TAK bisa dihitung lagi, sudah berapa kali Dewi menatap senja. Menengadah ke langit jingga hingga gelap mengisap habis seluruh warnanya. Bagaimana ia mampu berdiri diam, mendongak begitu lama setiap harinya, ia tak betul-betul mengerti. Sungguh. Satu-satunya yang ia pahami hanyalah senja yang dipandangnya adalah senja yang sama. Jingga yang sama. Kendati langit yang membingkainya seringkali berbeda.
Penjelasan. Itulah yang selama ini Dewi nantikan. Alasan mengapa ia sanggup memandangi senja berjam-jam lamanya. Harapannya tak muluk-muluk. Ia hanya ingin senja menjawab ragunya. Hanya itu. Karena jika itu terjadi, beban yang menyesakkannya barangkali akan terangkat. Luka batinnya yang tak juga sembuh, akhirnya mungkin akan terobati.
“Aku tahu, kamu bahkan tidak bisa mengingat senyumku. Jadi, mustahil kamu bisa mencintaiku.”
Cukup. Aku tak mau mendengar masa itu lagi. Cukup. Dewi berkata pada hatinya. Sia-sia. Karena yang bicara saat ini bukanlah hati, melainkan memori.
“Aku menyesal pernah memaksa masuk hidupmu. Meminta kamu menyingkirkan laki-laki lain yang sudah lebih dulu menduduki hatimu. Andai aku tidak melakukannya, semua pasti takkan sekacau ini. Aku takkan terjatuh sedalam ini.” mulai tergambar jelas senyum itu. Senyum dari seorang lelaki yang pernah menjadi bagian hidupnya. Senyum yang datang padanya bersama semburat senja.
Hingga akhirnya, kenangan itu membentuk wujud sempurna. Mengurai kembali benang-benang kusut masa lalunya. Detik-detik saat ia masih muda, hijau dalam cinta. Detik-detik paling menjatuhkannya. Detik-detik saat ia masih belum mengamati senja. Seperti kini.
***
Kala itu, usia Dewi baru 20 tahun. Semester akhir perguruan tinggi. Semangatnya yang selalu menggebu, membuat kalbunya tak putus terbakar ambisi. Seusai lulus, ia berniat mengambil S2 di Irlandia. Berbekal nilai dan bakat mumpuni, ia pun mengajukan diri. Berdua dengan kekasih hatinya. Berharap seandainya mereka berdua lolos, mereka dapat berangkat ke negeri itu bersama.
Sayang sungguh disayang, rencana tak pernah sekuat yang dibicarakan. Selalu ada takdir yang mampu mematahkan. Menandaskan semua keinginan. Lalu membentuk sebuah cerita lain, yang seringkali tak sesuai dengan harapan.
Begitu usai wisuda, Dewi dipaksa menikah. Orang tua menjodohkannya dengan seorang lelaki yang tampak seperti sebayanya. Barangkali hanya satu atau dua tahun lebih tua. Di usianya, lelaki itu terbilang sukses. Dia cerdas, ramah, dan pandai bergaul. Sebagian besar keluarga menyukainya. Hanya saja ada satu yang aneh. Lelaki ini begitu mencintai senja. Seolah senja adalah wanita tercantik yang pernah dilihatnya.
“Senja adalah salah satu kenikmatan langit yang juga patut disyukuri adanya. Namun manusia seringkali mengabaikannya. Tersita dengan kesibukan di dunia.” begitu ucapnya, di beberapa saat mereka “terpaksa” kencan bersama.
Beberapa bulan setelah mereka melakukan “pendekatan”, pernikahan itu akhirnya dilaksanakan. Dengan meriah. Ijab kabul, resepsi, semua berjalan lancar. Lelaki yang menjadi suaminya tersenyum menyalami teman-teman Dewi. Menerima ucapan selamat mereka. Termasuk juga dari “kekasih” Dewi. Ya, kekasih. Karena kendati perjodohan ini ia terima –sungguh, ia memang tak bisa mengelak-, ia tak pernah memutuskan hubungan dengan pacar dahulunya. Ia bahkan rutin mengatur jadwal pertemuan mereka. Dan sepakat merahasiakan semua itu, dengan prinsip, “Cinta yang harus dijalani, bukanlah cinta karena paksaan.”.
Hari demi hari pun berlalu. Dewi tak bisa memutuskan, waktu-waktu itu berjalan menyenangkan atau pilu. Satu yang pasti ia rasakan adalah heran. Karena sejak mereka menjadi “pengantin baru”, tak sekalipun suaminya pernah menyentuhnya. Tiap kali mereka tak sengaja berpegangan, atau berdiri dalam radius terlalu dekat, mereka hanya akan saling pandang. Diam. Beku. Dan senyuman dari suaminya, selalu hadir untuk mencairkan. Sebentuk senyum sendu. Senyum yang sama seperti saat ia menghadapi senja.
