Rektor UM tegaskan diberlakukannya UKT pada penerimaan maba UM tahun ini.

Jika dulu menempuh pendidikan di perguruan tinggi dianggap mahal dan hanya dapat dijangkau oleh masyarakat kelas menengah atas, maka mulai sekarang persepsi yang tertanam dalam benak masyarakat tersebut harus segera dihapuskan. Mulai tahun ini, kesempatan menempuh studi di perguruan tinggi semakin terbuka lebar bagi seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut tidak lepas dari kebijakan Kemendikbud untuk sesegera mungkin merealisasikan peraturan terkait sistem pembayaran  Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). UKT merupakan program pembayaran kuliah dengan biaya tunggal. Biaya tunggal berarti mahasiswa hanya dikenai satu jenis biaya pembayaran saja selama belajar di PTN tersebut, yaitu SPP.
Mahasiswa sudah tidak dikenakan biaya lain seperti biaya pembayaran  SPSA, KPMB, PKPT, jas almamater, bahkan pada saat wisuda nanti mahasiswa sudah tidak perlu mengeluarkan biaya lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Biaya lain tersebut nantinya akan ditutup oleh Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dari pemerintah. Jika untuk sekolah biasa dikenal dengan nama Bantuan Operasional Sekolah (BOS), maka BOPTN merupakan bantuan langsung dari pemerintah untuk perguruan tinggi negeri. UKT merupakan cermin keberpihakan pemerintah pada kesempatan pendidikan, khususnya masyarakat kurang mampu agar kuliah tidak lagi terkendala oleh biaya.
Universitas Negeri Ma­lang (UM), sebagai salah satu perguru­an tinggi ter­nama di Indonesia su­dah berani me­nerapkan sis­tem pem­bayaran UKT pada mahasiswa baru tahun ini. Hal tersebut  diperkuat dengan pernyataan PR II, Prof. Dr. H. Ahmad. Rofi’uddin, M.Pd, bahwa UM merupakan satu-satunya PTN di Jawa Timur bahkan di Indonesia yang murni telah melaksanakan UKT. Biaya UKT di UM tahun ini sangat terjangkau, mulai dari 1,5—2 juta sesuai dengan jurusan yang diambil. Penerapan UKT di UM adalah wujud kepedulian UM pada kondisi masyarakat.

Direalisasikan meski dana
belum turun
Latar belakang UKT ini merupakan bentuk keberpihakan dari pemerintah pada masyarakat kelas menengah ke bawah untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Selain itu, hal tersebut juga sesuai dengan proyeksi pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. Saat ini, SDM usia produktif di Indonesia sangat banyak, kalau kondisi ini dikelola dengan baik maka hasilnya akan sangat menguntungkan bagi kemajuan bangsa. Bagai gayung bersambut, niatan baik dari pemerintah ini akhirnya dapat direalisasikan oleh UM dalam penerimaan mahasiswa baru (maba) angkatan 2012/2013. Tahun ini UM terbukti telah menerapkan sistem UKT, dimana besaran biayanya sudah menjadi hasil rapat pimpinan universitas.
Meski dana BOPTN belum turun, UM sudah melakukan langkah berani dengan menjadi pionir bagi pelaksanaan UKT tahun ini. Lalu, darimana dana untuk menalangi UKT sementara ini? Menjawab pertanyaan ini, Rektor UM, Prof. Dr. H. Suparno mengatakan dengan tenang, ”Ya dicarikan dari sumber lain yang dibenarkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Contohnya dengan prinsip penggunaan dana terpadu yang merupakan gabungan dari APBN dan penerimaan nonpajak.” Bapak Parno, begitu ia akrab disapa, memiliki harapan tersendiri mengenai pemberlakuan UKT ini. Ia berharap pembiayaan PT menjadi lebih simpel karena tidak ada kategori item-item pembiayaan yang tercantum di dalamnya. Selain itu, UKT yang berorientasi pada daya jangkau masyarakat dapat membuat calon yang sudah diterima tidak mengundurkan diri. Sebab biaya UKT sudah diperhitungkan akan dapat menjangkau masyarakat. “Saya kira dengan 2 jutaan tidak ada alasan untuk tidak masuk PT, apalagi ada 1.036 jatah bidik misi di UM dan dalam perjalanannya nanti, mahasiswa berkesempatan untuk mendapatkan beasiswa lain,” tandasnya.
