Oleh F. X. Domini B. B. Hera

Judul di atas terinspirasi hasil perenungan Sastrawan terkemuka Indonesia, Taufik Ismail yang merefleksikan minimnya budaya baca dan tulis di Indonesia. Penyakit tersebut menyeruak hebat dengan data UNESCO pada tahun 1972 yang mengindikasikan bahwa di Indonesia terjadi wabah “kelaparan buku”. Alhasil, krisis penulis beserta karya-karyanya terjadi. Pada saat itulah, Taufik Ismail, pasca-Manikebu (Manifesto Kebudayaan) versus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berselisih dan melahirkan gerakan “Sastrawan Masuk Sekolah” yang didukung dengan penerbitan majalah Horison bagi siswa-siswi di tingkat SMP dan SMA. Untuk tingkat Malang, sastrawan yang melakukan kegiatan serupa ialah penulis ternama, Ratna Indraswari Ibrahim. Menurut Pramoedya Ananta Toer, Manusia boleh pintar setinggi langit, tapi jika ia tidak bisa menulis, maka ia akan hilang dari sejarah. Tampaknya Pram begitu memahami sejarah hingga menjadikan sejarah sebagai latar dari sekian banyak novel-novelnya. Sejarah sendiri ialah suatu periodesasi yang dapat diklasifikasikan kala manusia dapat meninggalkan tulisan sebagai warisan. Berbeda dengan prasejarah di mana manusia belum mengenal aksara.
Dewasa ini, menulis belum dipandang sebagai suatu kebutuhan mutlak, termasuk bagi mahasiswa. Padahal, senjata mahasiswa ialah pena dan secarik kertas. Senada dengan perkataan Napoleon Bonaparte bahwa lebih tajam pena dibandingkan pedang. Harus diakui, generasi mahasiswa Onghokham dan Soe Hok Gie semakin sulit dicari. Generasi yang senantiasa menuangkan ide dan ekspresi dirinya melalui tulisan. Teringat akan romantisme masa lalu bahwa founding fathers kita menggunakan tulisan sebagai media berpolemik hingga berperang wacana (dialektika). Semisal, polemik perbedaan pemikiran diaktualisasikan melalui tulisan antara Soekarno dan Haji Agus Salim dan artikel kontroversial yang mampu membakar jenggot pemerintah kolonial kala merayakan hari kemerdekaan Belanda dari Perancis (setelah sebelumnya dijajah oleh Spanyol) yang dilancarkan oleh seorang pemuda bernama Soewardi Soerjaningrat (kelak dikenal Ki Hadjar Dewantara) dengan judul tulisan, “Als ik een Nederlanders was” (Jika Saya Seorang Belanda).
Kekritisan pemuda (baca: mahasiswa) sebagai kekuatan penggerak masyarakat sipil dapat disalurkan melalui media tulisan tanpa demonstrasi (aksi turun ke jalan) yang semakin jauh dari nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Stereotip mahasiswa dan demonstrasi yang keduanya dipandang negatif oleh masyarakat. Lihat sepintas, demonstrasi damai sekali pun tentu merugikan pengguna jalan yang lain. Apalagi demonstrasi yang berujung anarkis. Sudah saatnya demonstrasi pada era ini ditinjau ulang dari aspek efisiensi dan efektivitas pergerakan mahasiswa. Di era neo-neokolonialisme ini menurut konsep Johan Galtung,  penjajahan bersifat ke arah kultural, teknologi informasi, dan ilmu pengetahuan di mana penjajahan tipe ini semakin terlihat kabur tapi mematikan.
Solusi konkret dari involusi intelektual dalam bidang akademis dan jurnalistik kemahasiswaan ialah dimulai dengan banyaknya membaca, berdiskusi, dan berani menuangkannya dalam bentuk tulisan. Modal utama menulis ialah berpengetahuan untuk membaca. Dari sanalah inspirasi muncul secara otomatis untuk kemudian ditulis. Kini, banyaknya mahasiswa lebih berorientasi pada gaya hidup hedonisme dan mematikan jalannya kekritisan. Apakah pendapat Taufik Ismail isapan jempol belaka ataukah fakta? Penulis berharap pembaca bukan tipe mahasiswa yang menderita penyakit rabun membaca dan lumpuh menulis. Semoga.
Penulis adalah Ketua BEM FIS periode 2010/2011, Pemimpin Umum Jurnal Verstehen Ilmu-ilmu Sosial.