Keadaan semacam itu tak pelak membuat Dewi kelabakan juga. Tidak, ia tidak merana karena belum merasakan malam pertama. Ia malah bersyukur itu belum pernah dialaminya. Rasa panik Dewi lebih cenderung karena prasangka. Jangan-jangan suamiku tahu aku masih berhubungan dengan pacar lamaku…Jangan-jangan tinggal menunggu waktu sebelum ia menceraikanku…pikirnya. Tapi rupanya, kecemasan itu tak beralasan. Karena setelah beberapa bulan berlalu, keadaan rumah mereka masih “dingin-dingin” saja. Suaminya masih rutin melontarkan senyum padanya, seperti saat baru menikah dulu.
Ketenangan itu rupanya membuat Dewi terlena. Setahun berlalu. Ia makin sering mencuri kesempatan bertemu dengan kekasihnya. Apalagi saat suaminya tak ada. Ia bisa seharian penuh menghilang dari rumah. Pulang larut dengan taksi. Jadi, saat para tetangga menanyai mengapa ia pulang malam, ia tinggal menjawab, “Menemani suamiku lembur di kantor!”
Hingga suatu hari, “kenakalan” Dewi pun terhenti. Maha Kuasa akhirnya menjatuhkan takdir padanya. Malam itu ketika ia dan kekasihnya berhenti untuk mencari taksi, mendadak mereka dikagetkan oleh suara dentuman. Sebuah truk yang mengalami pecah ban tergelincir di belakang mobil mereka. Kemudian tanpa aba-aba apapun, truk itu menghantam mereka. Membuat mobil mereka meluncur tanpa kendali, menabrak pohon, dan kemudian terbalik. Dewi hanya sempat merasakan pusing hebat, sebelum kemudian hilang kesadaran.
Saat ia terbangun, ia menemukan dirinya sudah berada di ruang serba putih. Dengan kanula bertengger di hidungnya. Dengan infus yang menancap di tangan kirinya. Dengan beberapa bagian tubuh yang tak bisa digerakkan karena terbalut gips, termasuk juga kepalanya.
“Uh, pacarku tadi…Bagaimana dia?” Dewi meracau samar. Matanya yang masih peka terhadap silau menangkap pergerakan di hadapnya.
“Dewi…Kamu sadar?!”
Terngiang suara itu. Dewi mengerjap. Memandang lelaki bertampang cemas di depannya. Ia tampak terperanjat. Namun tak mengeluarkan sebisik pun suara.
“Dewi…Kupikir kamu tidak akan kembali…” Suami Dewi berkata lagi. Suaranya bergetar. Penuh kelegaan. Diusapnya peluh di dahi dengan dasi kemejanya yang sudah berantakan. Dia bergerak. Hendak memeluk istrinya. Namun kemudian terhenti.
“Dewi…Bicaralah…Aku ingin tahu kalau kamu memang baik-baik saja…” Suami Dewi memohon. Namun Dewi tetap bisu. Memandang figur itu dengan aneh. Apakah itu tatapan kebingungan? Atau takut? Hanya Dewi yang bisa menjawabnya.
Lama tak mendapat respons, suami Dewi pun memanggil dokter. Segera setelah dokter tiba, dia menceritakan apa yang dialami istrinya. Dan setelah beberapa kali memeriksa, menginterogasi Dewi soal identitas dan keluarganya, jatuhlah putusan itu,
“Istri Anda sepertinya mengalami amnesia ringan. Ia tak bisa mengingat Anda. Ia malah ingat, suaminya adalah orang yang mengalami kecelakaan bersamanya.”
Suami Dewi pun terguncang. Mendapati dia adalah satu-satunya yang tak dapat diingat istrinya. Hatinya begitu terluka. Selama pernikahan mereka, dia memang sengaja tak pernah menyentuh Dewi. Mengetahui kalau Dewi tak pernah mencintainya. Mengerti kalau Dewi menikah dengannya karena terpaksa. Menyadari kalau diam-diam, Dewi menjalin hubungan gelap di belakangnya. Selama ini, dia mencoba bertahan. Cinta yang terlanjur dalam pada istrinya memang membuatnya mati rasa. Tak dapat merasakan rasa sakit, sebesar apa pun luka yang mendera. Yang ada hanya cinta, cinta, dan cinta. Namun…Setelah terlupakan seperti ini…Bentengnya pun runtuh. Bayangkan saja, siapa yang dapat hidup dengan orang yang menganggapmu asing?
