Kolak Ayam dan Seorang Gadis
oleh Fatima Tuzzaroh
Sore itu Pak Kumis pulang ke rumah dengan geram. Ia melangkah cepat ke rumah ingin segera ambil sholat malam. Hatinya tak bisa tenang seperti biasanya. Ini gara-gara keputusan sepihak Pak Iman, kepala desa Gumeno sekaligus juru kunci masjid Jami’ Sunan Dalem.
“Musyawarah dengan warga tadi itu sia-sia. Ujungnya keputusan si juru kunci itu pasti menang.” Gerutu Pak Kumis di meja makan saat sarapan. Istrinya hanya tersenyum kaku menanggapi celotehan itu. Wanita paruh baya itu sudah hapal betul dengan tingkah suaminya, apalagi kalau berkaitan dengan Pak Iman. Serasa amarah selalu singgah di ubun-ubun kepalanya.
Tapi amarahnya kali ini benar-benar tak bisa diatasi. Sholat malamnya kemarin tak khusyuk membayangkan hasil perbuatan Pak Iman atas keputusannya. Pak Kumis masih tak percaya, bagaimana mungkin Pak Iman bisa merubah tradisi desa Gumeno semudah membalik telapak tangannya. Ia bahkan bisa mengingat setiap huruf yang keluar dari mulut Pak Iman di musyawarah desa semalam.
“Saudara sekalian boleh percaya atau tidak, saya telah mendapat petunjuk dalam mimpi untuk menyelamatkan warga kita. Wabah ini akan berakhir ketika diadakan syukuran akbar dan semua warga memakan kolak ayam sewaktu acara. Lalu, harus ada nak Aminah, putri dari Pak Jamal yang ikut membantu pembuatan kolak ayam.”
Penjelasan Pak Iman itu menjadi perdebatan panjang. Pak Kumis yang paling menolak saran itu. Sementara Pak Jamal hanya membisu di sudut masjid sebab tak paham maksud perkataan Pak Iman.
“Saran Bapak itu akan merusak tradisi yang ada. Pertama, kolak ayam itu dibuat hanya saat bulan Ramadhan. Mungkin aku bisa terima jika kita syukuran meski bukan bulan Ramadhan. Tapi meminta Aminah untuk ikut membantu proses memasak kolak ayam itu sungguh kelewatan.
Bapak bilang desa kita akan tertimpah wabah penyakit. Obatnya adalah kolak ayam. Kisah itu sudah terkenal di seluruh penjuru negeri. Tapi sepertinya Bapak lupa kenapa kolak ayam harus dimasak oleh para lelaki.” argumen panjang Pak Kumis itu membuat keheningan.
Mereka semua paham maksud Pak Kumis. Kisah Sanggiring telah mengakar di otak mereka dan diwariskan kepada seluruh generasi di desa. Sunan Dalem yang sakit para mengutus para laki-laki untuk memasak kolak ayam. Mereka percaya, kolak ayam yang dimasak perempuan tak memiliki khasiat sama sekali.
“Dan lebih parahnya, Aminah, gadis itu yang harus memasak.” Pak Kumis menutup argumennya. Matanya setengah melirik ke sosok Pak Jamal yang semakin ciut di sudut masjid.
“Saya tidak memaksa saudara sekalian untuk menerima saran ini. Saya hanya ingin menyampaikan mimpi yang saya peroleh selaku juru kunci Masjid ini. Seperti yang saya jelaskan di awal musyawarah tadi, Sunan Dalem menemui saya lewat mimpi dan meminta saya untuk menyampaikan seluruh pesan ini. Keputusan tetap ada di tangan saudara sekalian.” Penyampaian Pak Iman yang penuh Wibawa itu membuat sarannya unggul dalam voting. Keputusan yang membuat Pak Kumis pulang dengan amarah.
“Kenapa harus Aminah! Kenapa harus gadis itu!”
Tak ada yang mengenal aminah dengan baik. Kawan-kawan semasa kecilnya sebagian bahkan telah lupa bahwa mereka pernah punya teman bernama Aminah. Tapi fakta bahwa Aminah adalah kembang desa Gumeno tak bisa dipungkiri. Kecantikan gadis itu telah terlihat sejak hari pertama kelahirannya.
Gadis itu meninggalkan desa saat umurnya yang ke enam. Ia memutuskan tinggal di rumah neneknya di Surabaya. Kisah kecantikannya tenggelam begitu saja. Sesekali dia pulang saat hari Raya, tapi gadis itu bersembunyi di dalam kamar. Tak ada yang tahu tumbuh kembang si gadis selain keluarga mereka.
Semua berawal dari kepulangannya tahun lalu. Gadis itu pulang, dengan seorang bayi dalam gendongan. Warga desa heboh dengan kepulangannya itu. Gadis yang biasanya pulang sembunyi-sembunyi itu melangkah dengan santai di jalanan desa menuju rumahnya.
