Membahas masalah KKN (Korupsi, kolusi dan nepotisme) di negeri kita tercinta ini seakan tidak akan pernah ada habisnya. Fenomena ini seakan menjadi hal yang wajar kita temui dalam kehidupan sehari-hari, entah dalam institusi kepemerintahan maupun swasta. Dalam ranah kependidikan pun fenomena ini terliha lumrah menjelang penerimaan tahun ajaran baru. Mulai dari penggunaan “joki” ujian nasional sampai menggunakan uang pelicin untuk memuluskan jalan masuk ke sekolah atau perguruan tinggi favorit. Setidaknya “kelumrahan” inilah yang menyebabkan mata rantai KKN ini seakan tidak ada habisnya.

Jika ditelisik lebih dalam dari ranah budaya, khususnya Jawa, ada sebuah pameo khas Jawa yang berbunyi “Asok glondhong pangareng-areng pasekan cethi”. Makna tersirat dari pameo tersebut menyiratkan kebiasaan menyuap dan oportunisme terhadap kebijakan birokrasi sehingga hal tersebut menjadi hal yang lumrah. Dahulu masyarakat Jawa setidaknya tiga hal yang disediakan untuk menyuap dalam memuluskan kepentingan dalam menembus ketatnya birokrasi, yakni barang tambang, hasil pertanian atau gadis cantik. Kebiasaan ini berlanjut di ranah politis antar kerajaan, dimana menjadi hal yang lumrah jika seorang raja beristri banyak dari berbagai putri bangsawan kerajaan lain untuk memuluskan jalan ekspansi tanpa menjatuhkan darah.

Imbas dari perluasan wilayah tanpa menjatuhkan darah inilah yang akhirnya berbuntut panjang dan menjadi inspirasi negatif dalam struktur keorganisasian lembaga pemerintah maupun swasta dari masyarakat sekarang ini. Pertama, dengan adanya istri yang banyak menjadikan seorang raja memiliki banyak keturunan. Hal ini mengakibatkan seorang raja harus bisa mengakomodasi dari para keturunan raja untuk dapat dibuatkan struktur kerajaan sendiri di wilayah-wilayah kerajaan meskipun dengan secupe yang lebih kecil. Kerajaan kecil inilah yang nantinya akan menjadi sebuah kadipaten dengan rajanya yang bernama adipati. Padahal tidak jarang antar pangeran yang telah menjadi adipati disebuah wilayah saling berebut kekuasaan dengan adipati (pangeran) lainnya jika raja di pusat telah mangkat. Disinilah kolusi dan nepotisme menjadi hal yang sangat lumrah.

Kedua, lembaga keorganisasian lembaga pada hari ini terinpirasi oleh struktur kerajaan-kerajaan di masa lampau. Penginspirasian ini bukan hanya secara struktural, namun juga secara kultural dan secara semangat organisasi. Akibatnya, personal yang memiliki posisi diatas secara struktural seringkali merasa lebih penting dan bersifat menindas personal yang berada dibawahnya. Padahal jika dikaji lebih jauh, pembagian posisi dalam sebuah lembaga/organisasi harusnya mengacu pada porsi dan keefektifan pelaksaan tugas . Kausalitas dari penerapan kebiasaan ini manjadikan pola pikir masyarakat dalam memuluskan kepentingan dengan sebuah lembaga, seringkali masyarakat (si pemilik kepentingan) menyuap para person yang memiliki jabatan struktural diatas untuk memuluskan kepentingannya. Hal inilah yang sering kali tidak kita sadari mengapa pemberantasan KKN seringkali justru menimbulkan KKN yang baru.

Dalam novelnya di tetralogi Buru “Jejak langkah” melalui tokohnya, Pramoedya pernah berujar “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan”. Jargon tersebut seakan menjadi sebuah polemik jika dihadapkan dengan kondisi organisasi sekarang ini, dimana organisasi-organisasi seakan menjadi produsen koruptor-koruptor baru. Kita bisa lihat para koruptor yang kini mendekam di balik jeruji, mereka adalah orang-orang cerdas yang telah dilahirkan berbagai organisasi kampus maupun organisasi kepemudaan. Hal tidak berbeda dari lembaga sekolah maupun perguruan tinggi yang melahirkan kaum intelektual terpelajar namun juga bermental korup. Organisasi maupun sekolah menjadi dua lembaga yang seharusnya menjadi wadah sebuah pendidikan, seakan tak mampu berbuat banyak. Jika mengacu pada filosofi dan fungsi pendidikan, lembaga pendidikan dan organsasi merupakan wadah  pendidikan untuk tempat berproses untuk mengubah tingkah laku dan pola pikir. Pengadaptasian pola struktural dan semangat dari kerajaan inilah yang setidaknya menjadi salah satu penyebab sulitnya KKN diberantas.

Dalam peranannya, kita tidak dapat menafikkan peran organisasi dan lembaga pendidikan dalam menciptakan sebuah generasi dan peradaban. Jika melihat dari sejarah bangsa kita dan revolusi dari berbagai bangsa di dunia,  pemuda yang dilahirkan organisasi maupun lembaga pendidikan memiliki peran yang sangat besar.  Namun dengan berjalannya waktu, pemuda yang telah berproses dalam sebuah organisasi maupun lembaga pendidikan memiliki watak seorang kapitalis-feodal yang. Hal ini menyiratkan ada sesuatu yang salah mengenai proses dalam wadah-wadah tersebut. Sesuatu yang salah tersebut jika memang tidak boleh di-generalisir ialah penyikapan pemuda dalam menempuh keputusan yang sehat ketika menghadapi rumitnya birokrasi. Pemuda kita cenderung menempuh jalan yang instan (baca:menyuap) utuk mendapatkan kemudahan dalam menghadapi sebuah birokrasi.

Untuk memotong mata rantai KKN di negeri ini, pengadaptasian semangat dan kultur dari kerajaan inilah yang harus direformulasi. Hal ini merupakan sebuah antisipasi jangka panjang untuk menciptakan generasi yang sehat dan upaya merekonstruksi sebuah wadah pendidikan. Karena bagaimanapun, wadah pendidikan yang sehat akan menghasilkan sebuah generasi sehat dan unggul dan diharapkan menciptakan sebuah peradaban yang maju.

KKN yang tak pernah mati 2 (Fuad Ramadhan)