Oleh Abd.Latif Bustami

Mobilitas masyarakat yang semakin dinamis berdampak pada penye­diaan infrastruktur  yang terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Ungkapan masyarakat bahwa ada sebagian masyarakat yang makan pagi di Banda Aceh, makan siang di Jakarta, bermalam di pesawat menuju Jayapura, Papua, dan sarapan pagi di pesawat menuju Jakarta lagi menjadi fenomena biasa. Sementara itu, di kalangan masyarakat, mulai ada keluhan tentang pelayanan perahu dan kapal laut dan atau transportasi darat yang belum mampu memenuhi kebutuhan mereka sehingga dalam alam bawah sadar mereka dinyatakan bahwa suatu ketika bepergian akan memilih pesawat terbang walaupun dengan harga yang relatif mahal.  Laporan tahunan Kementerian Perhubungan (2010) menguatkan pilihan transportasi masyarakat yang lebih memilih pesawat terbang terbukti bahwa setiap tahun terjadi kenaikan jumlah penumpang pesawat terbang di setiap bandara di Indonesia.
Bahkan, bukan hal yang aneh pula bila seseorang sarapan pagi di Jakarta, rapat di Singapura, melanjutkan pertemuan bisnis sambil makan siang di New Delhi, dan bertemu rekan bisnisnya di Dubai serta bermalam di sana. Besok paginya, melanjutkan penerbangan ke Doha untuk presentasi rencana bisnisnya di hadapan investor internasional dan agenda selanjutnya adalah malam hari pada hari yang sama ditunggu rekan bisnisnya yang lain di Jakarta untuk mengecek persiapan materi memorandum of understanding (nota kesepahaman) serta penandatanganan kontrak kerja. Mereka, para pelintas batas yang bepergian dari satu ke wilayah lainnya dengan prinsip ekonomis dan pragmatis. Dalam kalkulasi mereka bahwa setiap rupiah yang mereka keluarkan akan menghasilkan keuntungan atau minimal break event point. Mereka juga mengeluh ketidaknyamanan dalam perjalanan dari bandara ke lokasi pertemuan karena persoalan klasik kema­cetan lalu lintas. Keluhan mereka dinyatakan dengan jarak tempuh dari Jakarta-Singapura jauh lebih singkat daripada dari Bandara Soekarno-Hatta ke hotel Borobudur tempat dilaksanakannya kegiatan yang harus dihadi­rinya atau menuju rumah mereka di Jakarta. Boleh jadi, kota-kota internasional mulai berbenah dengan memberikan pelayanan prima bagi para pelintas batas setia dengan berbagai urusan itu dengan menyediakan semua kenyamanan di sekitar bandara sehingga mereka dapat efisien waktu dan efektif. Dampak dinamika tersebut dibutuhkan penyediaan infrastruktur dalam perencanaan tata kota yang futuristik, yang mampu melayani kebutuhan masyarakat yang dinamis. Mobilitas masyarakat yang sebelumnya ditempuh melalui laut, darat, dan transportasi penghubung wilayah laut, wilayah perbukitan, serta wilayah sekitarnya menciptakan pusat-pusat kegiatan ekonomi. Pemerintahan di wilayah-wilayah itu selanjutnya menjadi sebuh kota.
Secara historis, kota pada masa Yunani yang disebut polis merupakan sebuah republik yang dipimpin oleh dewan kota sebagaimana kota Athena. Polis itu menjadi acuan tata pemerintahan yang demokratis dan gaya hidup bagi masyarakat di sekitarnya. Eskpresi yang berbeda dari gaya hidup polis diidentikkan dengan gaya hidup yang belum beradab. Polis, selanjutnya  menjelma  megalopolis yang dihasilkan dari penyatuan dari desa-desa penyangga dan kota-kota kecil yang terpencar dari Attica. Kemudian rentang kendali pemerintahan yang terlalu luas menyebabkan lemahnya kendali dewan kota terhadap wilayah penyangga sehingga berujung pada rendahnya kualitas kehidupan masyarakat (Mumford, 1961: 205). Walaupun begitu, polis masa  Yunani berkembang menjadi acuan bagi kebudayaan Eropa yang mengindentikkan kebudayaan di luar Eropa dengan stigma peyoratif. Pandangan etnosentrisme itu menjadi supremasi dan secara evolutif dinegosiasi oleh kekuatan subaltern walaupun ujung-ujungnya adalah hegemoni budaya Barat (Bustami, 2004).
Begitu juga dengan kondisi gurun pasir, oasis menjelma perkampungan dengan kebudayaan tenda  yang semakin lama sema­kin padat yang selanjutnya menjelma menjadi kota-kota sebagaimana yang terjadi kawasan Asia barat daya atau Timur Tengah bila dikaji dari Eropa. Oasis itu menjelma menjadi pusat kekuasan yang dikenal dengan oriental despotism dan pusat peradaban dunia. Saat ini pusat-pusat kota itu menjelma secara evolutif maupun secara kuantunm menjadi metropolis, petropolis dan megapolis.
Di Amerika Serikat, secara evolutif konsentrasi penduduk berkembang seba­gai kota-kota pelabuhan dan mereka menyebutnya the new world (negeri impian bagi kaum pendatang). Hubungan antarkota  dibangun trasnportasi penghubung teruta­ma pada wilayah penyangga melalui jalur darat, pembangunan jalur kereta api, dan jalur tol lingkar luar. Kemudian di kota-kota itu terbentuk negara-negara bagian yang terdiri atas kota-kota metropolitan dan di an­tara wilayah itu berkembang menjadi ko­ta bercorak megalopis dengan ciri, yaitu ak­tivitas ekonomi menyebar sedemikian ru­pa sampai ke wilayah perbatasan kota-kota metropolitan lainnya sehingga secara bertahap tergabung dalam sebuah proses perpaduan metropolitan. Ciri wilayah itu terdistribusi mulai dari wilayah timur laut yang mencakup wilayah selatan dari New Hamshire, terus ke bagian Massachusetts  sam­pai ke Washington DC. Megalopolis itu dibentuk oleh perpaduan bertahap dari daerah-daerah metropolitan yang besar dan yang masing-masing berdiri sendiri. Di antara 46 metropolitan di Amerika Serikat, 10 me­tro­politan terletak di wilayah megalopolis dan lima kota besar di antaranya adalah New York City, Philadelphia, Boston, Baltimore, dan Washington DC (Suparlan, 2006: 256-258).
Di kawasan Asia Tenggara, kota-kota tumbuh dan berkembang mengandalkan infrastruktur berbasis sungai, danau, dan laut (Wells & Villier, eds., 1990: xiv-265). Van Leur (1955) secara tegas menyatakan, dengan tumbuh dan berkembangnya masya­rakat di Indonesia berkaitan dengan jalur perdagangan antarpelabuhan. Bahkan, dite­gaskan oleh Kathirithamby-Wells dan John Villier bahwa pusat-pusat kekuasaan pemerintahan itu tumbuh dan berkembang dari pelabuhan (port and polity) yang mempersatukan kekuasaan yang terpencar di sungai dan danau dan terjadi kontestasi kekuasaan antarwilayah itu sehingga relasi kekuasaan itu berlangsung pasang surut (Wells & Villier, eds., 1990: 3). Dinamika selanjutnya adalah kota-kota dibangun dengan  moda transportasi darat berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yaitu pembangunan jalan raya dan rel kereta api. Perkembangan itu tidak menyebabkan perubahan fungsi pelabuhan sebagai collecting center, feeder point, dan enterport menghilang, tetapi tetap eksis.
Kemudian dengan inovasi teknologi mulai dibangun bandara  yang substansinya merupakan perluasan fungsi pelabuhan (bandar) yang dapat didarati pesawat udara (airport). Transportasi udara menyebabkan terjadi percepatan integrasi suatu wilayah ke dalam ekonomi neoliberal yang berwatak  ekspansif yang berujung pada semakin kuatnya pemodal internasional. Ekspresi kapitalisme dihadirkan dengan kapitaslime berwajah santun dengan menggunakan istilah globalisasi  yang hanya merujuk pada kondisi global. Sejatinya, globalisasi itu merepresentasikan kapitalisme yang ingin menguasai dunia yang penulis sebut kapitalisme mondial. Pemenuhan kebutuhan masyarakat menjadi beragam dan diferensial. Narasi utama masyarakat adalah pemenuhan kebutuhan serba cepat untuk memenuhi beragam kebutuhan dalam waktu yang singkat. Mobilitas masyarakat tidak lagi menggunakan kapal laut dan pelabuhan semata-mata, tetapi pesawat terbang dan bandaranya. Masyarakat telah memilih secara rasional jenis transportasi yang sesuai dengan kondisi objektif atau subjektif mereka. Jumlah penumpang yang semakin meningkat dan semakin banyaknya pembangunan bandara baru di Indonesia menunjukkan bahwa kebutuhan pembangunan kota berbasis bandara dengan segala infrastruktur pendukungnya disebut aeropetropolis menjadi penting.
Kajian terkini menyebutkan bahwa kota-kota yang didukung oleh ketersediaan infrastruktur bandara menjadi lebih maju. Bahkan, dalam kajian Bustami dinyatakan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia sejak 1999 menguntungkan wilayah-wilayah yang mempunyai bandara, mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah penyangga, dan menyebabkan kabupaten/kota induk dan pemekaran memperebutkan lokasi bandara, bagi hasil retribusi pajak/airport tax, dan belomba-lomba merencanakan pembangunan  bandara baru (Bustami, 2006). Keberadaan bandara menyebabkan lalu lintas orang dan barang dengan sendirinya meningkatkan pendapatan asli daerah. Geliat membangun menjadi lebih semarak dan pelayanan publik relatif lebih baik. Walaupun pembangunan itu tidak kedap kritik, salah satunya adalah pembangunan fasilitas bandara itu tidak linier dengan tingginya kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Namun, setidaknya arus manusia dan barang mendorong tumbuh dan berkembangnya kegiatan ekonomi.
Dengan sendirinya, perkembangan kota Indonesia ke depan yang sesuai dengan kondisi objektif wilayah itu lebih ditekankan pada basis udara. Kota pemekaran perlu dintegrasikan  dengan tata kota yang mengedepankan kota berbasis bandara. Logika yang dinyatakan adalah frekuensi kegiatan dan waktu seseorang akan dihabiskan di sekitar bandara. Nalar yang berkembang adalah kegiatan yang berlokasi di luar bandara akan menghabiskan banyak waktu karena faktor kemacetan di jalan dan kendala teknis lainnya. Sementara itu, urusan bisnis dan kegiatan lainnya di tempat lain yang telah disepakati harus diselesaikan dengan selisih waktu yang tidak terlalu lama. Urusan bisnis yang one prestasi akan berdampak pada kebangkrutan. Boleh jadi, trust sebagaimana yang dinyatakan Fukuyama menjadi modal budaya yang mengekalkan keuntungan yang telah diraihnya. Singapura telah menyediakan semua pelayanan berpusat di Bandara Changi dan telah menikmati semua keuntungan pembangunan aeropetropolis.
Kota-kota di Indonesia yang telah mendapat persetujuan pembangunan bandara baru  karena bandara yang sebelumnya tidak layak, pembangunan bandara baru dan atau perluasan landasan pacu bandara dengan dana APBN telah dirancang tata kota yang berbasis bandara secara terintegrasi. Semua pelayanan bagi pengguna jasa berpusat di bandara dan keterkaitan dengan pusat-pusat ekonomi dihubungkan dengan bebas hambatan dan jalan tol yang memberikan kenyamanan bagi pemenuhan kebutuhan mereka. Relasi kota itu dengan wilayah penyangga diatur dengan kesepakatan yang bersimbiosis mutual yang dilembagakan dengan Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur (lintas kabupaten/kota), dan Peraturan Pemerintah (lintas provinsi). Yogyakarta merupakan wilayah yang mendapat persetujuan untuk membangun bandara baru di Kulon Progo dan telah disiapkan rencana tata kota yang terintegrasi dengan bandara yang baru yang disebut aeropetropolis. Master plan detail aeropetropolis telah dirancang oleh tim yang dipimpin oleh Ir. Adhi Moersid, I.A.I., mantan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia dan arsitek Mesjid Saud Nukman Tanah Abang Jakarta yang memperoleh Aga Khan Award atas permintaan Sultan Hamengku Buwono X. Master plan itu telah dipresentasikan di depan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penulis adalah antropolog Fakultas Ilmu Sosial