Pak Jamal menyambutnya tanpa kehebohan. Pria itu langsung mengambil bayi yang dibawa Aminah dan mengatakan bahwa bayi itu adalah cucunya. Cucu yang paling tampan dan akan menjadi pria tersoleh di desa, serupa ibunya.
Tak ada tanda-tanda dari ayah si bayi. Warga mengambil keputusan bahwa Aminah telah hamil di luar nikah. Mungkin itu alasan kenapa Aminah tak pulang kampung tahun sebelumnya. Gadis itu menutupi kehamilannya.
Sejak hari itu Aminah tak pernah kembali ke Surabaya. Ia besarkan anaknya di desa Gumeno. Saban hari pekerjaan si Gadis adalah mengajar ngaji anak-anak di Masjid Jami’ Sunan Dalem. Warga tak berani protes, sebab Pak Iman yang meminta gadis itu mengajar.
Pak Kumis satu-satunya warga yang paling menampakkan rasa tak sukanya pada Aminah. Pria paruh baya yang mengincar kedudukan Pak Iman itu selalu sholat berjamaah di masjid. Lalu sejak Aminah mengajar ngaji dari waktu ashar hingga maghrib, Pak Kumis memilih sholat di rumah. “Bagaimana mungkin lacur seperti itu dibiarkan ke masjid milik Sunan Dalem. Harusnya seluruh masjid itu dipel dengan pewangi agar tak ternoda dosanya.” itu alasan Pak Kumis ketika ditanya istrinya.
Pernah sesekali Pak Kumis berpapasan dengan Aminah di jalan. Pria paruh baya itu langsung putar arah dan lati tunggang langgang seperti melihat setan. Aminah tak peduli dengan tingkahnya, sementara warga hanya melongo keheranan. Apa yang ditakutkan dari sosok Aminah? Gadis itu bahkan berkerudung rapat dan memiliki sikap yang santun, meski fakta bahwa dia memiliki anak di luar nikah masih tidak bisa dilupakan.
Aminah dan Pak Kumis seperti minyak dan air. Mereka tak mau disatukan dalam kondisi apapun dan saling menolak.
Seperti yang telah disampaikan Pak Iman. Wabah itu benar-benar datang. Warga mulai jatuh sakit satu-persatu tanpa sebab yang jelas. Persiapan syukuran segera dilakukan oleh mereka yang masih sehat. Aminah ada di antaranya. Gadis itu bersedia membantu setelah dibujuk oleh Pak Iman secara langsung.
Selama proses persiapan itu Pak Kumis masih tak terima. Ia bahkan menyebarkan rumor bahwa wabah di desa mereka itu hadir karena dosa yang dilakukan Aminah. Sayangnya runor itu ditampik mentah-mentah oleh Pak Iman. “Ini bukan azab.” jelas Pak Iman saat musyawarah desa.
Tanggal syukuran telah ditentukan. Persiapan telah matang. Warga berkumpul di Masjid Jami’ Sunan Dalem untuk pengajian sehari penuh. Keluarga yang sakit dibawa serta untuk mendapat jatah kolak ayam. Untuk pertama kalinya di dapur masjid ada perempuan yang memasak kolak ayam dan orang itu adalah Aminah.
Selama acara syukuran berlangsung, Pak Kumis tak nampak hidungnya. Hanya istrinya saja yang ikut pengajian. Wanita itu bilang, putra semata wayangnya pulang kampung bersama istri dan anaknya. Pak Kumis memilih di rumah untuk menyambut mereka. Warga tak bertanya lebih lanjut kepada istri Pak Kumis. Mereka yakin alasan Pak Kumis yang sebenarnya adalah Aminah.
Syukuran berlangsung dengan lancar. Syukuran inj dapat dipastikan menjadi sejarah baru di otak warga desa Gumeno, seperti halnya kisan Sanggiring milik Sunan Dalem. Hebatnya lagi, warga yang sakit langsung sembuh usai menyantap kolak ayam buatan Aminah. Kepercayaan warga kepada Pak Iman semakin meningkat. Sementara pandangan negatif pada Aminah seolah tak pernah ada.
“Untuk Pak Kumis dan Wijaya.” dua bungkus kolak ayam itu terpampang dihadapan istri Pak Kumis. Mengagetkan, terutama Aminah yang memberikannya.
“Untuk suami dan putraku?”
Aminah mengangguk, “mereka harus memakannya, wabah ini belum berakhir tanpa ini.”
Wanita paruh baya itu tak paham dengan perkataan Aminah. Ia pulang dan menyuguhkan kolak ayam itu dihadapan suami dan putranya. Herannya, dua orang pria itu malah membisu di meja makan dengan kulit wajah yang memucat.
Pak Kumis segera memandang putranya begitu sang istri pergi dari hadapan mereka. “Besok kau harus ke rumah Aminah, bagaimanapun kau harus menikahinya dan mengakui anaknya sebagai anakmu. Nanti malam aku bantu membujuk istrimu.”
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia dan Juara II Penulisan Cerpen Majalah Komunikasi