Oleh Hafiz Anshari

Pemuda adalah pemimpin masa depan yang berperan penting dalam kemajuan sebuah peradaban. Berangkat dari pemikiran inilah, Perdana Menteri Jepang 2007, Shinzo Abe, dan para pemimpin negara di Asia Timur berinisiatif meningkatkan rasa saling pengertian antarbangsa di antara para pemuda di kawasan ini, salah satunya melalui sebuah program pertukaran remaja dan pemuda bernama Jenesys (Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youth) Programme. Program yang diorganisasi oleh JICE ini mengundang 6000 pemuda ke Jepang tiap tahunnya untuk memberi pengalaman tentang Jepang secara langsung kepada tiap peserta.
Tahun 2012 adalah kali pertama program Jenesys dibuka untuk mahasiswa Indonesia. Ada 3 grup untuk 3 bidang berbeda, Sosial/Humaniora, bidang Ilmu Alam, dan bidang Teknik/IT. Seleksi calon peserta dilaksanakan langsung oleh Bagian Pendidikan Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. Setiap universitas dapat mendelegasikan 3 mahasiswa yang masing-masing mewakili setiap bidang tersebut. Saya mewakili UM untuk bidang Ilmu Alam bersama dengan 20 mahasiswa sains lain dari 20 universitas berbeda dari seluruh Indonesia.
Awalnya, saya sempat terkejut saat dihubungi langsung oleh pihak kedutaan, bahwa saya terpilih sebagai peserta Jenesys 2012. Kendala passport, jadwal kuliah, ujian, sampai masalah ekonomi saat itu ternyata dapat dilalui juga. Dukungan yang luar biasa dari keluarga, sahabat, para dosen dan fakultas MIPA dan universitas juga benar-benar menjadi semangat. Setelah menjalani dua hari di Hotel Sultan Jakarta untuk proses orientasi, tes kesehatan dan upacara pembukaan oleh Kedubes Jepang dan Kemenpora, akhirnya pada tanggal 7 Mei 2012, saya terbang selama tujuh jam menuju Tokyo, dan  menginjakkan kaki pertama kalinya di negeri matahari terbit itu.
Sebagai kota besar, menurut saya, Tokyo bahkan lebih segar dan rendah polusi dibanding Malang. Pemerintahnya sangat ketat  dalam urusan kendaraan bermotor. Tetapi, saat menghirup udara Tokyo, kesegarannya terasa menusuk karena suhunya saat itu adalah 180o celsius, walaupun saya datang saat musim semi, musim terbaik sepanjang tahun. Sayangnya, sakura di sana telah selesai mekar, dan saya hanya bisa melihat hijau daunnya saja. Warga Tokyo sendiri lebih senang berjalan kaki atau bersepeda. Selain karena harga mobil cukup tinggi di kota ini, sarana transportasi publik juga sangat bagus. Itulah sebabnya, pedestrian di sini lebih lebar dari jalan rayanya sendiri. Pejalan kaki, bahkan untuk tuna netra sekali pun, sangat dimanjakan dengan udara segar minim polusi, pepohonan rindang, dan kondisi jalan yang nyaman.
Agak sulit menuangkan pengalaman ini dalam bentuk tulisan yang terbatas, karena selama sembilan hari di Jepang, tak terhitung banyaknya pengalaman yang saya dapatkan dari program ini. Di Tokyo, saya tinggal di Keio Plaza Hotel, persis di depan Tokyo Metropolitan Governmental Building, pusat dari kota ini. Kuliah umum dari Prof. Takeshi Murai, berdiskusi dengan pemerintah Jepang di Ministry of Foreign Affair of Japan, melihat sejarah Tokyo di Edo-Tokyo Museum, dan menikmati padatnya malam hari Tokyo di Sibuya, Shinjuku, dan Akihabara. Saya juga mengunjungi Shrine (kuil Shinto), membuat Chikuwa (makanan dari daging ikan) dengan tangan sendiri, sedikit berbelanja di Oval Garden, Laox Akihabara, Yakuen Shop, Lagunasia, dan Ito Yokado.
