Cerpen Intan K.L. Asror

Pertama aku membuka mata, cantik. Aku melihat sesosok makhluk yang cantik, putih, lembut, raut parasnya terlihat halus dan mulus. Wajah manis itu tersenyum padaku. Senyumnya indah, seindah parasnya. Aku bertanya dalam hati, apakah aku sudah mati sehingga aku harus bertemu bidadari secepat ini? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus berlari sekuat tenaga, menangis, atau pasrah saja menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Hatiku serasa hancur, pilu, menyesal yang amat perih karena harus mati dengan sia-sia. Aku bersalah pada ibu. Aku tak mau menuruti kata-katanya. Ibu pasti sedih. Bercampur aduk perasaan dan pikiranku. Beginikah rasanya mati?
Aku dibopong oleh malaikat itu dan dibawa pergi menjauhi manusia-manusia yang sempat memukuli dan memasukkanku ke dalam karung mereka. Aku ingat betul waktu itu, kepalaku masih terasa sakit.
Eh, tunggu dulu, apa benar aku sudah mati? Kalau aku sudah mati, tapi kenapa aku masih bisa merasakan sakit kepala? Ibuku bilang, jika sudah mati, kita takkan merasakan apa-apa, ringan, dan melayang. Hah, aku masih bingung dengan keadaanku sekarang.
Berhari-hari aku tinggal di rumah malaikat yang kemudian aku tahu bahwa ternyata dia bukan malaikat, dia manusia biasa. Namanya Feline. Tapi aku menganggap Feline sebagai malaikat. Dia yang telah menyelamatkanku dari kejahatan para manusia penangkap hewan liar itu. Sekarang aku tahu jika ada hewan liar yang berkeliaran di jalan-jalan kota, maka akan ditangkap petugas dan dikebiri agar populasinya tidak meningkat. Untung saat itu, Feline datang menyelamatkanku. Dia mengaku bahwa aku adalah hewan peliharaannya. Sejak saat itu hidupku terlindungi. Aku aman dalam naungan keluarga Feline. Aku yang dulunya senang berburu, kini tak lagi kulakukan, bahkan aku tak tertarik lagi dengan kebiasaan melelahkan itu. Semuanya sudah tersedia. Aku tak pernah kelaparan lagi kini. Bahkan sebelum aku merasa lapar, daging segar sudah tersedia di tempat biasa. Dulu, aku yang penakut dengan air, kini terbiasa menyentuh air setiap tiga hari sekali. Badanku tak pernah kotor lagi, buluku lembut, mataku tak belekan, kupingku selalu bersih, kukuku selalu tertata rapi dipotong setiap seminggu sekali, dan badanku selalu harum. Inilah surga yang sesungguhnya. Aku tak perlu lagi mengejar-ngejar ayam hutan, kelinci, bahkan tikus-tikus selokan itu. Hidupku enak sekarang. Setiap sore Feline sering mengajakku jalan-jalan ke taman kota, bermain-main, berlari-lari, aku gembira. Aku tak perlu takut lagi dengan anjing-anjing buldog agresif yang sering berkeliaran di kompleks perumahan itu. Bahkan jika ada mobil patroli hewan liar, aku tak perlu mengambil resiko untuk bergelut dengan mereka dan karung-karung goni mereka.

* * *

Suatu hari Feline sakit. Ia masuk rumah sakit. Sudah hampir satu bulan dia di sana. Selama itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Aku sedih. Malaikatku sakit,.Malaikatku terbaring lemah berjuang untuk hidup tanpa ada aku di sisinya. Aku hanya bisa menunggu dan menunggunya pulang.
Tepat hari ke dua puluh delapan, sore itu aku mendengar suara mobil Feline. Apakah benar Feline yang ada di dalam mobil itu? Aku berlari ke halaman depan. Aku gembira sekali Feline pulang. Tapi belum sampai aku menginjak rumput, langkahku terhenti. Aku terduduk kaget di pintu teras. Aku melihat Feline duduk di kursi roda sambil menggendong seekor anak anjing lucu. Rupanya itu anjing kutub keturunan Finlandia. Tapi entahlah, yang jelas hatiku remuk, hancur mumur. Aku melihat Feline begitu riang, akrab dan mesra bersama anak anjing itu. Aku merasa keberadaanku mulai tersisih dan terlupakan.
”Lily. Namanya Lily. Mulai hari ini kau akan punya teman pus.” Kalimat pertama yang diucapkan Feline setelah selama satu bulan penuh kami tak saling jumpa. Benar-benar remuk aku saat itu. Tanpa pikir panjang aku melompat dan berlari keluar. Feline tak melihatku ketika itu. Aku terus berlari dan berlari sejauh mungkin. Aku tak ingin lagi mengingat semua hal tentang rumah itu. Aku buang ikat leher buatan Feline. Aku sakit hati. Air mataku terus mengucur. Hatiku hancur. Aku berlari menggila seperti kucing kena rabies.

