Oleh Ali Imron

Salam hangat para pembaca Komunikasi. Salam satu jiwa. Kali ini, salam redaksi ingin mengusik sedikit kesadaran kita tentang betapa krusialnya masa depan anak cucu kita. Betapa krusialnya penguatan nilai-nilai luhur yang belum berideologi bangsa di tengah-tengah haru besar pengikisan dan pendangkalan nilai-nilai ideologi. Betapa krusialnya pendidikan karakter demi survival kita sebagai suatu bangsa.


Reformasi yang telah bergulir berhasil merobohkan hegemoni kekuasaan otoritarian. Namun, di sisi lain sekaligus mengukuhkan hegemoni kebebasan yang juga cenderung otoritarian. Karakter bangsa kita yang santun dan subtile nyaris diporakporandakan oleh kebebasan yang tak terkendali. Dampaknya? Di antaranya, banyak ragam kekerasan yang menyembul, mulai yang bersifat fisik maupun simbolik.
Yang jadi persoalan kemudian, bagaimana jika aneka ragam kekerasan, baik yang fisik maupun simbolik itu malah dipandang sebagai suatu keniscayaan? Pertanyaan menukik ini harus diajukan karena nyaris setiap detik, anak-anak kita disuguhi tontonan kekerasan dari segala penjuru, dari realitas keseharian, media cetak, elektronik, dan bahkan multimedia. Secara sosiologis,  kekerasan itu akan menjadi keniscayaan jika secara terus menerus dibentuk   secara sistematis lewat sebuah realitas.
Maka, pendidikan karakter yang oleh Bung Karno diberi label  nation and character building menemukan relevansinya kembali. Nilai-nilai luhur bangsa yang di era reformasi ini nyaris terkikis oleh hegemoni kebebasan sepatutnya kita gali kembali untuk direaktualisasi agar makin relevan dengan konteks kekinian dan diinternalisasi agar dapatmembentengi anak cucu kita dari “monster besar” kekerasan.
Ketika kekerasan fisik dan simbolik diluncurkan dengan kata-kata indah, ketika pengikisan karakter dan nilai-nilai ideologi bangsa diluncurkan dengan retorika menghipnotis, ketika kebebasan tak terkendali disuarakan dengan semangat-semangat sorgawi, ketika semua ragam kekerasan telah dikemas menjadi tontonan yang menarik, maka intervensi dan habituasi karakter yang dinternalisasikan sekadar lewat doktrin-doktrin menjadi tidak menarik lagi. Oleh karena itu, dibutuhkan model-model internalisasi nilai, intervensi, dan habituasi karakter yang tak kalah menarik dibandingkan internalisasi, intervensi, dan habituasi kekerasan. Dibutuhkan model-model cuci otak (bahkan cuci rasa dan hati) yang mampu menandingi arus besar pengikisan ideologi bangsa.
Lagi-lagi, apa yang dapat kita perbuat ketika kulturisasi dan habituasi kekerasan didukung oleh arus besar modal kaum kapitalis dan mainstream   pemirsa media yang sudah larut dalam orgasme “hiburan kekerasan”? Tak ada pilihan lain kecuali bersinergi membangun kreasi yang mengerucut pada pencegahan pengikisan ideologi bangsa ini.
Intervensi dan habituasi karakter  yang mengerucut pada pengukuhan nilai-nilai dan ideologi bangsa–memang–harus terus-menerus selalu kreatif. Ilmu kependidikan yang sudah lama menjadi corak kita punya peran strategis untuk itu. Semoga ilmu kependidikan kita yang telah lama menjadi corak masih ada sedikit (syukur jika banyak) kepedulian terhadap persoalan karakter yamg sangat krusial untuk anak cucu kita di masa depan.

Penulis adalah anggota penyunting majalah Komunikasi sekaligus dosen FIP UM