Sepotong kecil rekaman kafilah UM dalam MTQ Mahasiswa Nasional di UMI Makassar

Oleh Millatuz Zakiyah

Sepanggang mentari menelisik ari,
semangkuk dahaga lunas sudah
bebisik muda-mudi, menyeru suara Tuhan
Mangkassar,
Apa kareba?

Serangkaian kegiatan MTQ Mahasiswa Nasional di Universitas Muslim Indonesia  (UMI) Makassar tanggal 10—15 Juli kemarin ternyata menyisakan banyak cerita. Setiba di Bandara Sultan Hassanuddin Makassar kisaran pukul 12.00 waktu setempat, hawa sekitar terasa sumu’. Maklum, Makassar merupakan kota pesisir yang cukup hangat udaranya. Terlebih, suasana siang yang terik lengkap dengan kepenatan sepanjang perjalanan menambah rasa membara di dada. Bus yang menemani kami menuju penginapan pun tak kunjung datang. Beberapa peserta MTQ dari kampus lain juga tampak tak sabar untuk segera beristirahat.
Beruntung, keresahan tersebut terbayar lunas saat pembukaan MTQ Mahasiswa Nasional XXII yang diselenggarakan keesokan harinya. Kafilah Universitas Negeri Malang (UM) yang berjumlah lima belas orang dengan tiga official sejak mula telah dimanjakan dengan beberapa suguhan budaya Makassar seperti sinriliq (sastra lisan Makassar) dan tari Pepe-pepeka Ri Makka pada upacara pembukaan MTQ Mahasiswa Nasional.
Sinriliq merupakan drama tradisonal serupa ludruk di Jawa Timur yang dipertunjukkan untuk mengisahkan kisah-kisah lampau seperti legenda dan sejarah daerah. Sinriliq dituturkan dengan cara dinyanyikan dan diiringi rebab (sinriliq/kesoq-kesoq) dan kecapi yang kali tersebut mengisahkan proses masuknya Islam ke Sulawesi. Islam masuk pertama kali di Sulawesi atas dakwah tiga orang datuk dari Sumatera, yakni Datuk Ri Bandang, Datuk Pattimang, dan Datuk Ri Tiro.
Sementara tari Pepe-pepeka Ri Makka adalah tarian sambutan yang berarti api dari Mekah. Tarian ini diiringi mantera yang berisi doa agar api menjadi dingin seperti dikutip dari Al-Quran: Yaa naaru, kunii bardan wa salaaman. “Wahai api, jadilah dingin dan keselamatan.” Setelah itu, salah satu penari atau penonton dibakar dan tidak akan terjadi suatu apa. Tarian bernuansa magis tersebut merupakan salah satu warisan asli nenek moyang Indonesia dan masih dimainkan secara turun-temurun oleh warga Paropo di wilayah Panakkukang, kota Makassar. Konon, tarian ini mulai ditampilkan sebagai bagian dari hiburan dalam pesta-pesta rakyat seperti sunatan, upacara hajatan atau upacara perkawinan pada masa pascapendudukan penjajah kolonial Belanda, khususnya di perkampungan rakyat Paropo dan sekitarnya.
Selain dua kebudayaan tersebut, untuk menambah kesan ‘Makassar sekali’, panggung pembukaan dihiasi dengan dua miniatur kapal pinisi yang menjadi ikon Makassar. Lebih lanjut, sepanjang perhelatan pembukaan MTQ Mahasiswa Nasional dibawakan oleh para daeng dengan aksen bahasa Makassar yang khas, tabe’—‘silakan’ dalam bahasa Makassar. Pakaian yang digunakan para daeng serta pemusik sebagai latar suara juga sangat Makassar, yakni kain sarung atau lipa garusuk, celana atau paroci dan tutup kepala atau passapu.
Setelah semingguan berkutat dengan berbagai musabaqah, akhirnya tibalah waktu untuk sekadar memanjakan diri di Makassar. Perjalanan dimulai dari Asrama Haji Sudiang, tempat penginapan seluruh kafilah. Perjalanan dengan bus travel yang disewa khusus untuk kafilah UM ini bergerak menuju Benteng Rotterdam. Letak benteng ternyata cukup jauh sehingga kami bisa menikmati pemandangan kota Makassar yang sebelumnya tidak sempat kami perhatikan.

