Ayah sudah menyiapkan denda untuk pemakamannya. Kami sudah menunda pemakaman selama tiga hari. Ibu yang pelit mulai mengeluh karena uang sebanyak itu seharusnya diwariskan padanya. Dia mulai kesal ketika mendiang ayah menyebutkan dalam surat wasiatnya: tunda pemakamanku dan Maria Verheijen adalah sang ahli waris.

Lilin-lilin di sekeliling peti jenazah mulai habis terbakar. Ibu memerintah para pelayan pribumi untuk menggantinya.

“Sudah mati saja, masih merepotkan.” Ibu sudah tak tahan lagi untuk merutuk.

“Kita harus menghormati impian terakhir ayah, Bu.”

“Ayahmu memang menyebalkan. Dia tahu kita sedang masa kritis. Bagaimana bisa dia masih menjaga kegengsian?”

“Ayah berpikir kita harus tetap menjaga martabat kita walau ayah sudah meninggal. Agar para bangsawan dan pejabat VOC di Batavia ini tetap hormat serta menjaga pertemanan dengan kita, Bu.”

Ibu mendengus mendengar jawabanku yang sok bijak. Gurat kecewa yang meriap di wajahnya tak pernah sanggup kutatap lebih lama. Sebagian hatiku setuju dengan pendapatnya, sebagian lagi aku teramat menyayangi ayahku.

“Ibu sampai harus meminjam uang pada Johannes untuk membayar jubah hitam pemakaman dan grafbuiloft[i].”

Seketika aku terhenyak, “Kenapa, Bu? Apa uang wasita ayah tidak cukup?”

“Tidak, Maria. Itulah yang membuat ibu marah pada ayahmu. Dia hanya meninggalkan uang untuk membayar denda saja.” Nada suara ibu bergetar ketika mengatakannya.

Kepalaku berdenyut-denyut. Seluruh hatiku kini memihak ibu. Persetan dengan menjaga gengsi seperti para aristokrat Belanda di Batavia ini. Ibuku bukan orang pertama yang harus meminjam uang ke sana kemari untuk biaya pemakaman mewah. Ahli waris harus menanggung utang itu. Aku mungkin tak akan sanggup membayarnya.

***

Minuman keras dan anggur untuk grafbuiloft sudah datang tadi siang. Aku menatapnya dengan nanar. Ibu masih berkutat di depan peti mati ayah sambil menangisi apa yang bisa ditangisi: kepergian ayah untuk selama-lamanya sekaligus utang yang telah menjerat kami.

Kami harus membayar 25 rijksdaalder[ii] sebagai denda penundaan pemakaman ayah. Kami menyewa dua pendoa yang harus dibayar sebesar 2 rijksdaalder. Belum lagi pemakaman ayah nanti malam akan didenda 40 ringgit.

Uang sebanyak itu bisa membuat kami bertahan hidup di Batavia berbulan-bulan ke depan.

“Kenapa kau ikuti tradisi bodoh itu? Lihat dirimu sekarang, mati dan tak bisa menghasilkan uang.” Sumpah serapah ibu terdengar sampai ke dapur.

Para bangsawan Belanda di Batavia punya kebiasaan menunda pemakaman agar didenda. Semakin tinggi denda yang dikenakan, semakin naik status sosial mereka.

Walau engan, kuseret diri mendekatinya. Kupeluk bahunya yang terguncang. Wajah sayu dan mata merah ibu adalah bakti yang mengharukan. Segera kuminta pelayan mengantar ibu ke kamar untuk istirahat. Pelayan dari pribumi Sunda Kelapa yang setelah pemakaman ini akan segera kami berhentikan. Pemakaman nanti malam akan menuntut banyak tenaga dan air mata.

