ilustrasi

Oleh Aulia Luqman Aziz

Bahasa Inggris di Indonesia hanya berposisi sebagai bahasa asing yang tidak digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Namun, posisi bahasa tersebut dalam dunia kerja sudah tidak terelakkan. Belakangan ini, para penyedia lapangan kerja lebih mengutamakan orang-orang baru yang menguasai Bahasa Inggris daripada yang tidak menguasai.

Meski bukan alasan utama, penulis yakin bahwa pengajaran Bahasa Inggris di UM pun mengacu pada fakta ini, sebab UM ingin lulusannya tidak hanya mahir sesuai kompetensi dasar jurusan masing-masing, tapi juga mahir berbahasa Inggris agar peluang dilirik dunia kerja semakin besar. Oleh karena itu, setiap memasuki tahun ajaran baru, UM merasa perlu mengetahui sejauh mana kemampuan berbahasa Inggris anak didiknya yang telah mereka dapatkan sejak masa SD hingga SMA dengan cara menyelenggarakan ujian kemampuan bahasa Inggris (TOEFL).
Dari kacamata penulis, sebenarnya agenda wajib bagi mahasiswa baru (maba) ini bukan hal yang perlu dan urgen dilakukan. Secara umum, penulis menyimpulkan bahwa sebagian besar pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia, mulai dari tingkat SD hingga SMA masih kurang memadai dari segi kualitas. Ini bisa dilihat dari keluaran yang dihasilkan dari tingkat pendidikan sebelumnya. Misalnya, sebagian pelajar SMA yang pernah penulis bimbing ternyata belum mampu mengikuti kurikulum pendidikan Bahasa Inggris SMA yang dibebankan kepada mereka. Artinya, masih ada yang kurang ketika mereka berada di tingkat pendidikan SD atau SMP.
Lalu, maba UM yang pernah mengikuti kelas kuliah penulis (sebagai asisten dosen) kebanyakan berasal dari luar kota Malang, yakni dari beberapa kota/kabupaten kecil di Jawa Timur. Meskipun beberapa di antaranya bagus, kualitas pendidikan Bahasa Inggris di kota-kota tersebut masih di bawah kualitas pendidikan kota Malang sehingga keluaran yang dihasilkan (tercermin dari diri  maba) ini masih sangat kurang. Dengan melihat fakta-fakta ini patut dipertanyakan, apa yang UM harapkan dari maba dengan memberi mereka ujian Bahasa Inggris tersebut? Masih perlukah diadakan tes TOEFL?
Yang penulis nilai penting saat ini adalah mengetahui sejauh mana kemampuan  maba dalam menggunakan Bahasa Indonesia. Mengapa? Perkuliahan (kecuali di beberapa jurusan termasuk jurusan penulis) diselenggarakan dalam Bahasa Indonesia. Dosen menyampaikan materi perkuliahan dalam Bahasa Indonesia. Mahasiswa bertanya, berdiskusi, dan presentasi dalam Bahasa Indonesia. Mahasiswa mengadakan rapat organisasi, berurusan dengan kepala jurusan, menghadap rektor, semuanya menggunakan Bahasa Indonesia. Sangat jelas bahwa Bahasa Indonesia sangat penting peranannya dalam seluruh kegiatan yang dilakukan segenap “awak kapal” UM, baik akademis maupun non-akademis.
Apa yang terjadi jika seorang mahasiswa UM sebagai cerminan kelompok masyarakat berpendidikan tinggi ternyata memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang pas-pasan? Dia tidak bisa membedakan kapan menggunakan bahasa informal yang gaul dan bahasa formal yang santun, khususnya jika berurusan dengan dosen dan pejabat kampus. Dia tidak memahami tata Bahasa Indonesia sehingga kalimat-kalimat dalam tugas artikel, karya ilmiah, atau skripsinya tidak karuan dan sulit dipahami. Ini bukan hanya sekedar khayalan penulis belaka. Penulis sering menemukan hal-hal semacam ini. Sebagai alumni UM, tentu saja penulis tidak rela jika suatu saat ada pihak luar yang sedang mencari referensi dari karya-karya ilmiah hasil tulisan mahasiswa UM, lalu menyadari ada kesalahan-kesalahan dalam susunan bahasanyas sehingga membingungkan pembacanya dan membanding-bandingkannya dengan karya ilmiah mahasiswa universitas lain yang lebih enak dibaca dan mudah dipahami dari segi kebahasaannya. Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang kita kehendaki, bukan?
Lalu bagaimana cara mengetahui kemampuan Bahasa Indonesia mereka? Di sinilah letak gagasan utama penulis: Hapus agenda penyelenggaraan TOEFL dan ganti dengan Ujian Kemampuan Berbahasa Indonesia (UKBI). Banyak dari kita yang belum mengetahui bahwa bahasa identitas bangsa kita pun memiliki tes terstandarisasi layaknya TOEFL di dalam Bahasa Inggris. Dengan memberikan tes UKBI kepada maba, UM dapat mengetahui tingkat kemahiran Bahasa Indonesia yang menjadi modal mahapenting bagi maba dalam menempuh studi mereka.
Tindak lanjut dari hasil UKBI tersebut ialah semua dosen pengajar dapat berperan aktif meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswanya. Misalnya, jika ada tata bahasa yang kacau dalam karya ilmiah dan presentasi, dosen dapat menyisihkan sedikit waktu untuk memerbaiki kesalahan mahasiswanya. Tidak hanya itu, sebagai “orang tua murid di sekolah”, dosen juga dapat memberikan tips-tips bagaimana berbahasa yang baik dan santun apabila berhadapan dengan orang yang lebih tua/dihormati. Tindakan ini sangat bermanfaat untuk melatih kepekaan berbahasa mahasiswa yang nantinya harus siap berhadapan dengan segala jenis kepribadian manusia yang menuntut cara perlakuan yang berbeda-beda, tidak hanya dengan teman sebayanya saja. Jadi, daripada membebani maba dengan TOEFL dan UKBI sekaligus, sebaiknya uji kemampuan yang sifatnya lebih penting didahulukan.

Penulis adalah alumni Sastra Inggris UM dan Duta Bahasa Jawa Timur 2009