Pendidikan adalah sebuah usaha vital yang akan menentukan arah kemajuan suatu bangsa. Namun, pendidikan juga merupakan sebuah proses yang tidak dapat dinikmati hasilnya secara langsung tetapi memerlukan waktu untuk dapat mengetahui keberhasilannya. Karenanya, diperlukan usaha-usaha dan penerapan sistem yang cermat agar dapat menampakkan hasil yang memuaskan. Pendidikan juga bukan  sekedar usaha untuk mencerdaskan anak bangsa di bidang akademik, melainkan harus dapat membentuk kepribadian peserta didik sehingga menjadi generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Suatu bangsa akan menjadi besar jika generasinya memiliki karakter yang baik dan pembentukan karakter ini hanya akan terjadi melalui proses pendidikan.


Menyadari hal tersebut, Universitas Negeri Malang (UM) menggiatkan pembangunan karakter dalam proses pendidikan. Dengan pendidikan berbasis pembangunan karakter ini, UM berharap akan mampu mencetak insan-insan berkualitas baik dari segi moral, akademis, dan sosial.
Pendidikan karakter yang diterapkan UM ini bukan dilaksanakan tanpa dasar. Sebagaimana dikutip Komunikasi dalam website dikti, Wamendiknas, Prof. Dr. Fasli Jalal, Ph.D secara jelas mengungkapkan arti penting pendidikan karakter bagi bangsa dan Negara. Beliau juga menjelaskan bahwa pendidikan karakter sangat erat dan dilatarbelakangi oleh keinginan mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.”
Dalam ulasannya, Fasli Jalal juga memaparkan bahwa kini pendidikan karakter menjadi isu utama pendidikan. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini juga diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam menyukseskan Indonesia Emas 2025.
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang yang baik sehingga mahasiswa  menjadi paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik.
Faktor pembeda ini timbul karena moral dan karakter adalah dua hal yang berbeda. Moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik atau buruk, sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung di-drive oleh otak. Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral selama ini. Karena itulah terminologi yang ramai dibicarakan sekarang ini adalah pendidikan karakter (character education), bukan pendidikan moral (moral education) meskipun secara substansial keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.
“Pendidikan selama ini berangkat dari asumsi yang keliru, yaitu bahwa semua problem di dunia ini telah diketahui dan guru mengetahui cara pemecahannya.  Jadi, tugas guru dipersepsikan hanya menyampaikan problem dan cara pemecahannya. Setelah itu, pendidikan dianggap selesai.” ulas Fasli Djalal.
Kini, persoalannya adalah bagaimana hubungan antara pedidikan karakter dengan mata pelajaran?   Keduanya tetap diperlukan dan harus saling melengkapi.  Dalam pengembangan pendidikan karakter, seharusnya mata pelajaran dipahami sebagai alat dan pesan  (as medium and message), yaitu sebagai wahana pembudayaan dan pemberdayaan individu.  Misalnya guru Fisika harus sadar bahwa pembahasan materi Fisika diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami fenomena alam dari sudut pandang teori Fisika, menggali berbagai sumber informasi dan menganalisisnya untuk menyempurnakan pemahaman tersebut, mengomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain, serta memahami bahwa fenomena seperti itu tidak lepas dari peran Sang Pencipta.
Hal tersebutlah yang  menjadi salah satu landasan untuk mengembangkan pendidikan yang berbasis pembangunan karakter (character building). Sebagaimana diungkapkan oleh Rektor UM, Prof. Dr. H. Suparno bahwa pada dasarnya pendidikan dilaksanakan untuk membentuk insan yang berkarakter. Karenanya, pendidikan harus didasarkan pada norma yang berlaku, yaitu mencakup baik aspek religius maupun aspek kebangsaan yang berhubungan dengan landasan bangsa dalam kehidupan yang multietnis.

“Pendidikan nasional harus diupayakan untuk membentuk karakter. Karakter multietnis tidak lepas dari karakter yang supradialektal/suprakultural yang mencerminkan karakter masing-masing, yaitu karakter bangsa yang mengakomodasi representasi warna-warna tersebut. Maka kita harus menggalinya dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Pancasila,” ulas Pak Parno.
Selain itu, Pak Parno juga menjelaskan bahwa secara garis besar terdapat beberapa program yang harus dijalankan untuk melaksanakan pendidikan berbasis pembangunan karakter. “Program tersebut antara lain adalah untuk membentuk manusia yang terpelajar dengan karakter yang kuat dan berkepribadian kokoh dalam pengembangan serta pengamalan, pengabdian, pemberdayaan ilmu dalam kemaslahatan. Wujud nyata hal itu diharapkan dapat terealisasi dengan mencetak alumni yang mampu menjadi pioner dalam pengembangan masyarakat, sehingga alumni UM bukan hanya sekedar alumni yang mencari pekerjaan, tapi juga alumni yang mampu menciptakan lapangan kerja. “Melalui program UM sebagai The Learning University yang diwujudkan dalam kinerja kelembagaan, diharapkan mahasiswa UM  dapat mengembangkan potensi dengan memanfaatkan fasilitas UM secara optimal hingga akhirnya mampu menerapkannya di masyarakat.” ulas mantan dekan Fakultas Sastra tersebut
Selain untuk mencetak alumni yang berkualitas, pendidikan berbasis pembangunan karakter juga memiliki program dalam pengembangan pembelajaran. Pembelajaran dalam artian ini menyangkut dua aspek, yaitu belajar dan membelajarkan. Dengan demikian, diharapkan setiap orang yang memiliki ikatan dengan UM, khususnya mahasiswa dan alumni akan memiliki semangat untuk terus belajar tanpa henti sekaligus juga senantiasa berupaya untuk membelajarkan orang lain. Hal ini tentu akan membawa manfaat besar, karena dengan adanya semangat untuk belajar dan membelajarkan yang dibarengi dengan kepribadian agamis dan kebangsaan, maka segala potensi yang melimpah akan dapat bermanfaat. “Karenanya, sivitas akademika UM diharapkan mampu menjadi masyarakat yang produktif, kreatif, dan inovatif.” tambah Pak Parno
Untuk menunjang kesuksesan program tersebut, menurut Rektor UM, terdapat beberapa ketentuan yang harus dilakukan, antara lain adanya perencanaan atau skenario yang tepat melalui pembekalan berbasis praktek ilmu di masyarakat. Selain itu, juga terdapat syarat-syarat lain, di antarnya program yang lebih inovatif dan integrasi antara unsur intelektual, emosional, dan spiritual. Usaha yang pernah dilakukan antara lain adalah pengembangan soft skill untuk mahasiswa UM. Namun, program ini harus sejalan dengan kebutuhan praktis.
“Peran UM dalam pembangunan karakter ini antara lain diwujudkan dalam usaha UM untuk menjadi contoh yang baik. Wujud nyatanya adalah kerjasama UM dengan Gubernur Jawa Timur untuk mengembangkan Laboratorium Pancasila (Lapa) di mana UM menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk mengelolanya. Dengan demikian, UM mempunyai peluang  untuk melaksanakan model pendidikan untuk mengembangkan karakter bangsa,” tegas Pak Parno.

Perencanaan dan Implementasi Pendidikan Karakter Secara Makro
Dalam wawancara dengan Komunikasi, Rektor UM menjelaskan beberapa tahapan yang ditempuh dalam pengembangan pendidikan karakter secara makro.
Pada tahap perencanaan, UM mengembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara lain pertimbangan:
”Pertama, filosofis: agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU No. 20 Tahun 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunannya. Kedua, pertimbangan teoritis: teori tentang otak, psikologis, nilai dan moral, pendidikan (pedagogi dan andragogi), serta sosio-kultural. Ketiga, pertimbangan empiris berupa pengalaman dan praktek terbaik,  seperti SD/SMP/SMA Laboratorium,” terang Pak Parno.
”Pada tahap implementasi, UM mengembangkan pengalaman belajar  dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu mahasiswa,” tambah Pak Parno. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan, yakni dalam kampus, keluarga, dan masyarakat. Pada masing-masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman belajar yang dibangun melalui dua pendekatan, yakni intervensi dan habituasi.
”Dalam intervensi, UM mengembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur,” tegas Pak Parno.  Sementara itu,  dalam habituasi, rektor UM menjelaskan tentang perlunya menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan mahasiswa memiliki karakter di kampus, rumah, lingkungan masyarakat.  ”Membiasakan diri berperilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui proses intervensi,” imbuh Pak Parno diselingi senyum sumringah.
”Pada tahap evaluasi hasil, UM melakukan aksesmen untuk perbaikan berkelanjutan yang sengaja dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam diri mahasiswa sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik,” jelas profesor yang ahli di bidang linguistik ini.

Pendidikan Karakter dalam Perkuliahan
Pada konteks ini, rektor UM, Prof. Dr. H. Suparno, menjelaskan mengenai pengembangan karakter secara holistik. ”Kampus UM sebagai leading sector berupaya memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memerbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus-menerus proses pendidikan karakter di lingkungan kampus,” jelas profesor ramah ini yang meraih gelar S3 di Universitas Indonesia.
Dalam kegiatan perkuliahan, UM melaksanakan pengembangan nilai/karakter dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata kuliah. Khusus untuk mata kuliah Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan,  karena memang misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap, maka pengembangan nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai.  ”Untuk kedua mata kuliah tersebut, nilai/karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran dan juga dampak pengiring,” lanjut Pak Parno. Sementara itu, untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring  berkembangnya nilai/karakter dalam diri mahasiswa.
Dalam lingkungan kampus,  UM mengondisikan agar lingkungan fisik dan sosio-kultural memungkinkan para mahasiswa bersama dengan warga kampus lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di kampus yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.
Dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), UM melakukan penguatan  dalam rangka pengembangan nilai/karakter yang bersifat umum dan berlangsung di luar kegiatan perkuliahan mahasiswa.
Di lingkungan keluarga dan masyarakat, UM mengupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali, serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di kampus menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.
”Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), mencintai (loving), dan pelaksanaan (doing),” jelas Syamsul Hadi selaku praktisi pendidikan UM yang bertugas di ruang IMHERE PROGRAMME.  ”Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut,” jelas Pak Hadi, panggilan akrab beliau. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik, yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar mahasiswa dapat terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebajikan (moral).
”Pengembangan karakter di UM  adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara, serta dunia internasional,”  jelas Pak Hadi bersahaja saat ditemui di gedung A2 lantai III ruang IMHERE (8/07).

Strategi Pendidikan Karakter UM
Pendidikan karakter UM  bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh, insan kamil atau insan paripurna yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual, dan intelektual mahasiswa UM secara optimal.
”Pada dasarnya, UM sebagai The Learning University mengimplementasikan secara terpadu dengan kegiatan-kegiatan pendidikan di kampus. Berkaitan dengan hal tersebut, pendidikan karakter di UM dapat dilaksanakan melalui tiga jalur, yaitu pendidikan karakter yang terpadu dalam pembelajaran, pendidikan karakter yang terpadu dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan pendidikan karakter yang terpadu dalam kegiatan manajemen sekolah,” ulas Pak Parno.

Konfigurasi Nilai/karakter untuk Semua Satuan  Pendidikan
Secara psikologis dan sosio-kultural, pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosio-kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) serta berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosio-kultural tersebut dapat dikelompokan dalam olah hati, olah pikir, olah raga dan kinestetik, serta olah rasa dan karsa yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
Konteks pengembangan nilai/karakter  merupakan latar utama yang harus difasilitasi bersama oleh UM, Pemerintah Daerah, dan Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan demikian terjadi proses sinkronisasi antara pengembangan nilai/karakter secara psiko-pedagogis. Untuk itu Pak Parno menjelaskan bahwa UM berusaha memfasilitasi semua mahasiswanya untuk dapat mengembangkan budaya kampus.
”Pengembangan budaya kampus ini perlu menjadi bagian integral dari pengembangan sekolah sebagai entitas otonom, seperti dikonsepsikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS),” imbuh Pak Parno.  Dengan demikian, setiap satuan pendidikan dalam UM secara bertahap dan sistemik ditumbuhkembangkan menjadi komponen dinamis dan maju.

Prinsip dan Pendekatan Pengembangan Pendidikan Karakter UM
Secara prinsipil, pengembangan karakter tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam semua matakuliah, baik teori maupun praktikum, pengembangan diri mahasiswa, dan budaya kampus. Oleh karena itu, seluruh dosen UM berupaya mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam kurikulum yang sudah ada.  Prinsip pembelajaran UM yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar mahasiswa mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini, mahasiswa belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial. Berikut prinsip-prinsip yang digunakan UM sebagai The Learning University dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Pertama, berkelanjutan, mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang dimulai dari awal mahasiswa mengikuti PKPT (Pengenlan Kehidupan Perguruan Tinggi) sampai sidang wisuda.
Kedua, melalui semua mata kuliah, pengembangan diri, dan budaya sekolah menyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata kuliah, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler.
Ketiga, proses pendidikan dilakukan mahasiswa secara aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan UM  dalam nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh mahasiswa, bukan dosen. Dosen menerapkan prinsip tut wuri handayani dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik.

Penilaian Hasil Belajar
Penilaian pencapaian nilai-nilai budaya dan karakter dalam UM sebagai The Learning University didasarkan pada indikator. Sebagai contoh, indikator untuk nilai jujur di suatu semester dirumuskan dengan “mengatakan dengan sesungguhnya perasaan dirinya mengenai apa yang dilihat/diamati/dipelajari/dirasakan”,  maka dosen mengamati (melalui berbagai cara) apakah yang dikatakan seorang mahasiswanya itu jujur mewakili perasaan dirinya. Perasaan yang dinyatakan itu mungkin saja memiliki gradasi dari perasaan yang tidak berbeda dengan perasaan umum teman sekelasnya sampai bahkan kepada yang bertentangan dengan perasaan umum teman sekelasnya. Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat dosen berada di kelas atau di sekolah. Model anecdotal record (catatan yang dibuat dosen ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat digunakan dosen. Selain itu, dosen dapat pula memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan atau kejadian yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menunjukkan nilai yang dimilikinya. Sebagai contoh, mahasiswa dimintakan menyatakan sikapnya terhadap upaya menolong pemalas, memberikan bantuan terhadap orang kikir, atau hal-hal lain yang bersifat bukan kontroversial sampai kepada hal yang dapat mengundang konflik pada dirinya.
Ke depannya, pendidikan karakter ini sangat penting dalam membentuk akhlak dan paradigma masyarakat Indonesia. Semoga pendidikan karakter ini tidak hanya menjadi proses pencarian watak bangsa saja, melainkan sebagai corong utama titik balik kesuksesan peradaban bangsa. Ang/Ris