***

Masyarakat Belanda menyebut pemakaman pada malam hari lebih romantis daripada siang hari, tapi bagiku ini lebih merepotkan. Kami harus menyiapkan banyak lentera untuk menerangi jalan dan memasukkan peti mati. Jubah serba hitam membuat tubuh kami seolah menyatu dengan kegelapan malam, begitu miris dengan kesan melankolis yang tajam.

Tentu saja, aku dan ibu tak bisa menahan kubangan air mata ketika peti itu mulai diulur ke dasar liang lahat. Bahkan sampai saat cerita ini kutulis dan kau baca, kesedihan itu selalu tampak nyata. Aku tak akan pernah melihat senyum ayah saat mengajakku keliling kastel Batavia pada sore hari. Aku tak akan melihat ayah mengatur pengadaan barang di Gudang Timur Batavia. Kami tak akan lagi berangkat ke Geraja Salib sama-sama.

Mendadak ketakutan menodai harapanku. Bahkan sampai kau selesai membaca kisah ini pun, tubuhku masih menggigil.

Apalagi yang lebih buruk ketika tubuh ringkih ibu tiba-tiba pingsan. Wajah lelahnya menunjukkan betapa kegelisahan telah menggempurnya tanpa jeda.

***

Wajah ibu sedikit lebih cerah ketika memasuki meja makan untuk merayakan grafbuiloft. Bibi Adele memberinya selai buah pruim untuk melengkapi jamuan pesta pemakaman kami. Ibu begitu terharu menerima selai buah ungu kehitam-hitaman itu.

“Aku teringat kembali masa kecilku di Belanda,” ucapnya takjub setelah memeluk tubuh gendut Bibi Adele.

Sebenarnya ibu sangat teguh memegang kebudayaan Belanda, tapi ibu tak pernah menyangka masyarakat Belanda di Batavia begitu hedonis. Satu kecemasan ibu sejak kami tinggal di Batavia selama sekian tahun ini ialah menghadiri pemakaman. Ayah punya fantasi liar soal pemakaman yang mewah, ibu tak pernah setuju. Tapi ibu akan menghindari bertengkar dengan ayah. Kakek dan nenek sudah tiada lagi. Kami sebatang kara.

“Dulu saat kakek buyutmu meninggal, kami masih merayakan rouwmaaltijd[iii], Maria. Itu tradisi kuno Belanda yang merupakan akar grafbuiloft. Rouwmaaltijd lebih sederhana dan khidmat karena hanya dihadiri oleh keluarga saja. Undangan harus terdiri dari 12 pria dan 12 wanita saja. Sangat berkesan. Ibu rindu sekali selai buah pruim. Terima kasih, Adele.” Cerita ibu sebelum makan malam dimulai. Tampak jelas dia ingin mengurai ketegangan.

“Sama-sama, Rosalyn. Kebetulan sepupuku kemarin baru tiba dari Batavia membawakanku sepeti selai pruim. Aku tak bisa datang ke grafbuiloft tanpa disajikan selai pruim.” Entah apa yang ada dalam pikiran Bibi Adele saat mengatakan itu: menyindir atau kasihan pada kami?
Ibu engan bicara lagi, bahkan tak menyentuh minuman keras atau pun anggur. Ibu hampir menghabiskan selai pruim dengan biskuit dan keju.  Sampai grafbuiloft berakhir, ibu tak pernah tahu aku menyembunyikan wasiat terakhir ayah. Bagi ayah, aku adalah ahli waris yang paling berhak daripada ibu yang selalu cemas pada apa pun di dunia ini. Walau kutahu satu-satunya harta yang diinginkan ibu ialah tiket perjalanan pulang ke Belanda.

Sebelum meninggal ayah ternyata mengabulkan permintaan terakhir ibu untuk kembali ke kampung halamannya. Sungguh tidak adil ketika ayah tidak menyiapkan tiket untukku juga. Dia bilang aku bisa mengawini pria VOC yang kaya untuk mendapatkan kebahagiaanku sendiri. Ayah mungkin lupa aku sudah 30 tahun. Mana ada pria VOC yang mau mengawini gadis cacat bermata juling dan tangan bengkok sepertiku?