Ketiadaan rasa cemas karena dana BOPTN belum turun juga kami tangkap pada tanggapan PR II, Prof. Dr. H. Ahmad. Rofi’uddin, M.Pd. Kemantapan UM untuk melaksanakan UKT tahun ini meski dana belum diberikan oleh pemerintah merupakan keputusan yang telah melalui pertimbangan-pertimbangan matang. “UM ingin membantu anak bangsa untuk memperoleh kesempatan belajar seluas-luasnya. Kami percaya pada kebijakan kementerian yang berdampak panjang sehingga kami berani melaksanakan UKT. Kami yakin BOPTN sudah masuk APBN sehingga pasti akan terealisasi,” terangnya.

Unit cost
Untuk mengetahui dan memahami lebih lanjut mengenai UKT di UM, tepatnya Kamis (12/07) Komunikasi sengaja menggali informasi pada PR II, Prof. Dr. H. Ahmad. Rofi’uddin, M.Pd. Menurut Bapak Rofi’uddin, penghitungan biaya UKT didasarkan oleh unit cost mulai dari mahasiswa masuk hingga lulus dari UM. Unit cost diambil dari biaya yang telah diberikan oleh pemerintah dalam bentuk BOPTN sehingga dapat dijadikan dasar sebagai penghitungan UKT.  Tahun ini nilai BOPTN sebesar 39 miliar rupiah akan dialokasikan untuk membayar gaji dosen dan pegawai. Sementara itu SPP yang dibayarkan mahasiswa akan digunakan sebagai biaya operasional perguruan tinggi.
Biaya operasional tersebut antara lain untuk biaya kebutuhan praktik, biaya kebutuhan pengembangan penelitian, kebutuhan di bidang sains, serta sebagai pendorong terciptanya karya-karya dosen yang ber­­kualitas. Pemenuhan kebutuh­an operasional ini me­rupa­kan wujud mem­pertahan­kan Tridharma Per­guruan Tinggi, yaitu Dharma Pen­didikan dan Peng­ajaran, Dharma Penelitian, dan Dharma Pengabdian pada Masyarakat. ”Untuk  im­plementasi biaya­nya, maha­­siswa hanya mem­bayar satu jenis pem­bayaran berupa SPP. Almamater dan semua atribut lain sudah tidak membayar lagi, termasuk kegiatan kemaha­siswaan seperti PKPT sudah tidak boleh ditarik biaya lagi,” ungkap dosen Pascasarjana ini.
Mengenai jumlah dana BOPTN, lebih lanjut dijelaskan oleh Kabag Keuangan Drs. H. Achmad Zunaedi. Bapak Zunaedi mengatakan bahwa jumlah dana yang diberikan untuk setiap PTN tidak sama, tergantung pada jumlah mahasiswa dan kebutuhan per jurusan. Sementara itu, disinggung mengenai keberlanjutan pelaksanaan UKT ini pada tahun-tahun yang akan datang, baik rektor maupun PR II mengaku belum bisa memastikan. Hal ini tergantung pada perkembangan kebijakan yang dibuat oleh Kemendikbud. Perkembangan kampus dan manajemennya serta perkembangan teknologi juga akan berpengaruh pada ada tidaknya UKT pada tahun-tahun berikutnya.

Pro-kontra RUUPT
BOPTN sendiri belum tertuang dalam UU, karena masih dalam Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUUPT). Namun demikian, wacana mengenai UKT bukan menjadi hal yang sama sekali baru. Pro-kontra  RUUPT  terkait BOPTN dan UKT tentu ada. UM menyikapi dengan bijak pro-kontra tersebut. “Dengan adanya UU itu, pemerintah berkewajiban untuk mencukupi anggaran setiap dan semua PT. Sedapat mungkin dana dari pemerintah itu sampai pada jumlah yang betul-betul dapat menjamin pengembangan dan kemajuan PT. Sehingga dengan begitu, dana dari orang tua mahasiswa bisa diminimalkan karena memang sudah seharusnyalah UU itu berpihak pada masyarakat,” tanggap rektor.
Sementara itu bagi PR II, sebenarnya dengan ditetapkan RUU mengenai BOPTN dan UKT, maka setiap PTN tidak bisa semena-mena menentukan harga. UKT juga akan dapat menghapus kesan kapitalisme perguruan tinggi yang selama ini telah tertanam dibenak masyarakat. “Perguruan tinggi hadir untuk memberikan kontribusi bagi anak negeri dalam hal pendidikan. Ia ada bukan untuk bisnis mencari keuntungan. Di sini UM sekaligus menegaskan bahwa kapitalisasi pendidikan tidak ada,” paparnya. Ia melanjutkan, keuntungan dari diterapkannya sistem UKT ini di UM dapat dilihat dari dua segi, masyarakat dan perguruan tinggi. Dari segi masyarakat, orang tua mahasiswa tahu betul berapa biaya yang akan dikeluarkan untuk menguliahkan anaknya sehingga anggaran keluarga menjadi pasti. Sedangkan dari segi perguruan tinggi, UM dapat memberikan kesempatan bagi anak negeri untuk mengenyam pendidikan tinggi yang berkualitas dan terjamin.
“Oleh karena itu, UM berharap agar secepatnya RUUPT ini disetujui sebagai UU sehingga dapat segera terealisasi dan menjadi lebih kokoh serta dapat menjadi kebijakan jangka panjang,” harap pria yang juga mengajar di Jurusan Sastra Indonesia ini. Di akhir kesempatan, Bapak Rofi’uddin berpesan khususnya kepada maba tahun ini yang memperoleh UKT. “Pahamilah UKT ini sebagai upaya untuk mendorong perkuliahan dan kualitas pembelajaran di UM. Belajarlah sebanyak-banyaknya dan tolong jangan sia-siakan kesempatan ini karena yang membiayai kalian adalah negara.”

Peluang besar sekaligus
pemerataan harga
Selain menggunakan sistem pembayaran UKT, tahun ini UM juga meningkatkan kuota penerimaan mahasiswa baru hampir mencapai 20%. “Tahun ini ada kenaikan kuota penerimaan, karena  UM menerima sekitar 6.417 mahasiswa, sedangkan tahun lalu UM menerima kurang lebih 5.200 mahasiswa,” papar PR II. Sistem pembayaran UKT bukanlah faktor penentu bagi UM dalam menaikkan kuota penerimaan mahasiswa baru tahun ini. Alasan utama peningkatan kuota ini adalah adanya dorongan dari Mendikbud bagi semua PT untuk menambah kuota penerimaan maba minimal 10%.
Hal ini tak lain merupakan realisasi dari upaya membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi guna menghasilkan SDM yang andal dan berkualitas di negeri ini. Dalam kesempatan berbeda, Kasubag Sistem Informasi (SI) Ir. Ma’arif, membenarkan anjuran dari Mendikbud tersebut. “Dapat disimpulkan bahwa tahun ini UM sudah sangat  memenuhi ketentuan tersebut,” ujarnya. Meskipun kuota penerimaan maba ditingkatkan, namun UM tidak berlebihan dalam menerapkan jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru. Penerimaan mahasiswa baru di UM tahun ini menggunakan empat jalur, antara lain jalur bidik misi, jalur undangan, jalur SNMPTN, dan jalur SMPDS (Mandiri).
Yang juga melegakan, tahun ini tidak ada lagi perbedaan dalam hal kategori pembayaran antara mahasiswa reguler dan nonreguler. Semua sama rata. Tidak ada lagi cerita bahwa mahasiswa nonreguler membayar biaya kuliah lebih mahal dibandingkan mahasiswa reguler. “Sekarang kami memberikan kesempatan yang sama untuk semua jalur sehingga hak dan kewajibannya juga sama. Mereka yang tidak lolos SNMPTN bukan berarti bodoh dan tidak semua mahasiswa mandiri berasal dari keluarga mampu,” papar PR II. Sementara itu Ma’arif menambahkan, “UKT tidak melihat jalur. Semua bayarnya sama. Biaya mandiri dan SNMPTN sudah kami ganti menjadi sama semua.”

Kejutan yang melegakan
Biaya UKT yang terjangkau ini nampaknya belum diketahui oleh para orangtua maba.Komunikasi mewawancarai beberapa orang tua maba ketika melakukan registrasi di gedung Sasana Budaya terkait dengan UKT ini. Seperti diungkapkan oleh Sarbini, ketika mengantarkan putrinya registrasi di Gedung Sasana Budaya (09/07). “Saya tidak tahu Mas kalau di UM ini bayarnya hanya sekali saja, karena hari ini saya baru sampai di Malang setelah melakukan perjalanan jauh dari Balikpapan,” ujarnya. Pria yang juga alumnus UM ini juga bercerita bahwa setelah dia tahu putrinya Eka Wuri Handayani, diterima di jurusan Bimbingan Konseling (BK) UM melalui jalur SNMPTN, maka istrinya segera memesan tiket pesawat ke Malang untuk dia dan putrinya. Sesampainya di Malang, ia melakukan registrasi di bank sesuai dengan biaya UKT jurusan BK. Namun, ia masih belum percaya dengan biaya yang sangat terjangkau itu dan memutuskan tetap membawauang untuk berjaga-jaga bila dikenai biaya lain. Setelah sharing dengan beberapa orangtua maba lain terkait UKT, barulah ia percaya dan sangat lega.
Hal yang sama juga terjadi pada orangtua maba lainnya, Ismiah dan Sarwan. Kedua orang ini mengaku tidak tahu-menahu mengenai UKT. Namun setelah mereka mendengarkan penjelasan mengenai UKT dari salah satu kru Komunikasi, mereka terkejut sekaligus merasa lega dengan biaya UKT yang diterapkan di UM tahun ini. “Kalau memang benar begitu, ya bahagia sekali. Sebelumnya saya belum tahu mengenai UKT, tapi sekarang sudah plong,” ujar Ismiah. Senada dengan Ismiah, Sarwan juga tidak tahu mengenai UKT. “Saya lihat dari brosur online kok biaya masuknya murah sekali. Saya sampai bertanya-tanya, apa benar hanya segitu ataukah nantinya ada biaya lain,” ungkap pria asal Trenggalek ini.
Hal berbeda datang dari Sarmi, orang tua maba asal Lumajang. “Saya sudah tahu UKT melalui TV, tapi belum tahu kalau UM memberlakukan UKT. Jadi saya berharap saja, ternyata memang UM memberlakukan,” ujar Ibu yang anaknya menjadi maba PAUD dengan total biaya masuk keseluruhan sejumlah Rp. 1.750.000 ini. Wawancara Komunikasi dengan orangtua maba pada siang hari yang panas kala itu, seketika menjadi sejuk saat sebagian besar dari  mereka tersenyum lega sembari berkata, “Alhamdulillah.”
Uang masuk UM untuk maba tahun ini memang menurun drastis. Tak heran bila banyak orang tua maba yang kaget sekaligus senang.
Keheranan maupun ketidakpercayaan orang tua maba terhadap biaya kuliah yang murah rupanya dapat dipahami oleh PR II. “Dimana-mana, harga selalu naik. Hampir tidak pernah ada harga turun. Mungkin mereka sudah mendengar mengenai UKT, tetapi belum yakin,” ujarnya. Meski ia menilai bahwa sosialisasi UKT sudah cukup yakni melalui web dan media massa, namun ia juga berpikir bahwa sosialisasi UKT perlu lebih dioptimalkan lagi.
Subag SI UM pun banyak didatangi para orang tua maba yang tidak percaya. “Mereka yang terkejut dengan murahnya biaya bertanya melalui telepon, e-mail, dan ada juga yang datang langsung ke sini,” ungkap Ma’arif. Bahkan, ada cerita berkesan yang menunjukkan betapa UKT benar-benar menjadi juru penyelamat bagi salah seorang maba. “Waktu itu ada maba yang mau mengundurkan diri karena tidak mampu membayar. Orang tuanya sudah mau menyerahkan surat permohonan pengunduran diri. Tetapi kami jelaskan bahwa ada kebijakan UKT sehingga dia tidak jadi mengundurkan diri,” kenang Bapak yang tinggal di Kemirahan ini.
Kebijakan penetapan UKT ada dalam Surat Keputusan (SK) Rektor tanggal 6 Juni, sehingga dapat dikatakan mepet dengan pelaksanaan registrasi. SI pun pada saat itu sudah terlanjur membuat dan menyebarkan brosur dengan biaya nonUKT. Begitu SK rektor diterima, pihak SI dengan sigap melakukan pembenahan. Mereka langsung mengumumkan biaya UKT lewat web, menyobek lembar biaya pada brosur lama dan membuat brosur baru.Nurul/Ardi