oleh Sukamto

We didn’t do anything wrong, but somehow we lost, kutipan langsung oleh CEO Nokia, Jorma Olila ketika mengumumkan akuisisi Nokia di tahun 2018. Siapa yang tidak mengenal Nokia? Di Indonesia, Nokia sempat disebut sebagai ponsel sejuta umat karena jumlah penggunanya yang sempat membludak di tahun 2000-an. Nokia gagah merajai penggunaan dan penjualan ponsel. Namun, pada akhirnya Nokia harus bertekuk lutut. Apa yang membuat Nokia merasa kalah? Ia kalah pada perubahan. Perubahan yang cepat dalam dunia digital, terlambat direspon oleh Nokia sehingga membuatnya harus mengakui kegagalannya dalam mengeksekusi kebutuhan pasar.


Belajar dari Nokia, pada era Industri 4.0 perubahan merupakan hal yang tak terelakkan. Klaus Schwab, Ketua Eksekutif World Economic Forum menyatakan perubahan perekonomian dunia sudah dapat dikatakan sebagai sebuah revolusi karena kualitas perubahan yang terhitung cepat. VUCA (volatile/bergejolak, uncertainty/ketidakpastian, complexity/kompleksitas, dan ambiguity/ambiguitas) menjadi ciri utamanya. Kondisi tersebut ditandai dengan lahirnya berbagai industri dan jenis pekerjaan baru yang sebelumnya tidak ada. Tanda yang paling terlihat bahwa banyak pekerjaan tradisional yang kemudian mengalami perubahan atau bahkan menghilang digantikan oleh teknologi.
Perubahan tersebut bukan hanya dalam bidang ekonomi, namun menyentuh seluruh aspek kehidupan, termasuk perguruan tinggi. Salah satu aspek perubahan yang tersentuh teknologi, terjadi dalam perekrutan mahasiswa dalam sistem Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK). Jika dahulu ujian masuk didominasi oleh tes tulis, kini ujian sudah diselenggarakan dengan menggunakan perangkat teknologi sehingga dapat berjalan lebih efektif dan mengutamakan prinsip “equality” karena menyajikan tingkat kesulitan soal yang sama di seluruh Indonesia. Pembentukan Lembaga Test Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) sebagai penyelenggara UTBK di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) merupakan salah satu upaya untuk menghadapi serta mengawal perubahan perekrutan mahasiswa yang terjadi. Berbagai perubahan lain, baik yang bersifat sistem maupun dibukanya program studi baru, dipersiapkan untuk memastikan perguruan tinggi, termasuk Universitas Negeri Malang (UM), tidak ketinggalan dalam merespon perubahan yang terjadi di dunia.


Perubahan, layaknya ketika kita bergerak dari satu tempat ke tempat lain, membutuhkan energi dan upaya. Bahkan terkadang terbawa perasaan tidak nyaman. Menghadapi orang baru, menghadapi situasi baru, menghadapi sistem yang baru seringkali mengganggu dan menggeser zona nyaman yang terlanjur dimiliki. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa keadaan tersebut juga mendorong untuk terus menarik kemampuan sampai titik batas. Hal tersebut juga sekaligus menguji fleksibilitas kemampuan yang dimiliki untu menjadi pelajaran agar terus dikembangkan. Baik mengembangkan yang ada dihadapan, maupun yang masih terencana juah ke depan.


Perasaan tidak nyaman tersebut terkadang disertai dengan perasaan terancam, bahkan hingga merasa apatis terhadap perubahan. Namun, seperti yang dinyatakan oleh Albert Einstein, the world as we created is a process of our thinking, it cannot be changed without changing our thinking. Kutipan tersebut menegaskan bahwa perubahan yang pertama dan utama adalah perubahan dalam pola pikir kita. Termasuk berubah untuk tidak memandang apa yang kita lakukan sebagai satu-satunya cara. Selain UTBK, UM akan menghadapi berbagai perubahan lainnya. Mungkin tidak selalu berjalan mulus, perlu sedikit berlari bahkan terkadang membuat terengah-engah. Tidak menutup kemungkinan terkadang bisa terjatuh, namun perubahan merupakan kata kunci untuk maju ke depan. Maka, civitas akademika UM, mari berubah!


Penulis adalah Anggota Penyunting Komunikasi dan Dosen FIS UM