Selain Tokyo, saya juga mengunjungi Prefektur Aichi, di mana sebagian besar acara program ini dilaksanakan. Kami menuju ke sana dengan menaiki Bullet Train Shinkansen yang melewati gunung Fuji yang bersalju. Di sana saya melihat langsung fabrikasi land cruiser mewah di Tahara Plant, satu dari dua belas manufaktur Toyota.
Saya bersama grup juga melakukan kunjungan ke Toyohashi University of Technology (TUT) di Toyohashi City. Kuliah umum dari Prof. Akira Mizuno tentang elektrostatis benar-benar memukau kami. Para mahasiswa TUT asal Indonesia yang tergabung dalam PPI Toyohashi juga menjelaskan seluk-beluk perkuliahan di Jepang. Saya bersyukur bisa salat Jumat di negeri sakura ini bersama mereka. Setelah itu, kami juga berdiskusi bersama mahasiswa internasional di TUT tentang apresiasi seni dan beladiri Jepang, dan yang paling menarik, menulis nama sendiri dalam aksara Kanji bersama mereka.
Banyak program beasiswa tersedia bagi mahasiswa asing untuk belajar di Jepang, baik kelas reguler maupun internasional. Dari diskusi saya dengan mahasiswa asal Indonesia, ternyata sistem di Jepang sangat menekankan riset yang berkualitas. untuk Untuk diterima di sebuah universitas pada jenjang pascasarjana, calon mahasiswa terlebih dahulu harus mengajukan gagasan penelitian, dan memiliki seorang profesor pembimbing di kampus yang dituju.
Di Toyokawa City, kami menjalani program homestay. Saya bersama seorang teman dari Unpad diperkenalkan dengan host family kami, yaitu keluarga Satake. Ayah dan ibu asuh yang saya panggil Okasan dan Otosan, serta Ojisan (kakek), benar-benar menyayangi kami. Program ini benar-benar membantu memerdalam pemahaman saya tentang kebudayaan Jepang langsung dari rakyatnya. Saya juga diajak berkeliling ke Okazaki Park, minum teh hijau Jepang, Mikawa Bay, Gomogori beach, dan Takeshima Island. Saya juga sempat menari bersama para aktor samurai di Leyasu Memorial Park.
Sama seperti Indonesia, Jepang merupakan negara yang memiliki sejarah panjang. Zaman kekaisaran dan samurai, sampai abad modern Meiji, serta kekalahan mereka dalam PD II, berpengaruh besar dalam pembentukan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Jepang. Sadar akan keterbatasan alam dan sumber daya yang mereka miliki, rakyat Jepang tertempa dan memiliki karakter dan kebiasaan yang bagus, kerja keras, disiplin, tepat waktu, siap siaga, tetapi tetap peduli dan ramah. Karakter ini dimanifestasikan dalam sistem kehidupan mereka. Setiap beberapa ratus meter, ada koban (pos polisi) yang siap melayani. Saya merasakan langsung bagaimana keteraturan sangat terasa di semua lini, mulai dari tata kota sampai rumah tangga.
Latar belakang sejarah, karakter dan kebiasaan baik, serta sistem yang bagus, telah memberikan hasil yang luar biasa. Kemajuan ini terlihat antara lain di bidang pendidikan, ekonomi, dan teknologi. Banyak sekali universitas Jepang berkualitas dunia. Sumber daya manusia yang terdidik adalah salah satu kunci kesuksesan Jepang. Terlihat pada invensi dan aplikasi teknologi, dari otomotif, mesin, perangkat lunak, sampai peralatan rumah tangga yang serba otomatis. Di akhir program Jenesys, kami sepakat bahwa Jepang adalah negara yang menginspirasi. Kami juga berharap  suatu saat Indonesia dapat mencapai kesuksesan seperti itu, atau bahkan lebih.
Penulis adalah mahasiswa Fisika 2009