Judul        : Emak Ingin Naik Haji
Penulis        : Asma Nadia
Penerbit         : Asma Nadia Publishing House
Tebal        : 192 Halaman
Cetakan I        : Agustus 2009
Peresensi        : R. Julian

Keberadaan sastra koran (cerpen) di Indonesia sejatinya bertujuan untuk menjembatani jurang antara karya sastra dan masyarakat. Dengan adanya ruang bagi karya sastra, diharapkan agar karya sastra dapat “memasyarakat”. Namun, cita-cita itu rupanya menjadi sebuah mimpi yang tak terkabulkan. Justru, kini model-model cerpen yang terpampang di wajah koran hanya dapat dinikmati dan menjadi bahan pertarungan segelintir orang, yakni orang-orang yang berkecimpung dalam dunia sastra. Pasalnya, model-model cerpen yang tidak biasa (absurd, surealis, realisme magis, dll.) tentu tidak akan dimengerti oleh para pembaca awam. Oleh karena itu, inilah kegagalan tujuan sastra yang memiliki harapan primordial agar sastra dicintai masyarakat. (Bandel, 2006)
Sebuah komunitas penulis, Forum Lingkar Pena (FLP) yang anggotanya tersebar di seluruh Indonesia dan manca negara menyugukan corak sastra lain yang bertujuan mengabdi dan berarti bagi masyarakat. Corak-corak sastra semacam ini dikemas dalam bentuk ringan dan realis hingga masyarakat luas dapat menangkap isinya. Salah satu penulis dan pendiri FLP, Asma Nadia tidak lama ini menerbitkan kumpulan cerpennya, Emak Ingin Naik Haji yang secara keseluruhan isi kumpulan cerpen ini merupakan fenomena yang mudah kita jumpai dalam masyarakat Indonesia.
Cerpen “Emak Ingin Naik Haji” dalam kumpulan cerpen ini mengisahkan tentang seorang anak (Zein) yang berusaha memenuhi harapan emaknya yang ingin naik haji, namun kenyataannya ia masih belum dapat memenuhi harapan emaknya. Sedangkan tetangganya, seorang haji yang kaya raya begitu mudahnya naik haji, karena hampir setiap tahun dapat menjalankan ibadah haji. Kenyataan ini dirasa tidak adil bagi Zein yang emaknya sangat mengharapkan (satu kali saja) naik haji, hingga pernah berkelebat dalam pikirannya untuk melakukan tindakan yang tidak halal agar ia dapat memenuhi harapan emaknya untuk pergi ke tanah suci. Di sisi lain, seorang politikus akan menunaikan haji bukan karena niat menunaikan panggilan Ilahi, tetapi hanya untuk menarik simpati dari masyarakat—yang mayoritas melihat sosok pemimpin dari religiusitas formal—agar dirinya terpilih pada pemilu yang akan datang.
Membaca cerpen ini, kita tidak perlu menguras pikiran kita untuk memahami isinya. Sekali lagi mata kita dibuka untuk melihat ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat kita. Di satu sisi, ada sekelompok masyarakat (termasuk sosok emak) yang ingin menunaikan ibadah haji hingga mereka berusaha mati-matian agar keinginannya terwujud (bahkan banyak yang tidak terwujud). Di sisi lain, ada sekelompok masyarakat (diwakili oleh tokoh juragan haji dan politikus) dengan mudahnya wara-wiri tanah air-tanah suci. Dari sinilah dapat kita simpulkan bahwa dalam masyarakat kita, ternyata ibadah haji lebih dominan menjadi fenomena ekonomi daripada menjadi fenomena ritual keagamaan (Abdalla, 2006). Yang mampu secara ekonomi dapat menunaikan ibadah haji, sedangkan mereka yang kurang harta hanya bisa berangan-angan bagaimana seandainya mereka bertawaf mengelilingi bangunan berbentuk kubus itu.
Selain isi cerita yang syarat akan nilai dan pesan moral, hal menarik lain yang kita dapatkan dalam cerpen “Emak Ingin Naik Haji” adalah teknik penceritaan Asma Nadia yang tidak biasa. Teknik penceritaan yang membagi alur cerita menjadi tiga segmen jarang kita temui dalam karya sastra cerpen. Teknik penceritaan demikian mengingatkan kita pada novel Rafilus karya Budi Darma  yang terbagi dalam beberapa alur yang kelihatannya tidak ada hubungannya antara tokoh dalam alur satu dan tokoh pada alur yang lain, namun pada akhir cerita, semua tokoh akan bertemu dalam satu titik penyelesaian. Begitu pula dalam cerpen “Emak Ingin Naik Haji” yang terbagi ke dalam tiga alur cerita. Alur pertama mengisahkan Zein dan Emaknya (sebagai tokoh utama), alur kedua memaparkan kehidupan keluarga juragan haji, dan alur ketiga menceritakan seorang politikus dan sekretaris cantiknya. Seolah-olah tokoh-tokoh dalam ketiga alur ini tidak berhubungan, tetapi pada akhir cerita mereka dipertemukan dalam ending yang tragis (Zein). Teknik penceritaan cerpen yang demikian juga mengingatkan kita pada sinetron-sinetron dalam negeri kita yang multialur. Selain itu, kelebihan cerpen ini juga dapat kita lihat dalam penyampaian ceritanya yang menggunakan teknik arus kesadaran (stream of counciousness)  hingga terjadi lompatan yang ekstrem dalam rangkaian alurnya. Bagian yang seharusnya menjadi ending dalam cerpen ini dijungkirbalikkan penulisnya ke bagian pembuka cerita.
Cerpen-cerpen lain dalam kumpulan cerpen Emak Ingin Naik Haji juga berbicara tentang wajah masyarakat kita. Rumah tangga yang mengalami banyak prahara (seperti dalam cerpen “Jadilah Istriku”, “Sepuluh Juta Rupiah”, dan Cinta Laki-laki Biasa”), cobaan yang dialami anggota keluarga (dalam cerpen “Koran”, “Cut Rani”, “Jendela Rara”, “Laki-laki yang Menyisir Rindu”, “Bulan Kertas”, dan “Air Mata Bireuen”). Kumpulan cerita ini juga menyuguhkan cerita cinta yang tidak biasa (dalam cerpen “Cinta Begitu Senja” dan “Cinta Laki-laki Biasa”). Akhirnya, dalam kumpulan cerpen Emak Ingin Naik Haji, Asma Nadia menyajikan sebuah potret wajah Indonesia dalam satu album dengan beragam foto di dalamnya.
Kumpulan cerpen Emak Ingin Naik Haji menyelipkan pesan-pesan moral yang membuat kita sadar bahwa tokoh-tokohnya ada di sekitar kita. Konflik pribadi (bukan kolektif) yang melatari hampir seluruh cerpen dalam kumpulan cerpen ini membentangkan panorama fenomena pada masing-masing individu dalam masyarakat kita hingga buku ini cocok dibaca dan direnungkan oleh mereka yang merasa peduli terhadap kondisi bangsa kita. Selamat membaca dan telusuri hikmah di dalamnya.

? Peresensi giat di Forum Lingkar Pena (FLP) Universitas Negeri Malang