Oleh : Masbahur Roziqi

Indonesia sebagai negara demokrasi selalu berusaha untuk berembang dengan meletakkan kedaulatan rakyat berada pada tingkat paling tinggi. Konsep dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi sebuah hal yang tidak dapat ditawar lagi dalam kehidupan demokrasi. Pemilihan pemimpin dan wakil rakyat yang akan menjalankan misi penyejahteraan rakyat pun tidak luput dari konsep pengembalian kedaulatan pada rakyat. Legitimasi sebagai pejuang rakyat dalam lembaga formal menjadi pilihan utama agar proses penyejahteraan tersebut memiliki justifikasi hukum dan dapat diakui oleh dunia internasional.

Kegiatan utama dalam konteks pelegitimasian amanat memperjuangkan rakyat dapat didefinisikan dalam sebuah nama yaitu pemilu. Pemilu yang terdefinisi sebagai sebuah kegiatan praktis/implementasi dari tindakan memilih para pejuang rakyat menjadi tiang utama penegakan demokrasi kerakyatan. Berbagai wacana yang dituangkan dalam bentuk kebijakan dan selanjutnya diwujudkan dalam bentuk tindakan akan dilaksanakan dan diusahakan melalui prosedur yang pada hakikatnya juga diselenggarakan oleh sebuah komisi independen bentukan lembaga wakil rakyat. Terlihat jelas keterkaitan antara pemilu dan lembaga wakil rakyat merupakan sebuah keterkaitan formal yang telah dihasilkan melalui proses pergumulan demokrasi.

Hakikat pemilu sebagai sarana untuk memfasilitasi setiap warga negara dalam berpartisipasi dan mengajukan diri menjadi pahlawan rakyat terasa mulai mengalami kekakuan. Kekakuan ini tampak pada peran dalam menciptakan pemimpin dan wakil rakyat yang memiliki kapasitas dan kualitas pribadi mumpuni. Sarana yang awalnya mulia perlahan-lahan mulai terkontaminasi oleh tujuan sementara dan pandangan pragmatis. Lembaga formal kenegaraan pun yang menjadi tujuan akhir berlabuhnya para partisipan pemilu akan diperebutkan dengan beragam cara. Ketika legitimasi ini dapat diraih maka kekuatan hukum pun akan menjadi payung yang senantiasa melindungi pelaksana dalam lembaga formal kenegaraan tersebut.

Inti persoalan wacana pemilu formalitas adalah adanya kepentingan dan tujuan sesaat yang akan ditanamkan dalam negara demokrasi dan hukum yang bernama Indonesia ini. Kesepakatan pembentukan sebuah negara menghasilkan konsekuensi bahwa harus dibentuk perangkat negara yang akan melaksanakan peraturan di negara tersebut dalam rangka pengaturan masyarakat untuk dapat melaksanakan kehidupan secara aman, tentram, dan damai. Bila dikaitkan dengan konteks kepentingan setiap pemangku kepentingan maka unsur penetrasi terhadap lembaga formal kenegaraan niscaya akan menjadi hal yang pasti terjadi, meskipun hal tersebut ditutupi dengan beragam dalih positif kerakyatan. Pemungkiran terhadap hal ini hanya menunjukan bahwa sang pemungkir berpura-pura tidak paham atau tidak mau memahami anasir kepentingan yang telah bereksistensi dalam memperebutkan kekuasaan.

Para empunya kepentingan baik itu dalam lembaga legislatif maupun eksekutif jelas akan berupaya untuk mendapatkan kepercayaan dari para konstituennya yang ditunjukkan dengan diperolehnya status sah dalam lembaga formal kenegaraan tersebut. Kampanye atau dapat disebut pengolahan sikap untuk mengambil hati berwujud kepercayaan para konstituen merupakan hakikat pemilu formalitas yang lebih mengarah pada sikap pembelaan di depan para konstituen. Sebuah sikap ambigu bila ada para partisipan pemilu yang mengatakan bahwa dirinya tidak dipengaruhi kepentingan karena sistem di negara Indonesia sendiri mengharuskan para eksekutif dan legislatif memiliki kendaraan untuk mendapatkan tempat sebagai pelaksana dalam lembaga kenegaraan. Dualisme sikap inilah yang akan menyebabkan pemilu dapat dinamakan pemilu formalitas yang hanya akan menjadi sarana formal proses demokrasi tanpa nilai keberpihakan pada rakyat di dalamnya. Mulai dari awal berdirinya, perjalanan pemilu di negara ini memang tidak terlepas dari segala politik kepentingan, karena kendaraan politik yang menjadi satu-satunya partikel yang sah dalam merengkuh kekuasaan sangat kentara akan memperjuangkan nilai dan kebijakan yang diusungnya, sehingga sikap resistensi terhadap adanya kepentingan hanya akan menjadikan orang yang menentang tersingkir dari persaingan perebutan legitimasi publik. Hal ironis yang pastinya tidak akan dapat dihindari bagi setiap personal yang ingin menjadi pejuang rakyat melalui lembaga formal kenegaraan.

Kuatnya eksistensi kepentingan dalam memenangkan pemilu tidak akan dapat dihilangkan atau ditiadakan. Alternatif yang dapat dilakukan ialah mengikuti alur kendaraan politik dan merangkul setiap personal di dalamnya untuk bersama melaksanakan sikap yang mencerminkan kemauan rakyat. Secara teori memang hal tersebut sangat indah diwacanakan, namun karena realita atau kondisi praktis memungkinkan anasir kepentingan dapat eksis, maka tidak ada jalan lain bahwa pembentukan figur pribadi haruslah kuat dan positif. Melalui pembentukan figure yang kuat dan dikenal rakyat karena jejak rekam kehidupannya yang memang benar-benar diwujudkan untuk menyejahterakan rakyat, setidaknya akan tercipta persepsi bahwa masih ada orang yang dapat menetralisir kepentingan agar tidak masuk terlalu jauh dalam penyelenggaraan negara. Akhirnya, pemilu formalitas yang terkesan hanya menyajikan sebuah kepura-puraan publik dapat diminimalkan atau bahkan dapat menjadi sebuah pemilu susbstansial yang lebih menghargai proses demokrasi sebagai harapan rakyat terhadap pejuang hidupnya.

Penulis adalah staf bidang kesejahteraan HMJ Bimbingan Konseling dan Psikologi Universitas Negeri Malang