* * *

Sungguh nasibku hari itu benar-benar buruk. Aku tertangkap lagi oleh petugas penangkap hewan liar karena tidak memiliki kalung identitas. Kali ini aku tak sampai pingsan karena aku tak banyak melakukan perlawanan. Aku sudah tak bisa melawan. Gigi-gigi tajamku sudah tumpul karena sudah terbiasa makan makanan siap saji dan matang. Kukuku pun tak lagi lancip dan tajam. Sekuat apa pun aku berusaha mencakar, tapi manusia-manusia itu tak terlihat kesakitan. Entah, apa karena mereka sudah terbiasa digigit dan dicakar hewan-hewan liar yang mereka tangkap sehingga cakaran kucing rumahan seperti aku ini tak dirasakannya atau memang karena instingku untuk mencakar layaknya kucing liar sudah hilang?
Aku dimasukkan ke dalam sel berukuran 60 x 60 cm. Sudah hampir dua minggu aku di sana. Tak ada kabar sama sekali dari Feline. Ia tak mencariku. Begitu mudah ia melupakanku setelah mendapatkan mainan baru. Bahkan orang-orang yang berkunjung ke tempat itu, tak ada satu pun yang berminat membeliku. Mungkin karena tingkahku di dalam sel seperti kucing kena ayan. Aku sengaja bertingkah seperti itu agar tidak ada yang memesanku untuk dijadikan hewan peliharaan mereka. Aku hanya mau menjadi peliharaan Feline. Hanya Feline yang kutunggu.
Hari semakin berlalu, tapi Feline tak kunjung mencariku. Aku semakin menggila. Aku sedih, aku sakit hati. Begitu mudahnyakah Feline melupakanku setelah selama dua tahun lebih kami hidup bersama. Gara-gara anak anjing sialan itu pasti!
Sudah hampir satu bulan aku mendekam di tempat rehabilitasi hewan itu. Aku semakin menjadi. Karena kegilaanku yang tak kunjung usai, aku dibius. Ketika aku terbangun, yang kutahu kini aku sudah mandul. Aku sudah dikebiri. Betapa hancur hidupku ketika itu.Inilah neraka. Aku berusaha melarikan diri, aku lari ke hutan, tempat di mana dulu aku pernah tinggal. Aku bersalah pada ibu. Aku ingin minta maaf padanya. Aku ingin berlutut minta ampun pada beliau. Tapi entah kenapa aku juga belum bisa melupakan Feline walau dia sudah menelantarkanku. Tapi aku masih tetap sayang padanya. Bagaimana pun juga Feline masih tetap malaikatku yang dulu.
Sebelum kembali ke hutan, aku putuskan untuk menjenguk Feline di rumahnya.Sampai di sana, yang kudapati rumah itu sekarang sepi. Tak ada lagi riuh tawa Feline bersama keluarganya. Mungkinkah ia sekarang sedang melakukan perjalanan liburan ke suatu tempat bersama keluarga dan peliharaan barunya?
”Hai kucing, apa yang kau lakukan di situ?” suara buldog mengagetkanku. Ia menghampiriku. Aku mulai ketakutan. Aku mulai mengambil ancang-ancang untuk berlari sekencang mungkin.
”Jangan takut. Aku tak akan mengganggumu lagi. Aku hanya ingin memberitahumu.”
Aku terkejut. Ternyata buldog tak sejahat yang kukira.
”Ha? Memberi tahu apa?” tanyaku heran.
”Tuan rumahmu sudah pergi. Ia pergi ke Singapura untuk berobat. Aku dengar Felinemu terserang kanker di otaknya.Mungkin ia takkan kembali lagi ke sini karena kanker itu sulit disembuhkan, bahkan kemungkinan besar dia akan mati. Tinggal menunggu waktu.”
”Apa? Tidak mungkin. Feline tidak mungkin meninggal. Feline tidak mungkin sakit.”
”Aku paham dengan kesedihanmu, Kawan.Tapi itulah kenyataannya.”
”Kapan dia berangkat?”