***
“Dewi, coba lihat aku. Meski kamu tidak bisa mengingatku, bisakah kamu mengingat senyumku?”
Setelah sekian hari menghilang, akhirnya suami Dewi memberanikan diri. Bicara dengan istrinya. Memintanya untuk mengingatnya. Untuk terakhir kalinya.
“Aku tahu, kamu bahkan tidak bisa mengingat senyumku. Jadi, mustahil kamu bisa mencintaiku.” lirih suami Dewi. Menelan ludah. Matanya mulai memanas.
“Aku menyesal pernah memaksa masuk hidupmu. Meminta kamu menyingkirkan laki-laki lain yang sudah lebih dulu menduduki hatimu. Andai aku tidak melakukannya, semua pasti takkan sekacau ini. Aku takkan terjatuh sedalam ini.” sambungnya. Setitik airmata menggenang di sudut-sudut matanya. Sejenak kemudian dia terdiam. Coba kumpulkan kekuatannya yang masih tersisa. Kekuatan untuk menyudahi semua derita ini. Menyelesaikan sebuah “permainan” yang selama ini mereka jalani. Kemudian, dengan mengerahkan segala kerelaan hati, akhirnya ia memutuskan,
“Kamu boleh pergi dari hidupku, Dewi. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.”
***
Hidup memang membingungkan. Ketika dia tak menghiraukan pintamu, kau berteriak-teriak. Memohon inginmu dikabulkan. Namun setelah itu kau dapatkan, kau menyesal. Merasa bahwa itu bukanlah hal yang sesungguhnya kau butuhkan.
Setelah bertahun-tahun liku hidupnya berlalu, Dewi baru merasakannya. Hampa. Tak berwarna. Seolah ia adalah satu-satunya manusia yang tersisa di dunia. Ia menjalani hidup tanpa gairah. Tanpa minat. Ia menjalani hidup, sekedar untuk memenuhi apa yang diinginkan Tuhan. Mengarungi waktu sampai Dia benar-benar memutuskan untuk menjemput.
Memang, pada akhirnya Dewi dapat bersama kekasihnya. Menikah. Merasakan kebahagiaan “pengantin baru” sesungguhnya. Namun semua terjadi hanya sekejap. Pernikahan mereka seringkali ditimpa masalah. Masalah yang kebanyakan tidak jelas asal-usulnya. Yang jelas, mereka tak henti bertengkar. Nyaris setiap hari. Hingga akhirnya “suami”-nya menjatuhkan talak tiga. Dan berakhirlah pernikahan kedua Dewi dengan mengenaskan.
Saat ini, Dewi menghabiskan waktunya untuk berkeliling dunia. Berpindah dari satu negara ke negara lain. Mencari jawaban atas segala tanyanya. Bertanya pada senja, tentang apa yang ia alami sejak diceraikan suami pertamanya. Tentang keraguan yang menggenang di hatinya, kala teringat -ya, ingat- salah satu kata terakhir yang diutarakannya,
“Aku tahu, kamu bahkan tidak bisa mengingat senyumku. Jadi, mustahil kamu bisa mencintaiku.”
Hari ini untuk berjuta kalinya, Dewi memandang senja. Senja yang sama. Di langit negeri yang lagi-lagi berbeda. Meminta penjelasan atas keraguannya. Senja, yang sangat ia benci. Karena senja adalah saat-saat paling meremuknya. Saat dimana ia berbohong pada lelaki yang mencintainya, perihal amnesianya silam. Hingga kini, setelah waktu berlalu cukup lama, tertimbunlah di benaknya setumpuk tanya. Apakah ia menyesal telah berselingkuh dulu? Apakah ia menyesal karena berkhianat pada lelaki yang mencintainya itu? Apakah kegagalan pernikahan keduanya, diakibatkan oleh penyesalan itu? Apakah ia…
Cukup. Berhenti disitu. Ia merasa tak perlu membatinnya. Karena pertanyaan yang terakhir itu sangat menyakitkan. Pertanyaan yang paling ia ragukan jawabannya. Pertanyaan yang sebenarnya ingin ia tanyakan langsung pada lelaki yang pernah dijodohkan dengannya dulu. Andaikan lelaki itu kini belum direngkuh oleh Maha Kuasa. Pertanyaan…yang membuatnya selama ini berlari. Mengincar senja di berbagai belahan negeri. Mencari satu saja langit jingga yang tak mengingatkannya pada senyuman itu. Senyum sendu dari lelaki yang pernah ia sakiti itu. Namun sama saja…Senyum itu selalu muncul. Di belahan bumi manapun ia berada. Di langit manapun ia memandang. Senyum itu selalu ada, di seribu ufuk senja yang pernah diamatinya…