, beberapa pedagang desa yang menjual bahan makanan murah. Tak mau kalah pedagang Cina dengan kain dan barang antik yang harganya lumayan miring. Terlihat di sudut gang pasar ada dua orang pemuda Belanda yang duduk sambil melihat aktivitas Pasar yang ramai. Larry, apakah nanti kita akan bertemu gadis itu disini? Pertanyaan Van Dedrick membuat Hans merasa terkejut. Ah, sudahlah Dedrick kau masih terus saja membicarakan gadis itu. Hans mulai bosan dengan topik pembicaraan rekannya. Kita bertaruh, kalau kau yang menemukan gadis itu duluan, maka kau yang akan berkenalan dengannya. Tapi jika aku yang duluan, sudah jelas aku yang akan memilikinya. Kau setuju Larry? Tantangan konyol bagi Hans, namun tidak berlaku untuk Van Dedrick. Terserah kau saja Dedrick. Mereka pun berpencar ke seluruh arah Pasar Kota. Lasmi melihat-lihat kain selendang di toko milik A Khiong seorang penjual kain yang harganya cukup murah. Memilah-milah kain membuatnya merasa senang dan ingin memiliki semua kain itu. Ia pun bingung harus memilih diantara kain-kain selendang yang cantik dan oriental. Boleh kah aku pilihkan satu untukmu? Seorang laki-laki tiba-tiba datang dan mengejutkan Lasmi. Lasmi terhenyak dari posisinya dan memandang aneh laki-laki itu. Silakan tuan pilihkan satu yang terbaik untukku. Lasmi kagum dengan kejadian itu dan memperhatikan wajah tampan Hans yang manis. Tapi ada satu syarat, aku ingin tahu siapa nama pemilik selendang yang aku pilihkan nanti? Lasmi tertegun lalu tertawa kecil mendengar persyaratan dari pemuda itu. Pemilik itu bernama Lasmi, tuan. Ya, saya sendiri pemiliknya. Hans tersenyum lembut menatap raut wajah Lasmi yang ayu. Baiklah, satu syarat sudah terpenuhi. Aku pilihkan satu yang terbaik untukmu. Namaku Larry Hans, kau bisa memanggilku Hans saja. Lasmi terpaku memandang Hans begitu lama, saat Hans memilah kain selendang yang cocok untuknya. Hans mengambil selendang putih bermotif oriental khas bunga-bunga kuning. Ia pun langsung memakaikannya di tubuh sang penari itu. Kau sangat manis, Lasmi. Seperti kau yang berada di Keraton kemarin malam. Raut muka Lasmi memerah manis mendengar pernyataan Hans. Aku akan mengambil pilihanmu, tuan Hans. Lasmi berusaha melepas kain selendang di lehernya. Jangan kau panggil dengan kata tuan, cukup Hans saja. Aku akan membelikan ini untukmu. Seusai dari toko, mereka berjalan mengitari Pasar yang mulai beranjak sepi. Canda gurau mengisi perjalanan mereka, hingga tak sadar bahwa Pasar telah terlewati jauh dan ufuk matahari telah turun dan meredup. Hans, apakah kau pegawai asisten residen yang kemarin berkunjung ke pesta di Keraton? Lasmi memandang raut wajah Hans yang dingin. Aku tahu maksud pertanyaanmu, Lasmi. Kau mengira bahwa aku sama buruknya dengan mereka yang semena-mena padamu. Pemikiranku berbeda dengan pemikiran mereka, aku menaruh kasihan terhadap orang-orang sepertimu. Ada kalanya aku hendak menolong, namun aku tersendat pada perintah atasan dan sistemku. Pada dasarnya kita sama-sama ingin hidup tenang, bukan? Lasmi benar-benar kagum akan sosok Hans yang bijak, tegas dan tenang. Aku antarkan kau ke rumahmu, Lasmi. Tak baik bila gadis manis pulang sendirian malam-malam. Tawaran Hans membuat Lasmi tak menolak mentah-mentah penawaran pemuda tampan itu. Baiklah Hans, aku sangat berterimakasih padamu. Kuda pun melaju di jalanan kota menuju pedesaan, gemerlap lampu-lampu kota di jalan mengiringi derap kaki kuda yang terus melaju.