Pada sebungkus pagi dengan mentari setengah terik
Menjubeli bis sesak penuh mudamudi didera tunggu
Sekonyong-konyong tanpa menawar tawar
Pada sebungkus pagi dengan mentari setengah terik diseruduk terik sengat surya

Di perjalanan, tampaklah patung ayam di alun-alun kota yang menjadi lambang kota Makassar. Selain itu, tampak pasar-pasar tradisional yang banyak menjajakan ayam. Benar-benar ayam. Terdapat pula rumah apung di sepanjang sungai yang dikitari pohon-pohon salak. Tak ketinggalan pula pt-pt atau petong-petong, sebutan untuk angkutan umum, menghiasi jalanan Makassar.
Perjalanan pertama menyusuri Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam. Benteng yang pada mulanya bernama Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) ini merupakan sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat kota Makassar, Sulawesi Selatan dan dibangun pada 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’ Risi’ Kallonna.
Semula, benteng ini berbahan dasar tanah liat, tapi pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV, Sultan Alauddin, konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Keunikan benteng ini adalah bentuk benteng yang sarat makna filosofis. Benteng Rotterdam berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Penyu merupakan binatang yang dapat hidup di darat maupun di laut. Hal ini selaras dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menan­datangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Di depan benteng, berdiri patung Sultan Hasanuddin yang tengah menunggang kuda, seolah memberi ucapan selamat datang kepada pengunjung benteng. Satu hal lagi yang unik dari benteng ini adalah keasliannya. Bahkan, saking aslinya, seorang wartawan New York Times, Barbara Crossette pernah menggambarkan benteng ini sebagai benteng yang paling terlestarikan di Asia.
Di dalam Benteng Rotterdam dibangun Museum Negeri La Galigo yang menyimpan peninggalan  dari Tana Toraja. La Galigo diambil dari sebuah epos yang berjudul “I La Galigo” dan merupakan karya sastra kebanggaan orang Bugis. Nama I La Galigo adalah salah satu tokoh ahli sastra  di kerajaan Luwu dan Wajo pada abad XIV. Di dalam benteng ini juga terdapat panggung seni budaya yang digunakan untuk pertunjukan seni budaya setempat. Sayang, ketika kafilah UM ke sana, benteng ini sedang direnovasi sehingga tidak dapat menikmati keindahan benteng secara utuh.
Setelah puas mengitari benteng, kami  beranjak makan siang. Tak lengkap ke Makassar tanpa merasakan coto Makassar, begitu kata penduduk setempat. Maka kami menjajal kelezatan coto Makassar. Satu porsi  beragam harganya. Ada yang Rp6.000 per porsi dan ada pula Rp12.000 per porsi. Keberagaman harga tentu berbanding lurus dengan rasa coto tersebut. Konon, coto yang paling enak adalah coto Daeng Makassar.
Wisata hari itu terus berlanjut dengan wisata belanja oleh-oleh khas Makassar. Kami memilih Pasar Somba Opu yang terkenal murah dan lengkap. Somba Opu sebenarnya adalah nama jalan tempat pasar ini berada. Somba Opu sendiri sebenarnya adalah nama salah satu benteng di Makassar. Pasar ini tidak jauh berbeda dengan Malioboro di Yogyakarta. Seperti laiknya pasar tradisional lain, berburu oleh-oleh di pasar ini harus jeli memilih-menawar. Oleh-oleh khas Makassar yang dapat dibei di pasar ini beragam, mulai dari buah tangan berupa sandang, pangan, hingga minyak gosok khas Makassar.
Oleh-oleh berupa sandang seperti kain songket makassar, sarung recak, peci daun lontar, dan sutra makassar yang dijual mulai harga Rp30.000 hingga ratusan ribu. Sementara oleh-oleh berupa jajanan atau makanan seperti kacang disko dan kopi Toraja dijual mulai harga Rp10.000. Selain itu, Makassar terkenal sebagai daerah penghasil minyak gosok seperti minyak tawon, minyak akar lawang, minyak kayu putih, hingga minyak gandapura. Minyak-minyak tersebut dijual mulai harga Rp10.000.
Udara panas khas kota pesisir semakin menyengat membuat  semangat kami  semakin membara. Setelah oleh-oleh untuk keluarga dan teman dekat di tangan, para lelaki bergegas untuk menunaikan salat Jumat di mesjid terdekat. Walaupun kami berwisata, Tuhan tiada boleh lupa, begitu pesan Ustaz Yusuf, pembina kami. Lepas salat Jumat, kami melanjutkan perjalan menuju Trans Studio Makassar.
Perjalanan belum berakhir sebelum kami menuju Pantai Losari, salah satu pantai tujuan utama wisata Makassar. Pantai ini terletak tak jauh dari Benteng Rotterdam. Pantai Losari bukanlah pantai dengan ombak yang besar. Ombak di pantai ini cenderung tenang. Maklum, pantai ini merupakan wilayah teluk.
Berwisata ke Pantai Losari yang paling indah adalah pada senja hari. Selain udara yang hangat, wisatawan bisa menikmati berperahu dengan hanya Rp5.000 atau banana boats dengan Rp10.000. Matahari yang mulai meredup menambah syahdu pemandangan sore kota Makassar. Selain itu, pengunjung bisa memilih untuk sekadar duduk bercengkerama bersama keluarga atau memancing ikan di sepanjang pantai dengan menyewa pancing lengkap dengan umpannya. Tentu, seraya menikmati matahari terbenam.
Selain tulisan “Pantai Losari” dalam ukuran besar, di pantai ini juga terdapat tempat lapang yang bisa digunakan bersantai. Di sekitar pantai juga terdapat banyak penjual asongan dan pengamen yang rata-rata masih berusia belasan tahun. Pengamen di sini tidak seperti pengamen kebanyakan yang memilih solo karier, tetapi bergerombol. Alat musik dan lagu dipersiapkan cukup matang  sehingga bisa dikatakan pertunjukan jalanan yang sayang dilewatkan.
Pemandangan ini adalah pemandangan paling mengharukan. Anak-anak kecil tampak memenuhi tepian pantai bukan untuk berwisata, melainkan mencari nafkah. Beberapa di antaranya masih duduk di sekolah dasar, tapi tidak sedikit yang putus sekolah. Kehangatan pantai semakin membara saat melihat usaha gigih mereka.