Ayah dan ibu seharusnya tahu dari dulu, perkawinan sedarah mereka tak boleh terjadi…. Ibu yang selalu cemas pada apa pun, tak menemukan lelaki lain yang bisa dipercaya sebagai pendamping hidup, selain dari keluarganya sendiri.

***

Rumah sudah semakin sepi sejak pesta usai tadi malam. Apalagi aku juga sudah  mengusir para pembantu. Aku tergugu sendirian di kamar nyaris tidak tidur semalaman. Aku tak akan siap ditinggalkan di kota yang teramat jauh dari tanah leluhurku ini oleh keluargaku sendiri. Kecacatanku ini sama sekali bukan salahku, tetapi kedua orang tuaku yang egois itu.

Jika semua harus mati di tanah ini, maka tidak boleh ada satu pun keluargaku yang kembali ke Holland dalam keadaan hidup.

Dengan terseret-seret aku pergi ke dapur untuk mengambil pisau. Kilatnya yang tajam berkilau sengit di retinaku. Pelan-pelan, aku buka kamar ibu. Wajahnya yang tirus terlihat tidur dengan tenang. Dia bahkan masih mengenakan pakaian pemakaman.

Sambil menahan air mataku, aku berniat menghunuskan pisau itu tempat ke jantung ibu.

Tiba-tiba mata ibu terbuka perlahan. Aku dan ibu sama-sama terhenyak ketika bertatapan.

“Maria….,” Bibir ibu bergetar. “Maafkan kami. Ayahmu melakukan ini karena dia takut aku akan terbebani olehmu. Tapi satu hal yang perlu kau tahu…,”

Ibu menarik napas sambil menahan gejolak emosi, sementara napasku mulai menderu.

“Apa pun yang terjadi, ibu tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian. Kita akan menghadapi semua ini bersama-sama. Ibu hanya memilikimu di dunia ini.”

Peganganku pada pisau mulai melemah, lalu tergelincir. Tajam logam berdenting ketika menyentuh lantai tegel.

“Bagaimana dengan tiket ke Belanda?” tanyaku dengan suara gemetar karena kaget, senang, dan terpukau.

“Aku akan menawarkannya pada Bibi Adele. Aku sebenarnya sudah mengintip wasiat itu ketika ayahmu sakit.”

Ibu meraihku dalam pelukannya yang hangat. Ketika cerita ini kuakhiri sampai di sini, sebenarnya aku tak pernah benar-benar tahu segalanya tentang keluargaku. Entah mengapa, aku merasa telah menemukan kebahagiaan yang abadi. Jadi aku tak akan memaksamu melanjutkan membaca kisahku ini karena aku juga tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti selain ibu akan tetap menemaniku sampai kapan pun.

***

“Jenderal, sebenarnya apa yang terjadi?”

“Nyonya Adele, mereka dirampok dan rumahnya dibakar.”

“Siapa pelakunya?”

“Berdasarkan bukti yang kami temukan dan keterangan salah satu dari tiga pelaku yang berhasil kami tangkap, kami menyimpulkan pelakunya adalah para pribumi yang pernah menjadi pembantu di sana. Mereka bersekongkol untuk merampok harta warisan keluarga Verheien tadi malam. Tapi mereka kesal karena harta warisan itu sudah habis sehingga mereka membakar rumah itu. ”

“Bagaimana keadaan keluarga Verheijen?”

“Anak dan ibu itu meninggal berpelukan di kamar tidur.”

[i] Pesta Pemakaman

[ii] koin Belanda yang pertama kali dikeluarkan Republik Belanda pada akhir abad ke-16

[iii] Tradisi pesta pemakaman leluhur Belanda

MOCH NURFAHRUL LUKMANUL KHAKIM-Denda Pemakaman