Judul Buku  : Menggugat Pendidikan Indonesia;

Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara

Penulis           : Moh. Yamin

Penerbit         : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta

Cetakan I       : Januari 2009

Tebal              : 300 Halaman

Peresensi        : Abdul Halim Fathani

Manusia sempurna sebagaimana yang diidealisasikan sebagai titik puncak pendidikan nasional dalam upaya reaktualisasi hakikat kemanusiaan dan manifestasinya dalam sistem dan struktur sosial perlu adanya penguatan kembali (revitalisasi). Hal ini seiring dengan konteks zamannya di mana pendidikan hingga sekarang masih diyakini sebagai aspek terpenting dalam kehidupan bangsa untuk dijadikan strategi dalam mengangkat derajat masyarakat Indonesia melalui pemberdayaan SDM yang ada. (Rembangy, 2008:vii). Secara nasional, pendidikan harus mempunyai arti positif bagi bangsa. Arti positif pendidikan adalah harapan bersama bangsa Indonesia, bahkan merupakan kesepakatan hukum yang ditetapkan berdasarkan undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tidak dapat dipungkiri lagi pendidikan merupakan kebutuhan setiap insan sepanjang hayatnya. Setiap manusia membutuhkan pendidikan tanpa mengenal batas waktu dan tempat. Saking pentingnya arti pendidikan karena tanpa pendidikan, manusia tidak akan pernah berkembang, dan tidak dapat bersaing yang pada akhirnya tidak mustahil akan menjadi terbelakang. Untuk itu, dunia pendidikan saat ini diharapkan dapat menciptakan keunggulan yang kompetitif di berbagai bidang.

Kenyataannya, sampai saat ini, pendidikan di Indonesia dinilai masih belum berhasil (baca: gagal) untuk mewujudkan kepentingannya, memanusiakan manusia. Selain gagal melaksanakan proses transfer pengetahuan (transfer of knowledge), sistem pendidikan di Indonesia juga gagal membentuk watak peserta didiknya. Krisis multidimensional akibat dari gagalnya tujuan pendidikan nasional, di antaranya masalah keterbatasan lapangan kerja, pengangguran, lulusan pendidikan yang kurang terampil, dan masalah moral.

Berdasarkan laporan bidang pendidikan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) yang dirilis November 2008, Indonesia menduduki peringkat 71 dari 129 negara. Laporan bertajuk “Education for All (EFA) Global Monitoring Report” itu, antara lain menyoroti pendidikan dasar dan kesempatan bagi anak perempuan untuk menikmati pendidikan. Laporan itu sungguh tidak menggembirakan karena pada 2007, Indonesia menduduki peringkat 62 dari 130 negara, dan pada 2006 justru bertengger di tangga 58. Artinya, selama tiga tahun terakhir pendidikan Indonesia terus terpuruk. (Wim Tangkilisan, 2008).

Menurut Driyakarya dalam Setiawan (2008:84) pendidikan adalah pilar kemandirian bangsa. Artinya, pendidikan adalah solusi tepat menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di tanah air.  Malik Fadjar (2005:103) berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan wahana ampuh untuk membawa bangsa dan negara menjadi maju dan terpandang dalam pergaulan bangsa-bangsa dan dunia internasional. John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000 mengatakan, “Tepi Asia Pasifik telah memperlihatkan, Negara miskin pun bangkit, tanpa sumber daya alam melimpah asalkan negara melakukan investasinya yang cukup dalam hal sumber daya manusia”.

Kehadiran buku ini dapat memberikan tawaran solusi pelbagai problem pendidikan. Buku ini dibagi dalam empat bagian, pertama, mendefinisikan ulang pendidikan, meliputi politik pendidikan, relasi dan pengaruhnya terhadap pembentukan karakter bangsa. Kedua, membincang realitas pendidikan, mulai dari orde lama, orde baru, hingga orde transisi-reformasi. Ketiga, Penulis mengurai konsep pendidikan menurut Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara.

Freire dalam konsep pendidikan yang diperjuangkannya adalah pendidikan mampu memberikan warna dan arah baru perubahan struktur berpikir masyarakat dari masyarakat yang berpikiran magis dan naif menuju masyarakat yang berpikiran kritis (hlm. 148). Pendidikan tidak lain adalah proses memanusiakan manusia kembali setelah mereka mendapat penindasan, hegemoni, maupun kepentingan-kepentingan politis tertentu yang menyebabkan masyarakat terasing dari realitas lingkungan tempat mereka tinggal dan berinteraksi (hlm. 161).

Sementara, Ki Hajar Dewantara berpendapat pendidikan merupakan tonggak berdirinya sebuah bangsa yang besar, berdaulat, berharkat, dan bermartabat. Pendidikan bertujuan menanamkan nilai-nilai hidup rukun dan damai di antara semua elemen bangsa, tanpa memandang kelas apapun. Yang jelas, pendidikan merupakan bagian dari sebuah alat perdamaian menuju bangsa yang sehat lahir dan batin (hlm. 172).

Di bagian akhir, penulis menawarkan pelbagai upaya penyelematan pendidikan, di antaranya meliputi penataan ulang konsep pendidikan, meletakkan kembali pilar pendidikan yang humanis, dan reorientasi tujuan pendidikan nasional dalam rangka membangun Indonesia menjadi bangsa yang berkualitas, mandiri, beradab, dan berdaya saing tinggi.

Buku ini penting untuk dijadikan rujukan bagi pemerintah, pihak pengambil kebijakan, mahasiswa, dosen, dan siapa pun yang concern dunia pendidikan. Pelbagai tawaran solusi dapat dicoba-terapkan demi menyelamatkan pendidikan Indonesia, menuju bangsa yang bermartabat dan berkualitas unggul. []

*) Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang

Program Studi Pendidikan Matematika.