”Satu minggu yang lalu. Sebenarnya keadaan Feline sudah parah ketika pulang dari rumah sakit waktu itu. Tapi dia bersikeras tidak ingin dibawa ke Singapura karena ingin menungguimu pulang. Ia ingin mengajakmu, tapi kau tak kunjung datang.”
”Lalu anak anjing peliharaan barunya itu?”
”Ia dititipkan di rumah sakit hewan. Kasihan anak anjing malang itu. Feline menemukannya di selokan samping rumah sakit tempat Feline dulu dirawat. Anjing itu ditemukan tak berinduk dan ia juga diindikasikan terkena penyakit yang entah apa namanya aku tak tahu. Yang jelas itu sejenis penyakit lumpuh yang menyerang tulang mamalia. Feline dilarang orang tuanya untuk merawat anjing itu karena keadaan Feline sendiri sudah memprihatinkan.”
Aku semakin merasa bersalah mendengar cerita itu, bahkan aku tak memberikan kesempatan kepada Feline untuk menjelaskannya. Yang lebih parah, aku tak ada saat Feline berjuang mati-matian mempertahankan hidupnya. Sungguh bodoh aku ini. Aku sudah menghancurkan malaikatku sendiri. Kini aku tak mau menghancurkan malaikatku yang lain. Aku harus segera minta maaf pada ibuku. Satu-satunya malaikatku yang tersisa, malaikat yang sebenarnya.
Aku mulai melanjutkan perjalananku ke hutan. Kusebrangi sungai. Masih sama, di atas rakit nelayan berkulit hitam asal Wamena. Aku harap-harap cemas, aku takut bertemu ibu, aku malu, tapi rasa baktiku pada ibu membuatku mampu menangkal rasa takut dan malu itu. Kucari ibu di balik batang pohon tua tempat dulu kami tinggal.Tak ada. Aku duduk di samping batang pohon tua itu, lemas.
Biar kutunggu ibu pulang. Pasti sekarang ibu masih masuk hutan mencari kelinci hutan untuk makan. Ibu pasti gembira melihatku pulang. Ah, aku tak sabar bertemu ibu. Aku ingin segera menjilati wajah dan tubuhnya.
Seharian aku menunggu, tapi ibu masih belum juga terlihat pulang. Hari semakin gelap. Aku semakin khawatir. Kuputuskan untuk mencari ibu ke dalam hutan malam itu. Aku berjalan menelusuri semak dan pepohonan yang gelap.
”Ibu… Ibu… ini aku… anakmu sudah pulang Ibu….” Setiap langkah aku selalu meneriakkan nama ibu. Namun hasilnya tetap saja nihil. Hari hampir pagi, kuputuskan untuk kembali ke batang pohon tua. Siapa tahu ibu sudah ada di sana sejak semalam.
Sampai di batang pohon tua, aku sedih, aku tak juga menemukan ibu. Aku duduk lemas, berfikir sejenak di mana kira-kira ibu berada. Tiba-tiba dari arah semak belukar, terlihat sesosok kucing betina berjalan ke arahku. Aku terkejut. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku tak bisa berkata apa-apa. Leherku kering dan keras. Ibuku datang. Ibuku pulang. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari memeluknya.
”Ibu… maafkan aku Ibu… maaf….” Aku berlutut di bawahnya sembari menangis tersedu yang tak terkira.
”Diamlah anakku, tenanglah, bangunlah dulu, tatap aku.” Aku bangun dan mulai menatap matanya dalam-dalam. Mata sayu yang penuh kelembutan dan kesabaran. Itulah ibuku. Aku merasa damai ketika di dekatnya.
”Nak, aku bukan ibumu. Ibumu telah meninggal dua tahun lalu. Tiga minggu setelah kau pergi merantau ke kota. Aku bibimu. Tidak bisakah kau membedakan bau ibu dan bibimu?”

Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia dan giat di Forum Lingkar Pena (FLP) UM