Kakikaki kecil tiada lepas mengasah tangan Tuhannya
baju lusuh kumuh tak tersentuh sabun cuci
muka kumal kucel, tiada bertemu air heharian
seharapan lunturan kasih-Nya
semoga rerecehan masih mampir di saku

Pantai Losari bukan pantai biasa. Di pantai ini, pengunjung bisa menikmati pesisir kota Makassar lengkap dengan pemandangan kota, persis di luar negeri. Benteng Rotterdam yang menjulang dikelilingi pasar dan pertokoan sungguh elok di malam hari. Dahulu, pantai ini dikenal dengan pusat makanan laut dan ikan bakar di malam hari (karena para penjual dan pedagang hanya beroperasi pada malam hari), bahkan disebut  sebagai warung terpanjang di dunia. Hal ini disebabkan keberadaan warung-warung tenda yang berada di sepanjang pantainya sekitar satu kilometer.
Satu hal lagi yang tak boleh dilewatkan di sini adalah menyantap pisang epe. Pisang epe adalah salah satu jajanan khas Makassar. Pisang mentah dibakar, kemudian dipipihkan dan dicampur dengan air gula merah, kemudian dilumuri saus beragam rasa seperti cokelat, keju, hingga blueberry. Pada kesempatan tersebut, kami menikmati Pisang epe di atas bus bersama seraya beranjak kembali ke asrama.
Malam semakin larut dan tubuh semakin kuyu. Kami tak ingin perjalanan ini segera berakhir, tapi apa mau dikata, esok kami harus kembali ke Malang. Perjalanan ini  berakhir setelah kami menyusuri ombak tenang Pantai Losari. Kami  harus menyiapkan tenaga untuk kembali ke dunia asal. Di lubuk hati, kami berjanji untuk mengemas baik-baik kebersamaan dan kenangan selama di Makassar.

Sebalok batu es meluncur sekonyong-konyong,
Hunjam belati setinggi sukma,
Tiada alpa akan lupa
Bahwa kami adalah saudara
Penulis adalah mahasiswa Sastra
Indonesia 2008, kafilah MTQMN XXII,
dan Ketua Umum UKM Penulis.