Kabar membanggakan datang dari Universitas Negeri Malang (UM). Meski dalam situasi prihatin di tengah pandemi Covid-19, kampus yang memiliki moto “excellence in learning innovation” itu tetap produktif melahirkan banyak profesor. Terbaru, UM mengukuhkan enam Guru Besar sekaligus dalam sidang terbuka senat yang dihelat di Graha Cakrawala UM pada Kamis (23/9), tentunya dengan penerapan protokol kesehatan secara ketat. Salah satu dari empat profesor tersebut adalah Prof. Dr. Yusuf Hanafi, M.Fil.I yang dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Agama Islam. Yusuf adalah dosen pertama UM yang dikukuhkan sebagai profesor dalam bidang ilmu tersebut. Pengukuhan Ustaz Yusuf (begitu beliau biasa dipanggil) juga terbilang unik karena Guru Besar bidang Ilmu Agama Islam itu lazimnya berdinas di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), seperti UIN, IAIN ataupun STAIN, bukan di Perguruan Tinggi Umum (PTU).

Dalam orasi pengukuhannya, lelaki kelahiran Mojokerto 43 tahun silam itu mengangkat tema “Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Berwawasan Moderasi Beragama untuk Mencetak Peserta Didik yang Toleran dan Multikultural”. Ia memaparkan bahwa menanggulangi terorisme, radikalisme, dan intoleransi jelas bukan persoalan gampang dan sederhana. Sebab, radikalisme bukanlah sebuah gerakan sosial, tetapi wacana dan aksi yang berakar dari ideologi. “Ideologi tidak mungkin hanya dibasmi dengan pendekatan militer dan keamanan semata atau ditangkal dengan pendekatan struktural yang digagas oleh Immanuel Kant, Das Ding an sich (misalnya melalui pembentukan BNPT), ataupun diberangus dengan pendekatan hukum dan regulasi secara kaku,” ujar Yusuf, membuka pidato ilmiahnya.

Ironisnya, pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) sejauh ini belum terbukti mampu melahirkan peserta didik yang moderat, toleran, dan inklusif. Salah satu penyebabnya, PAI belum secara terpadu menekankan pembelajarannya pada proses edukasi sosial, di mana peserta didik cenderung dibentuk hanya untuk saleh secara invidual-vertikal (habl min Allah), tetapi tidak secara sosial-horizontal (habl min al-nas). “Idealnya, pembelajaran PAI menekankan pendulum pembelajarannya pada aspek moderasi beragama yang berorientasi pada dua arah sekaligus, yakni penghargaan kepada orang lain (respect for others), di samping penghargaan kepada diri sendiri (respect for self),” imbuh dosen Jurusan Sastra Arab UM ini.

Menurut Yusuf, “situasi dan kondisi pembelajaran PAI yang masih konservatif dan tradisionalis di atas bertanggung jawab atas tumbuhnya sikap mental yang bercorak definisif, apologis, dan polemis dalam diri peserta didik”. Dampak ikutannya adalah munculnya praktik dan model keberagamaan yang ekslusif, radikal, dan intoleran dalam konteks kehidupan sosial-kemasyarakatan, seperti sikap saling mendiskreditkan, sekuler-mensekulerkan, murtad-memurtadkan atau bahkan kafir-mengkafirkan secara serampangan. Rekonstruksi pembelajaran PAI jelas sangat diperlukan agar PAI mampu berkontribusi secara signifikan dalam penanganan persoalan radikalisme dan intoleransi yang saat ini mendera negeri ini. Perlu dicatat, eksistensi paham dan kelompok radikal tidak dapat disepelekan dan dipandang sebelah mata. Kampanye anti Pancasila dan anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang digaungkan oleh sayap fundamentalisme Islam, misalnya lewat propaganda “penerapan syariat” dan “penegakan khilafah”, menarik untuk dicermati sekaligus patut diwaspadai bersama. “Sejumlah riset investigatif yang kami lakukan terhadap eksistensi paham ekstrem-radikal di kampus UM, merekomendasikan perlunya penanganan serius dan sungguh-sungguh. Beragam kegiatan mereka lakukan secara gencar dan masif, baik yang dilakukan secara senyap ataupun terbuka, mulai dari penyebaran buletin, pamflet, dan brosur hingga berbagai kegiatan diskusi dan halaqah yang berisi indoktrinasi ideologi anti Pancasila, anti NKRI, dan seruan intoleransi terhadap pihak-pihak yang berbeda paham dan keyakinan,” papar pria yang mengawali karier sebagai dosen Fakultas Sastra UM sejak 2004 ini.

Ayah dari tiga anak ini menegaskan, “merupakan sebuah keniscayaan untuk melakukan internalisasi dan implementasi nilai-nilai moderasi beragama melalui dunia pendidikan. Sebab, pendidikan Islam tidak boleh hanya berorientasi pada persoalan-persoalan teoretis keagamaan yang bersifat kognitif-akademis Das Ding an sich. Justru porsi perhatian yang lebih besar harus difokuskan pada bagaimana mengubah wawasan pengetahuan agama menjadi sikap dan perilaku beragama yang moderat dan toleran”.

Moderasi beragama dalam kajian klasik (turats) dikenal dengan istilah “Islam wasathiyyah.” Moderatisme (wasathiyah) berarti sikap menjaga keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya, yakni ekstrem kiri (yang cenderung terlalu longgar dan liberal), dan ekstrem kanan (yang cenderung terlalu kaku dan konservatif).
Islam wasathiyah mengedepankan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan tengah agar tidak terjebak pada sikap keagamaan yang ekstrem dan radikal. Beberapa prinsip moderasi beragama yang berhubungan dengan konsep Islam wasathiyah adalah tawassuth (memilih jalan tengah), taw?zun (berkeseimbangan), i’tid?l (lurus dan tegas), tas?muh (toleran), dan mus?wah (egaliter). “Cara berpikir dan bersikap secara moderat inilah yang diyakini mampu membawa stabilitas dan harmoni, sekaligus dapat mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan individu dan masyarakat,” klaim dosen yang pernah dinobatkan sebagai Dosen PAI Berprestasi Nasional tahun 2019 oleh Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI ini. Indikator moderasi beragama dapat dicermati dan diukur dalam penerimaan individu dan kelompok terhadap budaya bangsa dan ideologi negara. Sikap dan perilaku moderat Muslim Indonesia dalam beragama meniscayakan penerimaannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan mengutamakan hidup rukun, baik saat terjadi perbedaan pendapat keagamaan di kalangan internal umat seagama maupun dengan pemeluk agama yang berbeda. “Indikator moderasi beragama itu ada empat, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti radikalisme dan kekerasan, serta akomodatif terhadap kearifan lokal,” simpul Yusuf.

Mengakhiri pidato pengukuhan Guru Besarnya, dosen yang lama nyantri di Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Singosari Malang itu memaparkan implementasi moderasi beragama dalam pembelajaran PAI. “Secara garis besar, implementasi moderasi beragama dapat dilaksanakan melalui tiga cara berikut. Pertama, insersi muatan moderasi beragama dalam materi PAI yang diajarkan. Kedua, optimalisasi pendekatan-pendekatan pembelajaran yang melahirkan cara berpikir kritis, sikap menghargai perbedaan, perilaku menghargai pendapat orang lain, dan tindakan toleran. Ketiga, penyelenggaraan diskusi/halaqah secara rutin dan berkesinambungan seputar topik moderasi beragama,” tandas Yusuf.

Pewarta: NAS

Editor: Bunga | Admin: Daffa’