Hujan turun tak diundang, awalnya hanya setitik semakin lama semakin deras. Mereka berhenti di perbatasan kota, mencari tempat berteduh dari derasnya air hujan. Akhirnya gubuk tua tak berpenghuni pun menjadi pilihan. Hujan tak dapat ditebak, Lasmi. Pakailah jas ini untuk menghangatkanmu, aku akan menyalakan api untuk menghangatkan kita. Kesekian kali Lasmi dibuat terpesona oleh sikap Hans padanya, tak sadar senyum manis menyungging di bibir gadis molek itu. Nyala api semakin menghangatkan, ditambah basa-basi mereka yang semakin akrab saja. Hujan tak kunjung berhenti, Lasmi teringat akan janji pada ibunya membuatnya semakin cemas. Menatap kecemasan Lasmi, membuat Hans menjadi gelisah. Sabarlah sayangku, hujan tak akan lama lagi reda. Lasmi, boleh ku katakan sesuatu padamu? Aku sangat mencintaimu sejak pertama bertemu. Lasmi menatap wajah lembut Hans dan terdiam memikirkan kata-kata cinta yang manis dari Hans. Aku juga sangat mencintaimu, Hans. Kau tahu aku hanya lah seorang penari biasa, tidak setara denganmu tuan asisten residen. Hans memeluk tubuh Lasmi dan memegang dagunya dengan lembut. Kau tak perlu mempermasalahkan status sosial kita, Lasmi. Kau hanya perlu bersamaku dan mencintaiku, itu sudah cukup bagiku. Kecupan lembut di kening Lasmi menghangatkan seluruh jiwanya. Ia tak bisa berpikir jernih dan mulai nyaman dengan situasi malam itu. Ia pun terbayang dalam buaian manis. Malam yang panjang dilalui dengan hujan yang masih turun. Malam yang indah menikmati kehangatan cinta dan hawa kedinginan.
Sejuk pagi di tengah-tengah hutan desa membuat hawa dingin tetap bertahan, meski sinar matahari mulai nampak tembus di balik dinding bambu. Lasmi dan Hans terbangun menengok satu sama lain, mengingat kejadian kemarin malam. Hans telah berjanji mengantarkan Lasmi sampai rumahnya. Sisa-sisa hujan berakhir pada tetesan embun di daun-daun pohon bambu menuju rumah Lasmi. Kau dari mana saja, Lasmi? Kau sudah berjanji tidak terlambat pulang. Dan ada apa tuan asisten residen kemari? Ibu Lasmi kaget melihat keberadaan Hans. Saya hanya mengantarkan Lasmi ke rumah, saya mohon maaf atas kejadian ini. Lasmi, lain kali jangan pulang terlambat lagi, Sayang. Aku akan kembali ke kantor untuk urusan penting. Kuda Hans melaju kencang meninggalkan halaman rumah Lasmi dan ibunya. Lasmi tersenyum bahagia melepas kepergian Hans. Ia dan ibunya masuk ke rumah, Lasmi menceritakan banyak hal atas kejadian yang dialaminya pada ibunya. Ia mengusap kain selendang putih pemberian Hans dan memakainya dengan anggun. Di Kantor, Hans menemukan hal yang tak terduga sebelumnya. Kau berkencan lama dengan gadis itu, Larry? Kau menikmatinya bukan? Kau tahu aku duluan yang mencintainya, kau bukan rekanku lagi, Larry Hans. Beberapa botol minuman keras dilempar ke arah Hans, Van Dedrick mengetahui kejadian kemarin dan tak waras akibat menenggak banyak minuman keras. Tolong tenanglah, Dedrick. Aku jelaskan semuanya, kau tenanglah. Suara pistol terdengar hingga luar ruangan, seorang babu berlari ke ruang kejadian. Hans menemukan dirinya tertembak peluru Dedrick, terjatuh di lantai. Aku sangat tulus mencintainya, bukan cinta nafsu sepertimu, Dedrick. Aku tahu kau sangat menginginkannya, kau tak akan bisa memilikinya, karena aku hidup didalam hatinya. Hans pergi tanpa berpamitan pada Lasmi. Ia yakin bahwa Lasmi akan menunggunya kembali.
Hari-hari berlalu begitu cepat, Lasmi sedang menunggu seseorang di tengah keramaian. Ia sangat tak sabar menunggu cintanya, ia nekat ke kota. Lama mencari-cari dan berita itu terdengar olehnya. Jiwa Lasmi terhempas dari raganya, menangis. Kau tahu bahwa aku menunggumu begitu lama, Hans. Hans memeluk erat Lasmi. Maafkan aku Sayangku, aku membuatmu menunggu lama, Lasmi. Darah mengalir di selendang putih pemberian Hans, Lasmi terjatuh tertembak oleh keganasan Van Dedrick. Bukankah Kalian sudah damai selamanya di sana? Dedrick menyunggingkan senyum sinis meninggalkan semuanya.
Penulis adalah Mahasiswa Jurus Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang